Korespondensi fonemis merupakan metode untuk menemukan hubungan antarbahasa dalam bidang bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antarbahasa selanjutnya akan menjadi dasar penyusunan hipotesis mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat dari tingkat perkembangan sebelumnya (Keraf, 1984: 40). Korespondensi fonemis, selain digunakan untuk menentukan perubahan-perubahan fonemis yang teratur pada bahasa-bahasa kerabat yang diperbandingkan, juga digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan antarbahasa yang diperbandingkan. Keteraturan fonemis tersebut oleh Grimm disebut dengan istilah Hukum Bunyi, yang selanjutnya lebih dikenal dengan korespondensi bunyi (phonemic correspondence) (Keraf, 1984: 40). Metode analisis korespondensi fonemis dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, yaitu (1) mendaftar gloss yang diduga memiliki nilai korespondensi; (2) membandingkan fonem demi fonem dari tiap segmen yang terdapat pada posisi yang sama, dimasukkan dalam satu perangkat korespondensi; (3) memeroleh perangkat korespondensi; (4) menentukan perubahan-perubahan bunyi yang terjadi dalam sejumlah gloss yang diperbandingkan.
Hukum bunyi menimbulkan perubahan pada tataran bunyi (fonem). Di balik perubahan-perubahan yang terjadi itu, ada pula unsur-unsur terusan yang terwaris (retensi), yang meliputi fonem, kata dasar dengan semantiknya, serta unsur-unsur ketatabahasaan baik morfologi maupun sintaksisnya. Di antara perubahan-perubahan itu, perubahan bunyi merupakan salah satu penanda perubahan unsur terkecil dalam bahasa, namun cukup menarik untuk diteliti dan ditelaah. Perubahan bunyi ini yang kemudian menggambarkan refleksi-refleksi atau pertalian-pertalian bunyi di antara bahasa-bahasa berkerabat. Refleksi-refleksi itu bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan. Pada dasarnya perubahan itu diatur dan ditentukan oleh suatu prinsip keteraturan, dalam arti bunyi itu berubah secara teratur melalui proses-proses tertentu dan berlangsung dalam suatu periode yang lama (Bynon, 1979: 25). Bynon juga menguraikan adanya tiga model perkembangan bahasa yaitu, model kaum neogrammarian, model kaum strukturalis, dan model kaum transformasional-generatif.
- Model Kaum Neogrammarian
Kaum Neogrammarian adalah sekelompok sarjana Indo-Eropa yang bekerja dan mempunyai hubungan dengan Universitas Leipzig pada akhir abad 19. Untuk ilmu bahasa historis mereka memberikan dasar yang kokoh dengan membuat formulasi tentang prinsip-prinsip metodologis dan postulat teoritis yang membimbing mereka di dalam pekerjaan mereka serta sekaligus mencobakan prinsip-prinsip ini di dalam kerja praktik. Kaum neogrammarian membuat postulat tentang prinsip dasar di dalam perkembangan bahasa, yaitu hukum bunyi dan analogi.
Mereka menyatakan bahwa perubahan bahasa didasari oleh prinsip hukum bunyi tanpa kekecualian (Bynon, 1977: 25). Dengan hukum bunyi tanpa kekecualian ini dapat diartikan bahwa arah dari perubahan bunyi adalah sama pada semua masyarakat bahasa (speech community) yang mengalami perubahan tersebut dan semua kata di mana ada bunyi yang mengalami perubahan yang terjadi pada lingkungan fonetik yang sama juga dipengaruhi oleh lingkungan dengan cara yang sama. Karena kaum ini berpendapat bahwa kaidah-kaidah fonologis dapat diformulasikan tanpa mengacu kepada morfologi, sintaksis dan semantik. Prinsip yang kedua adalah analogi. Lain daripada kaidah-kaidah fonologis yang bebas tadi, perubahan analogis sepenuhnya tergantung pada struktur gramatikal.
- Model Kaum Strukturalis
Kaum strukturalis adalah para ahli bahasa aliran Praha di Eropa seperti Ferdinand de Saussare dan para pengikut Bloomfield. Kaum ini menerangkan perubahan fonologis dengan memakai fonem. Adapun aspek-aspek perubahan fonologis bagi kaum strukturalis diuraikan berikut ini.
a. Perubahan fonologis dapat mempengaruhi inventori fonem, yakni dapat menyebabkan bertambah dan berkurangnya jumlah fonem.
b. Perubahan fonologis mungkin saja tidak mempengaruhi inventori fonem, tetapi dapat mengubah distribusi fonem-fonem tertentu.
c. Perubahan yang sama dapat mengganti ‘incidence’ dari /a/ dan /e/, yakni distribusinya pada item-item leksikal dan gramatikal pada bahasa tersebut.
- Model Kaum Transformasional-Generatif untuk Evolusi Bahasa
Kaum ini mengenal dua macam perubahan, yaitu perubahan fonologis dan perubahan sintaktik. Di dalam perubahan fonologis mereka membedakan antara inovasi dan penyusunan kembali secara sistematik. Sementara di dalam perubahan secara sintaktik mereka mengenal perubahan-perubahan frasa benda (noun phrase), frasa kerja (verb phrase) dan item leksikal.
Perubahan bunyi bahasa-bahasa turunan setelah berpisah dari bahasa induk atau proto bahasanya bersifat unik dan mandiri (Jeffers dan Lehiste, 1979). Pola-pola perubahan bunyi yang sering ditemukan menurut Jeffers dan Lehiste (1979: 64-67) bandingkan dalam Mahsun (1995: 25-28) adalah peleburan (merger), perengkahan (split), penunggalan (monophonemization), penggugusan (diphonization), peluluhan bunyi (phonemik loss). Di samping kelima bentuk perubahan itu Keraf (1984: 79-83) menambahkan bahwa perubahan bentuk sekunder dapat terjadi linear, penambahan, penanggalan parsial.
Pada dasarnya, perubahan bunyi di antara bahasa-bahasa turunan dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat pada proto bahasa yang mengakibatkan perbedaan bahasa atau dialek ada yang teratur dan ada yang tidak teratur (sporadis). Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut korespondensi, sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis disebut variasi. Dari aspek linguistik korespondensi merupakan perubahan bunyi yang terjadi karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu (Mahsun 1995: 28-29).
Referensi:
Siregar, E. (2010). Beberapa Perubahan Bunyi Vokal Proto-Austronesia dalam Bahasa Simalungun dan Toba (Suatu Kajian Linguistik Historis Kompararif).
Katrinia, Y.E., & Rangga, A. (tt.) Korespondensi dan Variasi Bunyi Bahasa-Bahasa Nusantara Mempermudah Belajar Bahasa (The Correspondence and Variations of Nusantara’s Language Pronunciations in Facilitating the Way People to Learn Language). Jurnal Universitas Tidar, 1-30.