Perkembangan Hukum Bunyi dari Masa ke Masa

Hukum bunyi adalah pergeseran atau pertukaran bunyi yang teratur. Hukum bunyi menurut (Keraf, 1984) digunakan untuk menentukan perubahan-perubahan fonemis bahasa yang satu kerabat dan digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan antar bahasa. Keteraturan-keteraturan ini oleh Grimm disebut sebagai hukum bunyi, yang selanjutnya dikenal sebagai korespondensi bunyi. (Keraf, 1984) mengungkapkan bahwa teknik Penetapan korespondensi bunyi antarbahasa, akan menjadi dasar dalam penyusunan dugaan atau hipotesis terkait dengan bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa sekerabat dari tingkat perkembangan sebelumnya. Pada dasarnya korespondensi bunyi memiliki induk yang sama, meskipun tetap ada perubahan-perubahan baik dari dalam maupun dari luar bahasa. Perubahan-perubahan ini dapat terjadi karena faktor wilayah pakai bahasa, kontak bahasa secara gepgrafis, adanya migrasi dan transmigrasi dan lain sebagainya (Kartini & Asmara ). Berikut ini merupakan contoh korespondensi dan variasi bunyi-bunyi bahasa.

Sepuluh (bahasa Indonesia) – siploh (bahasa Aceh) – Sapuluah (bahasa Minang) – Sampuloh (Bahasa Batak)

Contoh di atas termasuk ke dalam kata bilangan. Kata bilangan termasuk ke dalam kata yang sulit berubah untuk rentang waktu yang cukup lama, sehingga dapat diteliti kembali tentang perkembangan bahasanya. Dari contoh di atas dapat kita ketahui bahwa bahasa daerah memiliki bunyi yang hampir sama dengan induknya yakni bahasa Indonesia, meskipun terdapat sedikit pergeseran atau pertukaran bunyi, namun tetap memiliki makna yang sama.

Referensi :

Kartini, Y. E., & Asmara , R. (n.d.). Korespondensi dan Variasi Bunyi-Bunyi Bahasa Nusantara Mempermudah Belajar Bahasa. Kongres Bahasa Indonesia .

Keraf, G. (1984). Lingustik Bandingan Historis . Jakarta : PT. Gramedia.

Pada hakikatnya seiring berjalannya waktu, hukum bunyi sering mengalami perubahan. Perubahan bunyi secara teratur terjadi pada masing-masing bahasa kerabat. Hukum bunyi pada ranah linguistik populer, lebih dikenal dengan sebutan korespondensi bunyi. Sebuah metode untuk menemukan hubungan antarbahasa serumpun dalam bidang bunyi bahasa yang erat hubungannya dengan fonologi. Teknik korespondensi bunyi antarbahasa lebih lanjut akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesis mengenai bunyi proto (bahasa purba) dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa kerabat (Keraf, 1984).
Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi adalah kesejajaran bunyi pada posisi yang sama yang terdapat pada bahasa-bahasa turunan berdasarkan kata dasar yang dikumpulkan dalam penelitian. Kesejajaran ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti. Bunyi telah banyak dikaji dalam studi linguistik sehingga telah menjadi kajian yang sangat mapan. Perubahan bunyi itu beraturan dan dapat memberi indikasi hubungan (Hock, 1988:573).

Ino, L. (2015). Pemanfaatan Linguistik Historis Komparatif dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1 (2), 351-365.

Keraf, G. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Gramedia.

Hukum bunyi adalah kesamaan bunyi pada posisi yang sama di dalam bahasa-bahasa tuturan berdasar pada kata daras yang dihimpun dalam penelitian dengan tujuan mengambil kesimpulan hubungan antarbahasa dalam bidang bunyi (Ino, 2015). Hukum bunyi pertama kali munculkan oleh ahli bahasa Jakom Grimm melalui bukunya Desutsche Grammatik (1819). Hukum bunyi dalam buku tersebut disebut sebagai pergeseran bunyi (Lautvershiebung) atau hukum Grimm (Grimm Law). Pada era 1800-an istilah tersebut diganti dengan hukum bunyi atau Lautgesetz (Keraf, 1996: 42) yang kemudian diganti dengan istilah kkorespondensi bunyi pada era 1900-an (Keraf, 1996:41). Hukum bunyi pada hakekatnya tidak bersifat tetap, melainkan memiliki sifat anamdemen seperti hukum bunyi Lautgesetz, Grimm’s Law, dan Sound Law. Metode tersebut mengalami proses perubahan akibat kritik oleh beberapa aliran linguistik, tetapi masih saja digunakan sebagai dasar dalam membandingkan bahasa (Keraf, 19:40). Berdasar pendapat tersebut, dari masa ke masa, hukum bunyi hanya mengalami kritik yang menuju ke penyempurnaan teknik dan metode tanpa menggant hukum bunyi yang ada.

Referensi:
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 365-351. Doi: Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara | RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa

Perjalanan perkembangan dan penambahan korpus bunyi merupakan sesuatu yang niscaya terjadi. Perkembangan dan pernambahan korpus bunyi pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dengan teori fonolgi seperti yang dikemukakan oleh tokoh seperti Robert Jeffers yang mengemukakkan hipotesis keteraturan. Dalam hipotesisnya dikemukakkan bahwa bunyi berubah secara sitematis dna teratur pada setiap bahasa ibu maupun bahasa turunannya. Bunyi ini dapat berubah akibat interaksi dengan budaya lain, faktor ekstinsik bahasa, maupun kebutuhan penuturnya, Ino, L. (2015).

Berddasarkan teori tersebut dapat dipahami bahwa bunyi berkembang secara linear dengan perkembangan zaman atau dapat dikatakan bahwa bunyi tidaklah. Dia berkembang sesuai dengan kebutuhan penuturnya. Perkembangan juga dapat dianalisis secara temporal maupun budaya berdasakan pendekatan linguistik yang ada.

Ino, L. (2015). Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa , 1 (2), 365-378.

Penulisan sejarah bahasa adalah mecari pola hubungan kekerabatan yang ada pada BL dan merekonstruksi ke dalam bahasa proto yang telah menurunkan bahasa-bahasa yang ada pada saat ini termasuk BL. Pembuktian hubungan kekerabatan dan keseasalan itu pada umumnya bertolak dari pengelompokan bahasa-bahasa dan rekonstruksi protobahasanya. Pengelompokan adalah penetuan bahasa-bahasa dalam suatu susunan atau protokerabat (protokerabat (family tree). Selanjutnya rekonstruksi protobahasa adalah penetapan satuan-satuan kebahasaan sebagai protobentuk. Dengan demikian, melalui pengelompokan dan rekonstruksi dapat diperoleh kejelasan hubungan kekerabatan dan keseasalan sesuai dengan jenjang struktur dan silsilah kekerabatan bahasa (Antilla, 1972:29; Hock, 1988567).

Van Der Tuuk (dalam Purwo dan Collin, 1985; Keraf, 1984:44) merupakan perintis perbandingan bahasa-bahasa Austronesia. Dalam merumuskan dan mengkaji kesepadanan-kesepadanan bunyi sejumlah bahasa Austronesia, ia bertolak dari prinsip-prinsip dan prosedur kerja linguistik historis komparatif yang diterapkan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa. Ia mengemukakan Hukum Bunyi RGH dan RDL. Hukum bunyi didasarkan atas adanya pertalian bunyi secara teratur pada sebagian bahasabahasa Austronesia. Kesepadanan bunyi itu tampak pada kata-kata kerabat atau kognat (cognate).

Teori rekonstruksi komparatif didasarkan pada dua asumsi. Pertama adalah hipotesis keterhubungan (relatedness hypotesis) dan yang kedua hipotesis keteraturan (regularity hypotesis). Hipotesis keterhubungan berusaha menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata dari berbagai bahasa yang berbeda-beda karena pada dasarnya bahasa-bahasa itu berhubungan secara simetris satu dengan yang lain, termasuk di dalamnya BSDL. Asumsinya bahwa bahasa itu berasal dari bahasa induk atau proto language. Dengan hipotesis keteraturan, metode ini akan memudahkan dalam merekonstruksi bahasa induk tersebut karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan bunyi yang teratur. Diasumsikan bahwa setiap bentuk akan berubah dengan cara sama pada setiap keadaan dan kejadian yang sama, dari serangkaian kejadian, akhirnya dapat direkonstruksi keluarga bahasa tersebut. Diperkirakan setelah bahasa induknya pecah menjadi dua bahasa atau lebih anak-anak bahasa yang merupakan warisan langsung, maka penutur bahasa itu akan menggunakannya dengan cara mereka sendiri, baik secara linguistik maupun secara fisik (Jeffers & Lehiste, 1979: 43). Hubungan kekerabatan dan keseasalan dapat dibuktikan pula berdasarkan kesamaan dan kemiripan bentuk dan makna melalui perangkat kata kerabat yang kemudian disebut sebagai kata-kata kognat (cognate). Kesamaan dan kemiripan itu bukalah sebagai pinjaman, kebetulan atau kecenderungan semesta, melainkan dihipotesiskan sebagai warisan dari asal usul yang sama, yaitu berasal dari bahasa purba atau proto bahasa (Bynon, 1979: 11; Jeffers & Lehiste, 1979: 17).

Hukum bunyi itu dapat dijelaskan bahwa suatu fonem Austronesia Purba *r akan menurunkan tiga fonem baru dalam bahasa-bahasa Austronesia sekarang ini, yaitu fonem r, d, l yang semuanya merupakan fonem yang daerah artikulasinya berdekatan, yaitu di sekitar alveolum. Begitu pula, fonem Austronesia Purba *R (trill uvular) menurungkan fonem-fonem pantulan berupa R, G, H dalam bahasa-bahasa Austronesia sekarang, yaitu semuanya merupakan fonem yang daerah artikulasinya berdekatan sekitar velum (Keraf, 1984:83; Mbete, 1993:13).

Referensi:
Ino, L. (2015). Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1(2), 365-378.
Djawa, A., & Sampe, M. (2021). GEJALA PERUBAHAN BAHASA DALAM BAHASA LOLI DI KABUPATEN SUMBA BARAT. Bianglala Linguistika: Jurnal Linguistik, 9(2), 29-34.

Perkembangan hukum bunyi, seperti Lautgesetz, Grimm’s Law dan Sound Law bersifat amandemen. Artinya, metode tersebut telah dikritik oleh beberapa aliran linguistik di kemudian hari tetapi masih digunakan sebagai landasan perbandingan bahasa (Keraf, 1996: 40).

Mengacu dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa hukum bunyi bahasa tetaplah ada namun mengalami banyak pertentangan. Sehingga, tidak mengalami perubahan, mungkin hanya sebatas perubahan metode.

Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Hukum Grimm , deskripsi korespondensi reguler dalam bahasa Indo-Eropa yang dirumuskan oleh YakubGrimm di miliknya Deutsche Grammatik (1819–37; “Tata Bahasa Jermanik”); itu menunjukkan korelasi yang menonjol antara bahasa Jermanik dan bahasa Indo-Eropa lainnya di Eropa dan Asia Barat. Hukum adalah rumusan yang sistematis dan koheren , didukung dengan baik oleh contoh-contoh pola yang diakui sejak tahun 1814 oleh ahli filologi Denmark Rasmus Kristian Rask . Ini penting bagi linguistik sejarah karena dengan jelas menunjukkan prinsip bahwaperubahan bunyi adalah fenomena biasa dan bukan proses acak yang hanya mempengaruhi beberapa kata, seperti yang telah dipikirkan sebelumnya
Grimm menggambarkan dua pergeseran konsonan yang pada dasarnya melibatkan sembilan konsonan. Satu pergeseran (mungkin beberapa abad sebelum era Kristen) mempengaruhi konsonan Indo-Eropa dan terbukti dalam bahasa Inggris, Belanda, bahasa Jerman Rendah lainnya, dan Norse Kuno. Pergeseran lain (sekitar abad ke-6 M ) kurang radikal dalam lingkupnya dan mempengaruhi konsonan Jermanik, menghasilkan sistem konsonan yang terlihat pada bahasa Jerman Tinggi Kuno dan keturunannya, Jerman Tinggi Tengah dan Jerman Tinggi Modern (Jerman standar). Menurut hukum, p, t, k kuno tak bersuara menjadi bahasa Inggris tak bersuara f, th, h dan bahasa Jerman Tinggi Kuno f, d, h,menghasilkan korelasi seperti itu antara konsonan awal bahasa Yunani pod-, bahasa Inggris fod, dan fuo Jerman Tinggi Kuno. Hukum selanjutnya menyatakan bahwa suara kuno b, d, g menjadi p, t, k tanpa suara Inggris dan spiran Jerman Tinggi Kuno berhenti f, ts, kh; karenanya, korelasi antara duo Latin , bahasa Inggris “dua”, dan Jerman modern zwei (dilafalkan " ts vai"). Juga, suara aslinya bh, dh, gh menjadi suara Inggris b, d, g dan Jerman Tinggi Kuno p, t, k; bandingkan bhárati Sanskerta ,Bahasa Inggris “bear”, dan dialek Jerman Hulu ki- peran Jerman Tinggi Kuno (kemudian menjadi standar Jerman ge-bären ). Contoh Bahasa Jerman Tinggi Kuno menunjukkan pergeseran kedua selain yang pertama, yang terlihat dalam bahasa Inggris.

Referensi
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika,

Pada dasarnya perubahan bunyi terjadi diantara dialek-dialek/subdialek subdialek atau bahasa turunan dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat
pada prabahasa atau proto bahasa yang mengakibatkan terjadinya perbedaan
dialektal/subdialek atau pun perbedaan bahasa ada yang teratur ada juga yang
tidak teratur (sporadis). Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut
korespondensi, sedangkan perubahan sporadik disebut variasi. (Mahsun, 2007:32).

Hukum Bunyi yang pertama kali dicetuskan oleh Jakom Grimm dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan pada tahun 1819 dengan istilah Pergeseran Bunyi atau Hukum Grimm (Grimm Law). Pada abad XIX istilah tersebut diganti dengan Hukum Bunyi atau Lautgesetz (Keraf, 1996: 42). Kemudian istilah tersebut diganti dengan istilah korespondensi bunyi pada abad XX (Keraf, 1996: 41).

Hukum Grimm adalah sistem perubahan bunyi yang pertama kali ditemukan tanpa adanya keraguan. Walau pada awalnya ditemukan dalam bidang filologi, penemuan tersebut menjadi awal dari terbentuknya fonologi historis sebagai bagian yang terpisah dari linguistik historis Korespondensi antara p dalam bahasa Latin dan f dalam bahasa Jermanik pertama kali dicatat oleh Friedrich von Schlegel pada tahun 1806. Pada tahun 1818, Rasmus Christian Rask memperluas korespondensi-korespondensinya pada rumpun-rumpun bahasa Indo-Eropa lainnya, seperti Sanskerta, serta konsonan-konsonan yang berkaitan. Pada tahun 1822, Jacob Grimm, kakak dari Grimm bersaudara, mengajukan hukum tersebut dalam buku Deutsche Grammatik serta memperluasnya dengan memasukkan bahasa Jerman.

Referensi
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Heni, R. (2019). KEKERABATAN BAHASA SASAK DIALEK MENO-MENE DAN BAHASA SUMBAWA DIALEK TALIWANG DALAM KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF (Doctoral dissertation, Universitas_Muhammadiyah_Mataram).

Campbell, Lyle (2004). Historical linguistics (edisi ke-2nd). Cambridge: MIT Press. hlm. 49

Suhardi. (2013). Pengantar Linguistik Umum. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Perkembangan hukum bunyi (Lautgesetz, Grimm’s Law, dan Sound Law) bersifat amandemen. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa metode tersebut telah dikritik oleh beberapa aliran linguistik di kemudian hari tetapi masih digunakan sebagai landasan perbandingan bahasa (Keraf, 1996). Dengan demikian, perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa mengalami kritik-kritik yang menyarankan penyempurnaan teknik dan metode, tanpa menggantikan Hukum Bunyi yang telah ada.

Hukum bunyi sendiri merupakan metode kesejajaran bunyi pada posisi sama yang terdapat dalam bahasa-bahasa turunan berdasarkan kata dasar yang dikumpulkan dalam penelitian. Artinya, metode tersebut bertujuan untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa (Ino, 2015). Istilah Hukum Bunyi pertama kali dicetuskan oleh Jakom Grimm dalam bukunya Deutsche Grammatik yang diterbitkan pada tahun 1819 dengan istilah Pergeseran Bunyi atau Hukum Grimm (Grimm Law). Pada abad XIX istilah tersebut diganti dengan Hukum Bunyi atau Lautgesetz (Keraf, 1996). Kemudian istilah tersebut diganti dengan istilah korespondensi bunyi pada abad XX (Keraf, 1996).

Referensi
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika.
Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Menurut saya perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa didasari oleh Hukum Grimm atau Grimm’s law. Grimm’s Law tidak diragukan lagi merupakan sistem pengubah suara pertama yang ditemukan. Meski awalnya ditemukan dalam bidang filologi, penemuan ini menjadi awal terbentuknya fonologi sejarah sebagai divisi tersendiri dari linguistik historis. Korespondensi antara p dalam bahasa Latin dan f dalam bahasa Jerman pertama kali dicatat oleh Friedrich von Schlegel pada tahun 1806. Pada tahun 1818, Rasmus Christian Rask memperluas korespondensinya ke keluarga bahasa Indo-Eropa lainnya, seperti Sansekerta, dan konsonan terkait. Pada tahun 1822, Jacob Grimm, saudara tertua dari Brothers Grimm, mengusulkan hukum dalam bukunya Deutsche Grammatik dan diperluas untuk memasukkan bahasa Jerman.

Hukum bunyi pertama kali dicetuskan oleh Jakom Grimm dalam bukunya Deutsche Grammatik terbitan tahun 1819 dengan istilah Displaced Sound atau Hukum Grimm. Pada abad ke-19 istilah tersebut diganti dengan hukum bunyi atau Lautgesetz (Keraf, 1996: 2). Istilah ini kemudian digantikan oleh istilah korespondensi bunyi pada abad ke-20 (Keraf, 1996: 1).

Keraf, G. (1984). Lingustik Bandingan Historis . Jakarta : PT. Gramedia.

(Jeffers dan Lehiste, 1979:27—31) Bahasa berbelah secara berturut-turut dan pada setiap tahapan terjadi perubahan yang mengakibatkan pembelahan lebih lanjut atau berkembang biak dengan proses dan caranya sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa asumsi perkembangan spesies moyang bahasa yang melahirkan bahasa-bahasa turunan itu dapat ditelusuri kembali dengan menggunakan metode komparatif yang berdasarkan atas hipotesis keterkaitan dan keteraturan.

(Dyen, 1978 dan Bynon, 1979:25) Berdasarkan perubahan bunyi secara teratur yang terjadi pada masingmasing bahasa kerabat dapat disusun kaidah-kaidah korespondensi fonem.

Reverensi

Ino, L. (2015). PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 351-365.

Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi, awalnya dikenal dengan istilah hukum bunyi (Lautgesetz, Sound Law, Grimm’s Law), diartikan sebagai hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata yang terkait (Keraf, 1984). Metode klasik meliputi hukum bunyi (Lautgesetz Grimm’s Law, Sound Late), reonstruksi fonemis, dan rekontruksi morfemis. Walupun metode-metode perbandingan ini mendapat kritik dari para aliran linguis, namun dikemudian hari metode perbandingan klasik kemudian digantikan dengan metode-metode yang lain yang lebih ampuh. Sehingga terjadi kritik-kritik untuk menyarankan penyempurnaan. Pada abab XX hukum bunyi yang kemudian digantikan dengan korepodensi bunyi.

Selain itu, perkembangan bunyi tidak jauh dari hipotesis keteraturan yang dikembangkan oleh Jeffers, Rehiste, dan Hock. Hipotesis tersebut berwujud perubahan binti yang bersistem dan teratur pada masing-masing bahasa turunan. Segmen bunyi dari proto bahasa yang telah terwaris melalui kosa kata seasal yang berubah secara teratur dalam sebuah bahasa turunan (Ino, 2015). Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Dyen & Bynon yaitu perubahan bunyi secara teratur terdapat dalam kaidah korespondensi fonem (Ino, 2015).

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan perkembangan bunyi dari masa ke masa berkembang secara teratur. Hal tersebut dapat dilihat dari korespondensi fonem. Selain itu dari masa ke masa bunyi hanya mengalami kritik guna menyempurnakan teknik dan metode tanpa mengganti hukum bunyi yang ada.

Referensi:
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparatif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 365-351.
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Perkembangan hukum bunyi dari masa ke masa terdapat fonologi generatif yang prosesnya terdiri dari penambahan segmen bunyi, seperti penambahan fonem dalam bahasa Jawa; segmen yang dilesapkan; segmen yang disatukan; serta asimilasi. Semua hal itu menjadi dasar berkembangnya bunyi dari masa ke masa (Nafisah, 2017).

Nafisah, S. (2017). Proses Fonologis dan Pengkaidahannya dalam Kajian Fonologi Generatif. Deiksis, 9 (01), 70–78.

Rekonstruksi protobahasa berpijak pada dua hipotesis, yakni hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:17; Hock, 1988:567). Ciri umum yang dimiliki hipotesis keterhubungan ini adalah kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Tataran leksikal merupakan salah satu aspek penting dalam studi komparatif. Hal tersebut tampak terutama pada pengamatan tingkat awal dalam upaya pengelompokan antarbahasa sekerabat. Dengan menggunakan bukti-bukti kuantitatif yang lebih berorientasi pada pengamatan sekilas pada sejumlah kosakata dasar dapat ditentukan kelompok bahasa-bahasa sekerabat berdasarkan prosentasenya, sedangkan tataran fonologis dapat dipakai pada tingkat lanjutan untuk menentukan pengelompokan protobahasa. Berdasarkan perubahan bunyi secara teratur yang terjadi pada masing-masing bahasa kerabat dapat disusun kaidah-kaidah korespondensi fonem (Dyen, 1978 dan Bynon, 1979:25).

Referensi:
Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika, 1(2), 365-351.

Bahasa sebagai objek kajian linguistik adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan. Penelusuran terhadap unsur warisan  bahasa berkerabat meliputi tataran leksikal,  fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam  studi komparatif, tataran leksikal dan fonologi lebih umum dipakai sebagai dasar lanjutan untuk menentukan pengelompokan  protobahasa. Berdasarkan perubahan bunyi  secara teratur yang terjadi pada masing- masing bahasa kerabat dapat disusun kaidah-kaidah korespondensi fonem (Dyen,  1978 dan Bynon, 1979)

Ino, La. 2015. Pemanfaatan Linguistik Historis Komparataif Dalam Pemetaan Bahasa-Bahasa Nusantara. Jurnal Retorika , 1(2), 365-351

Perkembangan hukum bunyi merujuk pada sebuah metode untuk menemukan keterkaitan antar bahasa serumpun yang erat kaitannya dengan fonologi. Menurut Keraf (1984:40), teknik korespondensi bunyi lebih lanjutnya akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesis mengenai bunyi bahasa purba yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat. Akibat dari perubahan bunyi yang teratur di antara beberapa bahasa yang berkerabat dan dapat muncul dalam situasi yang bervariasi merupakan penyebab dari perubahan bunyi. Antara bentuk beruntun dari beberapa kata yang sama menjelaskan bahwa dalam satu bahasa dalam tingkat yang berlainan, kata-kata yang berkorespondensi dalam bahasa kerabat merupakan warisan langsung (Keraf, 1984:38-39).
Referensi: Keraf, Gorys. 1984. Linguistik
Bandingan Historis. Jakarta:
PT Gramedia.

Perubahan bunyi sangat berkaitan erat dengan perubahan bahasa. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Tiani (2018) bahwa perubahan bahasa adalah suatu fenomena yang bersifat semesta atau universal. Perubahan bahasa sebagai fenomena yang bersifat umum dapat diamati melalui perubahan bunyi. Dengan kata lain, perubahan itu secara mendasar dapat diamati pada tataran fonologi yang merupakan suatu tataran kebahasaan yang paling mendasar dan penting dalam rangka telaah di bidang linguistic bandingan Masrukhi dalam (Tiani, 2018). Perubahan bunyi dalam tataran fonologis dapat digunakan sebagai patokan bahasa berubah atau tidak.

Dalam ilmu Linguistik Historis Komparatif, istilah korespondensi dipopulerkan oleh Jacob Grim, tokoh aliran Junggramatiker yang terkenal dengan Grims Law. Grims berpendapat bahwa bunyi-bunyi akan memiliki pergeseran secara teratur antara bahasa satu dengan bahasa lain tanpa kecuali Musayyedah dalam (Tiani, 2018).Grims Law kemudian diganti dengan istilah korespondensi bunyi hakikatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antar bahasa lebih lanjut akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesa mengenai bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat (Keraf, 1990).

Referensi

Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.

Tiani, R. (2018, Agustus). Korespondensi Fonemis Bahasa Palembang dan Bahasa Riau. NUSA, 13(3), 397-404.