Perkembangan Hukum Bunyi dari Masa ke Masa

Menyoal mengenai metode perbandingan (bahasa), maka kita tak dapat melepaskan diri dari metode perbandingan klasik yang meliputi, hukum bunyi (Lautgesetz; Grimm’s Law; Sound Law) rekonstruksi fonemis, dan rekonstruksi morfemis (Keraf, 1996). Terkait hukum bunyi, Keraf (1996) mendefinisikannya sebagai suatu metode untuk menemukan hubungan antarbahasa dalam bidang bunyi bahasa.

Merujuk pada paparan tersebut, menurut kamu, bagaimanakah perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa?

Referensi
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

2 Likes

Hubungan hukum bunyi sebenarnya mulai dirumuskan oleh seorang ahli bahasa bernama Jacob Grimm (1787-1893). Dalam penelitiannya atas bahasa bahasa Jerman dan Indo-Eropa yang lain ,Jacob Grimm menemukan kenyataan kenyataan bahwa ada pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi ( Lautvershiebung) yang teratur antara bahasa-bahasa Jerman di satu pihak dalam bahasa bahasa Yunani- latin di pihak lain. Pergeseran bunyi tersebut diuraikan dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan dalam tahun 1819. Dalam tahun 1822 buku ini mengalami penerbitan kembali dan sejak waktu itu keteraturan hubungan antara bahasa bahasa Jerman di satu pihak dan bahasa indo Eropa lainnya di pihak lain oleh sarjana-sarjana lainnya disebut dengan istilah Hukum Grimm ( Grimm’s Law) dalam periode ketiga perkembangan ilmu bahasa dalam abad XIX, istilah Hukum Grimm atau pergeseran bunyi diganti dengan hukum bunyi Lautgesetz. Hukum-hukum itu berlaku dalam batas geografi tertentu. Perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa banyaknya perubahan mengenai korespondensi fonemis antara bahasa kerabat sebagai berikut :

  1. Dalam sejarah bahasa perubahan bunyi atau fonem terjadi secara teratur. Keteraturan perubahan bunyi ini memberi kemungkinan kepada kita untuk pertama-tama bisa menemukan korespondensi fonemis antara bahasa-bahasa kerabat.
  2. Bila sudah diperoleh indikator mengenai korespondensi fonemis maka indikator itu harus diuji melalui rekurensi fonemis untuk mendapat korespondensi
  3. Agar korespodensi fonem situ tidak diabaikan dalam bentuk-bentuk kerabat tertentu maka harus dipersoalkan pula adanya ko-okurensi yaitu korespodensi atau gejala yang timbul di samping korespodensi yang ada
  4. Agar suatu bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk kerabat lain jangan dimasukkan dalam rangkaian kata yang menghasilkan suatu korespondensi fonemis maka hendaknya diperhatikan pula bentuk-bentuk yang mirip yang terjadi karena analogi bentuk yang mirip yang terjadi karena proses analogi bukanlah kata-kata kerabat sehingga harus ditolak

Referensi
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Perkembangan hukum bunyi, seperti Lautgesetz, Grimm’s Law, dan Sound Law bersifat amandemen. Artinya, metode tersebut telah dikritik oleh beberapa aliran linguistik di kemudian hari tetapi masih digunakan sebagai landasan perbandingan bahasa (Keraf, 1996: 40). Dengan demikian, perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa hanya mengalami kritik-kritik yang menyarankan penyempurnaan teknik dan metode, tanpa menggantikan Hukum Bunyi yang telah ada.

Hukum bunyi sendiri merupakan metode kesejajaran bunyi pada posisi sama yang terdapat dalam bahasa-bahasa turunan berdasarkan kata dasar yang dikumpulkan dalam penelitian. Artinya, metode tersebut bertujuan untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa (Ino, 2015: 369).

Istilah Hukum Bunyi pertama kali dicetuskan oleh Jakom Grimm dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan pada tahun 1819 dengan istilah Pergeseran Bunyi atau Hukum Grimm (Grimm Law). Pada abad XIX istilah tersebut diganti dengan Hukum Bunyi atau Lautgesetz (Keraf, 1996: 42). Kemudian istilah tersebut diganti dengan istilah korespondensi bunyi pada abad XX (Keraf, 1996: 41).

Referensi
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 365-351. Doi: Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara | RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Korespondensi fonemis merupakan metode untuk menemukan hubungan antarbahasa dalam bidang bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antarbahasa selanjutnya akan menjadi dasar penyusunan hipotesis mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat dari tingkat perkembangan sebelumnya (Keraf, 1984: 40). Korespondensi fonemis, selain digunakan untuk menentukan perubahan-perubahan fonemis yang teratur pada bahasa-bahasa kerabat yang diperbandingkan, juga digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan antarbahasa yang diperbandingkan. Keteraturan fonemis tersebut oleh Grimm disebut dengan istilah Hukum Bunyi, yang selanjutnya lebih dikenal dengan korespondensi bunyi (phonemic correspondence) (Keraf, 1984: 40). Metode analisis korespondensi fonemis dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) mendaftar gloss yang diduga memiliki nilai korespondensi; (2) membandingkan fonem demi fonem dari tiap segmen yang terdapat pada posisi yang sama, dimasukkan dalam satu perangkat korespondensi; (3) memeroleh perangkat korespondensi; (4) menentukan perubahan-perubahan bunyi yang terjadi dalam sejumlah gloss yang diperbandingkan.

Hukum bunyi menimbulkan perubahan pada tataran bunyi (fonem). Di balik perubahan-perubahan yang terjadi itu, ada pula unsur-unsur terusan yang terwaris (retensi), yang meliputi fonem, kata dasar dengan semantiknya, serta unsur-unsur ketatabahasaan baik morfologi maupun sintaksisnya. Di antara perubahan-perubahan itu, perubahan bunyi merupakan salah satu penanda perubahan unsur terkecil dalam bahasa, namun cukup menarik untuk diteliti dan ditelaah. Perubahan bunyi ini yang kemudian menggambarkan refleksi-refleksi atau pertalian-pertalian bunyi di antara bahasa-bahasa berkerabat. Refleksi-refleksi itu bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan. Pada dasarnya perubahan itu diatur dan ditentukan oleh suatu prinsip keteraturan, dalam arti bunyi itu berubah secara teratur melalui proses-proses tertentu dan berlangsung dalam suatu periode yang lama (Bynon, 1979: 25). Bynon juga menguraikan adanya tiga model perkembangan bahasa yaitu, model kaum neogrammarian, model kaum strukturalis, dan model kaum transformasional-generatif.

  1. Model Kaum Neogrammarian

Kaum Neogrammarian adalah sekelompok sarjana Indo-Eropa yang bekerja dan mempunyai hubungan dengan Universitas Leipzig pada akhir abad 19. Untuk ilmu bahasa historis mereka memberikan dasar yang kokoh dengan membuat formulasi tentang prinsip-prinsip metodologis dan postulat teoritis yang membimbing mereka di dalam pekerjaan mereka serta sekaligus mencobakan prinsip-prinsip ini di dalam kerja praktik. Kaum neogrammarian membuat postulat tentang prinsip dasar di dalam perkembangan bahasa, yaitu hukum bunyi dan analogi.

Mereka menyatakan bahwa perubahan bahasa didasari oleh prinsip hukum bunyi tanpa kekecualian (Bynon, 1977: 25). Dengan hukum bunyi tanpa kekecualian ini dapat diartikan bahwa arah dari perubahan bunyi adalah sama pada semua masyarakat bahasa (speech community) yang mengalami perubahan tersebut dan semua kata di mana ada bunyi yang mengalami perubahan yang terjadi pada lingkungan fonetik yang sama juga dipengaruhi oleh lingkungan dengan cara yang sama. Karena kaum ini berpendapat bahwa kaidah-kaidah fonologis dapat diformulasikan tanpa mengacu kepada morfologi, sintaksis dan semantik. Prinsip yang kedua adalah analogi. Lain daripada kaidah-kaidah fonologis yang bebas tadi, perubahan analogis sepenuhnya tergantung pada struktur gramatikal.

  1. Model Kaum Strukturalis

Kaum strukturalis adalah para ahli bahasa aliran Praha di Eropa seperti Ferdinand de Saussare dan para pengikut Bloomfield. Kaum ini menerangkan perubahan fonologis dengan memakai fonem. Adapun aspek-aspek perubahan fonologis bagi kaum strukturalis diuraikan berikut ini.
a. Perubahan fonologis dapat mempengaruhi inventori fonem, yakni dapat menyebabkan bertambah dan berkurangnya jumlah fonem.
b. Perubahan fonologis mungkin saja tidak mempengaruhi inventori fonem, tetapi dapat mengubah distribusi fonem-fonem tertentu.
c. Perubahan yang sama dapat mengganti ‘incidence’ dari /a/ dan /e/, yakni distribusinya pada item-item leksikal dan gramatikal pada bahasa tersebut.

  1. Model Kaum Transformasional-Generatif untuk Evolusi Bahasa

Kaum ini mengenal dua macam perubahan, yaitu perubahan fonologis dan perubahan sintaktik. Di dalam perubahan fonologis mereka membedakan antara inovasi dan penyusunan kembali secara sistematik. Sementara di dalam perubahan secara sintaktik mereka mengenal perubahan-perubahan frasa benda (noun phrase), frasa kerja (verb phrase) dan item leksikal.

Perubahan bunyi bahasa-bahasa turunan setelah berpisah dari bahasa induk atau proto bahasanya bersifat unik dan mandiri (Jeffers dan Lehiste, 1979). Pola-pola perubahan bunyi yang sering ditemukan menurut Jeffers dan Lehiste (1979: 64-67) bandingkan dalam Mahsun (1995: 25-28) adalah peleburan (merger), perengkahan (split), penunggalan (monophonemization), penggugusan (diphonization), peluluhan bunyi (phonemik loss). Di samping kelima bentuk perubahan itu Keraf (1984: 79-83) menambahkan bahwa perubahan bentuk sekunder dapat terjadi linear, penambahan, penanggalan parsial.

Pada dasarnya, perubahan bunyi di antara bahasa-bahasa turunan dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat pada proto bahasa yang mengakibatkan perbedaan bahasa atau dialek ada yang teratur dan ada yang tidak teratur (sporadis). Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut korespondensi, sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis disebut variasi. Dari aspek linguistik korespondensi merupakan perubahan bunyi yang terjadi karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu (Mahsun 1995: 28-29).

Referensi:
Siregar, E. (2010). Beberapa Perubahan Bunyi Vokal Proto-Austronesia dalam Bahasa Simalungun dan Toba (Suatu Kajian Linguistik Historis Kompararif).
Katrinia, Y.E., & Rangga, A. (tt.) Korespondensi dan Variasi Bunyi Bahasa-Bahasa Nusantara Mempermudah Belajar Bahasa (The Correspondence and Variations of Nusantara’s Language Pronunciations in Facilitating the Way People to Learn Language). Jurnal Universitas Tidar, 1-30.

Hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata dengan makna yang mirip dirumuskan pada abad XIX dengan nama Hukum Bunyi (Lautgesetz; Sound Law; Griim Law). Junggrammatiker (Neo-Gramatikal) merupakan aliran ilmu bahasa yang terkenal menerima berlakunya hukum bunyi secara ketat. Pada penelitian bahasa German dan Indo-Eropa, Jakob Grimm muai merumuskan hukum bunyi pada tahu 1787-1863. Jakob Grimm menemukan terdapat pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi (lautvrshiebung) yang teratur antara bahasa German disatu pihak dengan bahasa Yunani-Latin dipihak lain. Istirlah Hukum Grimm atau pergeseran bunyi diganti dengan Hukum Bunyi atau Lautgesetz pada pperiode ketiga perkembangan ilmu bahasa abad XIX. Ahli Junggrammatike memberi status yang kuat bagi hukum bunyi dan mengatakan bahwa hukum ini berlaku tanpa kecuali (ausnahmlos; Ausnahmlosigkeit) karena hukum ini berlangsung secara buta. Hukum-hukum bunyi ini berlaku dalam batas-batas geografis tertentu, apabila terdapat penyimpangan maka akan dirumuskan kemali dalam hukum tertentu yang lain. (Markhamah et al., 2018).

Hukum Verner merupakan penemuan yang ditemukan oleh K. Verner pada tahun1876. Rumusan Hukum Verner berunyi “Frikatif tak bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif bersuara dalam lingkungan bersuara apabila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa”. Penemuan K. Verne membuat ahli Junggrammatiker menegaskan bahwa hukum unyi berlangsung tanpa terkecuali (ausnahmlos). Ahli Junggrammatiker yang berpusat di Leipzig adalah Brugman, Osthoff, dan Leskien. (Markhamah et al., 2018).

Markhamah, Sabardila, A., & Haryanti, D. (2018). Teori Linguistik: Beberapa Aliran Liguistik. Muhammadiyah University Press.

Perkembangan bunyi tidak jauh dari hipotesis keteraturan yang dikembangkan oleh (Jeffers, Rehiste, Hock, dalam Ino, 2015) hipotesis tersebut berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur pada masing-masing bahasa turunan. Ino (2015) juga menjelaskan bahwa segmen bunyi dari proto bahasa yang telah terwaris melalui kosa kata seasal yang berubah secara teratur dalam sebuah bahasa turunan. Pendapat ini diperkuat dengan tuturan (Dyen & Bynon, dalam Ino, 2015) bahwa perubahan bunyi secara teratur terdapat dalam kaidah korespondensi fonem.

Dengan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan bunyi dari masa ke masa adalah berkembang secara teratur. Hal tersebut dapat dilihat dari korespondensi fonem.

Referensi
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 365-351.

Salah satu cabang linguistik yaitu Linguistik Historis Komperatif mempunyai tugas utama dalam menetapkan fakta dan tingkat keeratan serta kekerabatan antarbahasa yang berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa-bahasa sekerabat.

Menurut (Dyen dan Bynon, dalam Ino, 2015) perubahan bunyi secara teratur yang terjadi pada masing-masing bahasa kerabat dapat disusun kaidah-kaidah korespondensi fonem. Ada berbagai pengelompokan dalam istilah Linguistik Historis Komperatif contohnya pengelompokan genetis dan korespondensi bunyi.

Pengelompokan genetis merupakan subkelompok bahasa turunan dari kelompok bahasa yang lebih besar, berdasarkan hipotesis pohon kekerabatan, berdasarkan korespondensi bunyi yang ditetapkan dengan bunyi yang beraturan.

Istilah korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi merupakan kesejajaran bunyi pada posisi yang sama dan terdapat pada bahasa turunan berdasarkan kata dasar yang dikumpulkan dalam suatu penelitian. Menurut Hock, (dalam Ino, 2015) kesejajaran bunyi terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti.

Referensi
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 365-351.

Korespondensi Bunyi Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi, awalnya dikenal dengan istilah hukum bunyi (Lautgesetz, Sound Law, Grimm’s Law), diartikan sebagai hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata yang terkait (Keraf, 1984: 42). Metode klasik meliputi hukum bunyi (Lautgesetz Grimm’s Law, Sound Late), reonstruksi fonemis, dan rekontruksi morfemis. Walupun metode-metode perbandingan ini mendapat kritik dari para aliran linguis, namun dikemudian hari metode perbandingan klasik kemudian digantikan dengan metode-metode yang lain yang lebih ampuh. Yang terjadi kritil-keritik itu hanya untuk menyarankan penyempurnaan. Pada abab XX hukum bunyi yang kemudian digantikan dengan korepodensi bunyi. Pada hakekatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa.

Masalah bahasa itu sendiri sudah dipersoalkan lebih dari dua ratus tahun yang lalu dalam masa Plato (429-348 seb. Masehi) dalam percakapan kratylos dan juga dalam masa aristoteles (384-322 seb. masehi). Persoalan itu berkisar mengenai pertanyaan apakah ada hubungan yang wajar antara kata dan referennya? Atau dapat dikatakan dengan cara lain.

Bila teori yang menjelaskan prose lahirnya bahasa itu (Paget, Hocket-Ascher, dan sebagainya), yaitu bahasa timbul bunyi-bunyi tertentu yang mengalamai perembangan tertentu (pra-morfem) pada sekelompok hominid, maka dapatlaj dimengerti bahwa warisan dari sekelompok asal tersebut telah diturunkan dan dipantulkan kembali melalui katakata kerabat dewasa ini. Dengan menerima asumsi bahwa kelompok-kelompok itu berkembang dari kelompok kecil dalam masa lampau hingga berkembang dalam kelompok yang lebih besar. Jadi, dalam metode perbandingan ini,pertama-pertama yang harus dilakukan adalah menemukan kesamaan-kesamaan yang terjadi karena warisan itu bergerak kebelakang menurunkan bentuk hipotesa mengenai bentuk tua atau lampaunya.

Pengelompokan bahasa-bahasa itu berdasarkan kesamaan dan kemiripan bentuk-bentuk makna, biasanya diwujudkan pertama-tama dalam bunyi antar bahasa, yang terdapt dalam kata-kata yang mirip. Setelah itu, pengelompokan berdasarkan kaidah-kaidah grammatical dan akhirnya berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis.

Jakob Grimm menunjukkan bahwa dalam penelitiannya atas bahasa-bahasa german dan indo-eropa yang lain. Dia menemukan kenyataan-kenyataan bahwa ada pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi yang teratur antara bahasa-bahasa german di satu pihak dan bahasa-bahasa yunani-latin di pihak lain. Pergeseran ini diuraikan dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan pada tahun 1819.

Sumber referensi :
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

1 Like

Hukum bunyi dirumuskan ahli bahasa bernama Jakob Grimm (1787-1863) melalui penelitiannya atas bahasa-bahasa German dan Indo-Eropa yang lain. Jakob Grimm menemukan kenyataan bahwa ada pergeseran atau pertukaran bunyi (Lautverschiebung) yang teratur antara bahasa German di satu pihak dan bahasa Yunani- Latin di pihak lain. Pergeseran bunyi tersebut diuraikannya dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan dalam tahun 1819 (diterbitkan kembali tahun 1822). Sejak tahun 1822, keteraturan hubungan antara bahasa German di satu pihak dan bahasa Indo-Eropa lainnya di pihak lain sehingga para sarjana menyebutnya dengan istilah Hukum Grimm (Grimm’s Laze).

Dalam periode ketiga perkembangan ilmu bahasa dalam abad XIX, istilah Hukum Grimm atau pergeseran bunyi diganti dengan Hukum Bunyi atau Lautgesetz. Hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata dengan makna yang mirip mula-mula dirumuskan dalam abad XIX dengan nama Hukum Bunyi (Lautgesetz; Sound Law; Grimm’s Law). Sebuah aliran ilmu bahasa yang terkenal pada masa itu yang menerima berlakunya hukum bunyi secara ketat adalah Junggrammatiker (Neo-Grammatici).

Pada abad XX, hukum bunyi kemudian diganti dengan istilah korespondensi bunyi. Korespondensi bunyi merupakan suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antar bahasa lebih lanjut akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesa mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat.

Referensi:
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Pada abad XIX, sarjana bahasa telah mengembangkan teknik-teknik untuk mengadakan perbandingan antar bahasa dengan tujuan menemukan kesamaan antar bahasa-bahasa kerabat. Metode tersebut biasanya disebut metode klasik yang meliputi Hukum Bunyi (Lautgesetz; Grimm’s Law; Sound Law), rekonstruksi fonemis, dan rekonstruksi morfemis. Hukum Bunyi diganti menjadi istilah korespondensi bunyi pada abad XX, pada hakekatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa (Keraf, 1996).

Hubungan teratur mengenai bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata dengan makna yang mirip dirumuskan pada abad XIX dengan nama Hukum Bunyi (Lautgesetz; Sound Law; Griim Law). Junggrammatiker (Neo-Grmamatici) adalah aliran ilmu bahasa yang terkenal menerima berlakunya hukum bunyi secara ketat. Jakob Grimm merumuskan hukum bunyi. Jakob menemukan adanya pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi (lautvrshiebung) yang teratur antara bahasa German disatu pihak dengan bahasa Yunani-Latin dipihak lain. Istilah Hukum Grimm atau pergeseran bunyi diganti dengan Hukum Bunyi atau Lautgesetz pada periode ketiga perkembangan ilmu bahasa abad XIX (Markhamah et al., 2018).

Ahli Junggrammatiker memberi status yang kaut bagi hukum bunyi dan mengatakan bahwa hukum tersebut berlaku tanpa kecuali (ausnahmlos; Ausnahmlosigkeit) karena hukum ini berlangsung secara buta. Hukum-hukum tersebut berlaku dalam batas-batas geografis tertentu, apabila terdapat penyimpangan maka akan dirumuskan kemali dalam hukum tertentu yang lain (Markhamah et al., 2018)

Hukum Verner ditemukan oleh K. Verner, rumusan Hukum Verner berunyi “Frikatif tak bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif bersuara dalam lingkungan bersuara apabila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa”. Penemuan K. Verne membuat ahli Junggrammatiker menegaskan bahwa hukum unyi berlangsung tanpa terkecuali (ausnahmlos). Ahli Junggrammatiker yang berpusat di Leipzig adalah Brugman, Osthoff, dan Leskien (Markhamah et al., 2018).

Referensi:

Keraf, G. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Gramedia.

Markhamah, Sabardila, A., & Haryanti, D. (2018). Teori Linguistik: Beberapa Aliran Linguistik. Muhammadiyah University Press.

Perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa

Istilah korespodensi berasal dari adanya kritik atas hukum bunyi yang dirumuskan oleh Juggrammatiker pada abad XIX. Kritik ini didasarkan pada dua alasan yakni idealisme dan materialisme. Alasan idealisme dimotori oleh aliran Neo-linguistica yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk mencipta sendiri tanpa terikat oleh hukum-hukum tertentu. Aliran Rusia dan aliran materialisme mengatakan bahwa rumus-rumus yang dikemukakan oleh Juggrammatiker terlalu abstrak dan tidak mengindahkan soal-soal sosial masyarakat. Kedua aliran tersebut tidak berhasil membantah, akhirnya alih-alih linguistik Amerika menerima dasar pemikiran Juggrammatiker dengan menambah perbaikan.

Perubahan fonetis dalam sejarah bahasa-bahasa tertentu memperlihatkan sifat yang terstruktur, keteraturan ini oleh Grinm dinamakan hukum bunyi. Perubahan bunyi terjadi secara teratur yang terjadi pada masing-masing bahasa kerabat dapat disusun kaidah-kaidah korespondesi fonem. Berdasarkan korespodensi bunyi yang ditetapkan dengan hukum bunyi yang beraturan pada masa ke masa atau pada setiap tahapan terjadi perubahan yang mengakibatkan pembelahan lebih lanjut atau berkembang biak dengan proses dan caranya sendiri.

Referensi

Adhiti, I. A. (2019). Kajian Linguistik Historis Komparatif Pada Pola Perubahan Bunyi. KULTURISTIK: Jurnal Bahasa dan Budaya, 3(2), 75-85.

Ino, L. (2015). Pemanfaatan Linguistik Historis Komparatif dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1(2), 351-365.

Hukum Grimm (hukum bunyi) dicetuskan oleh Jacob Grimm setelah melakukan penelitian pada bahasa German dan Indo-Eropa. Ia menemukan adanya pergeseran bunyi (Lauthverchiebung) yang teratur antara bahasa Yunani-Latin dan German. Pergeseran bunyi tersebut kemudian ditulis menjadi sebuah buku berjudul Deutshe Grammatic (1819). Pada abad XIX periode ketiga perkembangan ilmu bahasa, barulah dikenal Hukum Grimm atau pergeseran bunyi disebut Hukum Bunyi (Lautgesetz) (Markhamah, Sabardila, dan Haryanti, 2018: 67-68).

Adanya status hukum bunyi berlaku tanpa terkecuali yang dikemukakan ahli junggramatiker membuat teori tersebut berlaku secara universal tanpa memandang batas geografi. Di mana fokus telaah pergeseran ada pada ranah histis perkembangan sampai kesepadanan antara unsur-unsur yang berbeda dalam bahasa (Kridalaksana, 2009: 87). Contoh pergeseran bunyi dapat dilihat pada kemunculan /t/ bahasa Indo-Eropa ke bahasa German dalam bentuk huruf lokal. Misal pada bahasa Inggris father, bahasa yunani pater, dan baha belanda vader (Soeparno, 2016: 23)

Selain itu, contoh pergeseran bunyi lain terjadi pada bahasa rumpun Austronesia. Pada bahasa Bisaya, terdapat perubahan kata dalam bahasa melayu ay menjadi i. Misal saja /binay/ menjadi /bini/ dan /hatay/ menjadi /hatai/. Contoh lain misalnya pada bahasa Bugis /pon/ yang berasal dari bahasa Indonesia /pohon/.

Referensi

Kridalaksana, H. (2009). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia.

Markhamah, Sabardila, A., & Haryanti, D. (2018). Teori Linguistik: Bebebrapa Aliran Lingustik. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sopearno. (2016). Linguistik Historis Komparatif. Yogyakarta: K-Media.

Jakob Grimm merumuskan hukum bunyi melalui penelitiannya berdasarkan bahasa-bahasa Jernman dan Indo-Eropa yang lain. Dari hal tersebut ditemukan kenyataan bahwa ada pergeseran atau pertukaran bunyi (Lautverschiebung) yang teratur antara bahasa Jerman di satu pihak dan bahasa Yunani-Latin di pihak lain. Keteraturan hubungan antara bahasa ini kemudian disebut dengan istilah Hukum Grimm (Grimm’s Laze). Kemudian, istilah Hukum Grimm ini diganti dengan Hukum Bunyi atau atau Lautgesetz pada abad XIX. Pada abad ini, hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata dengan makna yang mirip mulanya dirumuskan dengan nama Hukum Bunyi (Lautgesetz; Sound Law; Grimm’s Law). Selanjutnya, di abad abad XX, hukum bunyi diganti lagi dengan istilah korespondensi bunyi. Korespondensi bunyi adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antar bahasa yang kemudian akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesis mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat.

Referensi:
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Perubahan hukum bunyi dari masa ke masa pada dasarnya bersifat teratur. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Jeffers dan Lehiste (1979, dalam Ino, 2015). Pendapat tersebut menjelaskan lebih lanjut tentang asumsi yang menyatakan bahwa perkembangan spesies moyang bahasa yang melahirkan bahasa-bahasa turunan itu dapat ditelusuri kembali dengan menggunakan metode komparatif yang berdasarkan atas hipotesis keterkaitan dan keteraturan.

Selain itu, pendapat lain mengenai sikap hukum bunyi bahasa yang teratur dan saling terikat juga diungkapkan oleh Dyen (1978) dan Bynon (1979, dalam Ino, 2015) yang menyatakan bahwa perubahan bunyi itu teratur dan terjadi pada masing-masing bahasa kerabat yang dapat membentuk susunan kaidah-kaidah korespondensi fonem.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum bunyi tersebut saling tersusun dan terikat walaupun dalam generasi/masa yang berbeda. Ino (2015) juga mengungkapkan bahwa adanya ciri-ciri warisan yang sama, keeratan hubungan kesamaan asal antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan membuat sistem proto bahasa dapat dijejaki.

Referensi

Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 351-365

Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi, awalnya dikenal dengan istilah hukum bunyi (Lautgesetz, Sound Law, Grimm’s Law), diartikan sebagai hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata dengan makna yang mirip (Keraf, 1984, p. 42). Mulanya, hukum bunyi ini dirumuskan oleh Jacob Grimm saat meneliti bahasa-bahasa Jerman dan bahasa Indo-Eropa lainnya. Aliran Junggrammatiker “ahli bahasa masa itu” memberi perhatian yang besar pada hukum bunyi ini dan menyatakan bahwa hukum bunyi ini berlaku tanpa kecuali.

Bahasa yang ada saat ini diperkirakan berasal dari satu bahasa yang sama. Meskipun bahasa mengalami perubahan akibat faktor waktu dan letak geografis, tetapi hal ini masih menyisakan kemiripan atau kesamaan (berkerabat). Dalam hal ini, perubahan yang terjadi masih dapat diamati dan dirumuskan melalui hukum bunyi atau korespondensi bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa tersebut. Misalnya, dengan mempergunakan kata-kata bilangan atau kata-kata yang menyangkut anggota tubuh (yang dianggap universal karena dimiliki oleh semua bahasa di dunia) dapat ditentukan perangkat korespondensi (Juliana, 2012, p. 33).

Contoh: Melayu hidung

Ma’ayan urung

Banjar hidung

Lamalera irung

Jawa irung

Batak igung

Referensi:

Juliana. (2012). Kekerabatan Bahasa Batak, Bahasa Nias, dan Bahasa Melayu. Repositori Institut Universitas Sumatera Utara, 33. Retrieved from http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/35869

Keraf, Gorys. (1984). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hukum bunyi pertama kali dicetuskan oleh Jacob Grimm pada tahun 1918, kemudian disebut Grimms Law. Hukum bunyi (Grimms Law) kemudian menjadi dasar bagi metode perbandingan antarbahasa. Hukum ini merupakan penyempurnaan dari penemuan Rasmus Kristian Rask, seorang sarjana dari Denmark yang dikenal dengan hukum Verner yang menjelaskan tentang adanya pertukaran bunyi antara bahasa Jerman dan bahasa-bahasa Yunani Latin. Grimm melakukan penelitian lanjutan dan penyempurnaan dari hukum Verner dan menemukan adanya pertukaran bunyi yang teratur di antara bahasa yang diperbandingkan Rask. Linguistik historis komparatif adalah sebuah istilah korespondensi diperkenalkan oleh Jacob Grimm, seorang linguis atau tokoh aliran Junggramatiker (Hadi dan Kusumaningrum, 2020). Grimm juga menyampaikan bahwa di dalam bunyi bahasa pasti terjadi pergeseran-pergeseran teratur antar bahasa.

Hukum bunyi (Grimms Law) pada ranah linguistik populer, lebih dikenal dengan sebutan korespondensi bunyi. Sebuah metode untuk menemukan hubungan antarbahasa serumpun dalam bidang bunyi bahasa yang erat kaitannya dengan fonologi. Teknik korespondensi bunyi antarbahasa lebih lanjut akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesis mengenai bunyi proto (bahasa purba) dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat (Keraf, 1984). Korespondensi antarbahasa dapat dijelaskan sebagai akibat dari perubahan bunyi yang teratur antara bahasa-bahasa yang berkerabat dan hal tersebut dapat muncul dalam situasi yang bervariasi.

Referensi

Hadi, N. R. P., & Kusumaningrum, S. (2020). KORESPONDENSI FONEMIS BAHASA OGAN DAN BAHASA BANGKA: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF. Jurnal CULTURE (Culture, Language, and Literature Review), 7(2), 191-203.

Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia.

Hukum bunyi sejatinya mengalami beberapa perubahan dari masa ke masa. Beberapa perubahan itu ada yang bersifat mutlak maupuan penyempurnaan. Pada abad XIX para sarjana bahasa telah mengembangkan teknik-teknik untuk mengadakan perbandingan antar bahasa guna menemukan kesamaan-kesamaan antar bahasa-bahasa kerabat. Metode-metode tersebut biasanya disebut metode klasik. Metode klasik meliputi hukum bunyi (Lautgesetz Grimm’s Law, Sound Late), reonstruksi fonemis, dan rekontruksi morfemis. Walupun metode-metode perbandingan ini mendapat kritik dari para aliran linguis, namun dikemudian hari metode perbandingan klasik kemudian digantikan dengan metode-metode yang lain yang lebih ampuh. Yang terjadi kritil-keritik itu hanya untuk menyarankan penyempurnaan.

Pada abab XX hukum bunyi yang kemudian digantikan dengan korepodensi bunyi. Pada hakekatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa. Karena perbandingan dalam bidang fonologi harus dilakukan dalam rangka sebuah morfem atau sebuah kata. Maka langkah pertama adalah usaha menentukan kata-kata atau morfem-morfem mana yang dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan itu. Itu sebabnya dalam mata kuliah Linguistik Historis Komparatif dipersoalkan pula kata-kata kerabat.

Referensi:
Keraf, G. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Gramedia.

Hukum Grimm merupakan sistem perubahan pada bunyi yang ditemukan oleh Jacob Grimm. Dalam hal ini ia menjelaskan konsonan-konsonan hentian dalam bahasa Proto-Indo-Eropa yang berkembang di bahasa proto-Jermanik (leluhur dari rumpun bahasa Jermanik dalam keluarga bahasa Indo-Eropa). Hukum ini mencatat berbagai macam perubahan bunyi, sebagai contoh korespondensi antara p dalam bahasa Latin dan f dalam bahasa Jermanik. Hukum bunyi tersebut sebenarnya merupakan penyempurnaan dari penemuan Rasmus Kristian Rask, seorang sarjana dari Denmark yang berbunyi: Frikatif tak bersuara dalam lingkungan bersuara, bila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal sebelumnya dalam bahasa proto Indo-Eropa (Hadi et al., 2020). Dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum perubahan bunyi dari masa ke masa mengalami penyempurnaan.

Hukum grimm terdiri atas tiga bagan yang membentuk perubahan yang berkesinambungan. Perubahan-perubahan tersebut dapat dirincikan sebagai berikut:

  1. Konsonan hentian tak bersuara dari Proto-Indo-Eropa berubah menjadi konsonan frikatif.
  2. Konsonan hentian bersuara dari Proto-Indo-Eropa berubah menjadi konsonan hentian tak bersuara.
  3. Konsonan hentian bersuara dengan aspirasi dari Proto-Indo-Eropa berubah menjadi konsonan hentian bersuara atau frikatif (sebagai alofon).

Contoh perubahan bunyi:

  1. Proto-Indo-Eropa *bʰréh₂tēr (“saudara laki-laki”) > Proto-Jermanik *brōþēr (Inggris Kuno broþor, Jerman Tinggi Kuno bruothar/bruodar)
  2. Proto-Indo-Eropa *ph₂tḗr (“ayah”) > Proto-Jermanik *fadēr (Inggris Kuno fæder, Jerman Tinggi Kuno fatar)

Referensi:
Hadi, N. R. P., & Kusumaningrum, S. (2020). Korespondensi Fonemis Bahasa Ogan dan Bahasa Bangka: Kajian Linguistik Historis Komparatif. Jurnal CULTURE (Culture, Language, and Literature Review), 7(2), 191-203.

Perkembangan hukum bunyi, seperti Lautgesetz, Grimm’s Law, dan Sound Law bersifat amandemen. Artinya, metode tersebut telah dikritik oleh beberapa aliran linguistik di kemudian hari tetapi masih digunakan sebagai landasan perbandingan bahasa (Keraf, 1996: 40). Dengan demikian, perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa hanya mengalami kritik-kritik yang menyarankan penyempurnaan teknik dan metode, tanpa menggantikan Hukum Bunyi yang telah ada.

Hukum bunyi sendiri merupakan metode kesejajaran bunyi pada posisi sama yang terdapat dalam bahasa-bahasa turunan berdasarkan kata dasar yang dikumpulkan dalam penelitian. Artinya, metode tersebut bertujuan untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa (Ino, 2015: 369).

Istilah Hukum Bunyi pertama kali dicetuskan oleh Jakom Grimm dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan pada tahun 1819 dengan istilah Pergeseran Bunyi atau Hukum Grimm (Grimm Law). Pada abad XIX istilah tersebut diganti dengan Hukum Bunyi atau Lautgesetz (Keraf, 1996: 42). Kemudian istilah tersebut diganti dengan istilah korespondensi bunyi pada abad XX (Keraf, 1996: 41).

Hukum Verner merupakan penemuan yang ditemukan oleh K. Verner pada tahun1876. Rumusan Hukum Verner berunyi “Frikatif tak bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif bersuara dalam lingkungan bersuara apabila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa”. Penemuan K. Verne membuat ahli Junggrammatiker menegaskan bahwa hukum unyi berlangsung tanpa terkecuali (ausnahmlos). Ahli Junggrammatiker yang berpusat di Leipzig adalah Brugman, Osthoff, dan Leskien. (Markhamah et al., 2018).

Refrensi
Markhamah, Sabardila, A., & Haryanti, D. (2018). Teori Linguistik: Beberapa Aliran Liguistik. Muhammadiyah University Press
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 365-351. Doi: Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara | RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa 1
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Perkembangan hukum bunyi (Lautgesetz, Grimm’s Law dan Sound Law) pertama kali dicetuskan oleh Jacob Grimm, di mana ia menjelaskan konsonan henti dalam bahasa Proto-Indo-Eropa, yang kemudian berkembang menjadi bahasa Proto-Jermanik. Hukum tersebut menetapkan seperangkat korespondensi antara konsonan henti dan frikatif dari rumpun bahasa Jermanik dengan konsonan hentian dari rumpun bahasa Indo-Eropa yang termasuk dalam kelompok kentum (Lyle, 2004).

Linguistik historis komparatif juga dikenal sebagai teori diakronis, yang mempelajari bentuk dan keteraturan perubahan dalam bahasa umum, seperti yang dilengkapi dengan perubahan fonetik, untuk merekonstruksi bahasa masa lalu yakni bahasa kuno (proto). Bahasa (proto) kuno ini berubah dan pecah menjadi beberapa bahasa turunan karena faktor tempat dan waktu (Bynon, 1979:54). Bahasa turunan ini mewarisi kaidah bahasa aslinya namun berbeda karena terus mengalami perkembangan yang terjadi (Bynon, 1979:61).

Jadi dapat disimpulkan perkekembangan hukum bunyi dari masa ke masa akan terus berubah dengan terus mewarisi kaidah-kaidah kebahasaan asalnya. Dapat dilihat bahwa hukum bunyi terdiri dari tiga bagian yang membentuk suatu perubahan berantai yakni dengan merekonstruksi perubahan-perubahan tersebut. Adapun rekonstruksinya konsonan hentian tak bersuara dari Proto-Indo-Eropa berubah menjadi konsonan frikatif. Konsonan hentian bersuara dari Proto-Indo-Eropa berubah menjadi konsonan hentian tak bersuara dan konsonan hentian bersuara dengan aspirasi dari Proto-Indo-Eropa berubah menjadi konsonan hentian bersuara atau frikatif sebagai alofon.

REFERENSI:
Campbell, Lyle (2004). Historical linguistics (edisi ke 2). Cambridge: MIT Press.
Ino, L. (2015). Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Retrorika: Jurnal Ilmu Bahasa, 1(2), 365-378.