Penulisan sejarah bahasa adalah mecari pola hubungan kekerabatan yang ada pada BL dan merekonstruksi ke dalam bahasa proto yang telah menurunkan bahasa-bahasa yang ada pada saat ini termasuk BL. Pembuktian hubungan kekerabatan dan keseasalan itu pada umumnya bertolak dari pengelompokan bahasa-bahasa dan rekonstruksi protobahasanya. Pengelompokan adalah penetuan bahasa-bahasa dalam suatu susunan atau protokerabat (protokerabat (family tree). Selanjutnya rekonstruksi protobahasa adalah penetapan satuan-satuan kebahasaan sebagai protobentuk. Dengan demikian, melalui pengelompokan dan rekonstruksi dapat diperoleh kejelasan hubungan kekerabatan dan keseasalan sesuai dengan jenjang struktur dan silsilah kekerabatan bahasa (Antilla, 1972:29; Hock, 1988567).
Van Der Tuuk (dalam Purwo dan Collin, 1985; Keraf, 1984:44) merupakan perintis perbandingan bahasa-bahasa Austronesia. Dalam merumuskan dan mengkaji kesepadanan-kesepadanan bunyi sejumlah bahasa Austronesia, ia bertolak dari prinsip-prinsip dan prosedur kerja linguistik historis komparatif yang diterapkan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa. Ia mengemukakan Hukum Bunyi RGH dan RDL. Hukum bunyi didasarkan atas adanya pertalian bunyi secara teratur pada sebagian bahasabahasa Austronesia. Kesepadanan bunyi itu tampak pada kata-kata kerabat atau kognat (cognate).
Teori rekonstruksi komparatif didasarkan pada dua asumsi. Pertama adalah hipotesis keterhubungan (relatedness hypotesis) dan yang kedua hipotesis keteraturan (regularity hypotesis). Hipotesis keterhubungan berusaha menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata dari berbagai bahasa yang berbeda-beda karena pada dasarnya bahasa-bahasa itu berhubungan secara simetris satu dengan yang lain, termasuk di dalamnya BSDL. Asumsinya bahwa bahasa itu berasal dari bahasa induk atau proto language. Dengan hipotesis keteraturan, metode ini akan memudahkan dalam merekonstruksi bahasa induk tersebut karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan bunyi yang teratur. Diasumsikan bahwa setiap bentuk akan berubah dengan cara sama pada setiap keadaan dan kejadian yang sama, dari serangkaian kejadian, akhirnya dapat direkonstruksi keluarga bahasa tersebut. Diperkirakan setelah bahasa induknya pecah menjadi dua bahasa atau lebih anak-anak bahasa yang merupakan warisan langsung, maka penutur bahasa itu akan menggunakannya dengan cara mereka sendiri, baik secara linguistik maupun secara fisik (Jeffers & Lehiste, 1979: 43). Hubungan kekerabatan dan keseasalan dapat dibuktikan pula berdasarkan kesamaan dan kemiripan bentuk dan makna melalui perangkat kata kerabat yang kemudian disebut sebagai kata-kata kognat (cognate). Kesamaan dan kemiripan itu bukalah sebagai pinjaman, kebetulan atau kecenderungan semesta, melainkan dihipotesiskan sebagai warisan dari asal usul yang sama, yaitu berasal dari bahasa purba atau proto bahasa (Bynon, 1979: 11; Jeffers & Lehiste, 1979: 17).
Hukum bunyi itu dapat dijelaskan bahwa suatu fonem Austronesia Purba *r akan menurunkan tiga fonem baru dalam bahasa-bahasa Austronesia sekarang ini, yaitu fonem r, d, l yang semuanya merupakan fonem yang daerah artikulasinya berdekatan, yaitu di sekitar alveolum. Begitu pula, fonem Austronesia Purba *R (trill uvular) menurungkan fonem-fonem pantulan berupa R, G, H dalam bahasa-bahasa Austronesia sekarang, yaitu semuanya merupakan fonem yang daerah artikulasinya berdekatan sekitar velum (Keraf, 1984:83; Mbete, 1993:13).
Referensi:
Ino, L. (2015). Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1(2), 365-378.
Djawa, A., & Sampe, M. (2021). GEJALA PERUBAHAN BAHASA DALAM BAHASA LOLI DI KABUPATEN SUMBA BARAT. Bianglala Linguistika: Jurnal Linguistik, 9(2), 29-34.