Menurut Burhanudin et al. (2021) Salzner memiliki peranan besar terkait dengan pengelompokkan bahasa-bahasa di Indonesia seperti yang tertuang dalam bukunya berjudul Sprachenatlas des Indopazifischen Raumes tahun 1960. Dalam buku tersebut, Salzner menyebut Rumpun Austronesia sebagai bagian dari suatu “kelompok” yang lebih besar yang disebutnya Rumpun Austris. Menurutnya, Rumpun Austris terdiri atas, yaitu: (1) Austroasiatis; (2) Indonesia (Austronesia); (3) Melanesia (Oseania); (4) Polinesia; (5) Halmahera Utara; (6) Papua; (7) Australia; (8) Andaman; (9) Malaka; dan (10) Kadai. Kelompok Indonesia atau Austronesia menurut Salzner (1960) terdiri atas dua subkelompok, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Subkelompok Indonesia Barat terdiri atas: (1) Malagasi; (2) Indonesia Barat-Laut, mencakup Taiwan, Filipina, Komoro, Palau, Sangir-Talaud, Minahasa; dan (3) Indonesia Barat-Daya mencakup Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali-Sasak, Gorontalo, Tomini, Toraja, Lionang, Banggai, Bungku-Mori, Sulawesi Selatan, Muna- Buton, dan Bima-Sumba. Adapun Subkelompok Indonesia Timur terdiri atas: Ambon-Timor, Sula-Bacan, Halmahera Selatan-Papua Barat. Jadi, Bima-Sumba yang digolongkan Esser (1938) dan juga Blust (2008 dan 2013) sebagai subkelompok yang lebih erat dengan kelompok bahasa Indonesia Timur lainnya, oleh Salzner digolongkan ke dalam Kelompok Indonesia Barat. Selain itu, Salzner (1960) membantah Esser (1938) tentang jumlah bahasa yang ada di Indonesia. Menurut Salzner (1960), menyatakan bahwa bahasa daerah di Indonesia hanya berjumlah 96. Salah satu karya Richard Salzner adalah Sprachenatlas des Indopazifischen Raumes yang dipublikasi tahun 1960.
Menurut Burhanudin et al. (2021), Sekitar 1930-an Isdore Dyen memusatkan perhatiannya kepada bahasa Melayu tahun 1948 ketika sudah di Yale University kemudian menjadi Profesor Perbandingan Bahasa Melayu-Polinesia yang sekarang dikenal Rumpun Austronesia. Sumbangan pemikiran Isodore Dyen terhadap linguistik historis AN dan Indonesia antara lain (1) dengan menelaah kembali karya Dempwolff, menyempurnakan dalam beberapa fonem proto yang direkonstruksi Dempwolff, misalnya PAN: *Z, *D, *R, dan bunyi laringal dan penemuan beberapa fonem baru dalam bahasa Formusa. Untuk tujuan ini, pertama-tama, Dyen (1947a) menyarankan agar etimon *Duva yang direkonstruksi Dempwolff diubah menjadi Dewha ‘dua’. Seperti dikutip dalam Blust (2013), pada awalnya Dyen memperkenalkan ortografi secara tipografi untuk memudahkan rekonstruksi AN termasuk perubahan simbol meskipun sebagian besar simbol lain Dempwolff tetap dipertahankan. Perubahan ortografis Dempwolff yang berkaitan dengan bunyi /-‘/, /g/, /’-/, /’/, dan /h/ masing-masing pada tahun 1947, 1949, 1949, 1951, dan 1951 secara berturut-turut diubah menjadi /h/, /j/, /?/, /h/, dan /h/. Bunyi /-‘/ oleh Dyen (1949) kemudian diubah kembali menjadi /ø/. Di samping itu, dalam beberapa hal, Isidore Dyen tidak mengubah jumlah tetapi mengubah lambang bunyi /e/ pepet > /e/, bunyi /d/ > /D/, bunyi /d/ pada posisi awal dan tengah menjadi /z/, bunyi /g/ pada posisi tengah dan akhir menjadi /j/, bunyi /j/ dan pada posisi awal dan tengah menjadi /aj/ pada posisi akhir menjadi /y/, bunyi /k/ pada posisi awal dan tengah menjadi /c/, bunyi /l/ > /r/, bunyi /t/ pada posisi awal dan tengah menjadi T, bunyi /w/ menjadi bunyi /w/ dan /Z/ karena masing-masing memiliki realisasi yang berbeda pada masing-masing posisi, sedangkan bunyi /nd/ > /nD/. (2) Pada tahun 1965, berdasarkan data pada 245 bahasa AN dan analisis leksikostatistik, Isidore Dyen menyimpulkan bahwa keluarga bahasa AN terdiri atas 15 cabang, yang kemudian kelima belas cabang tersebut menurunkan 40 kelompok dan paling banyak kelompok kecil di Melanesia. Tahun 1978, Dyen memodifikasi hasil analisis datanya, ia mengusulkan bahwa bahasa AN terbagi menjadi dua, yaitu Kelompok Oseania dan Kelompok Non-Oseania (Collins, 1980). Dengan klasifikasi tersebut, ia menyatakan bahwa istilah AN digunakan untuk semua anggota keluarga bahasa sedangkan istilah Melayu-Polinesia mengacu pada sekelompok bahasa yang secara leksikostatistik terdefinisikan. Menurutnya, AN terdiri atas 15 subkeluarga: Atayal, Melayu Polinesia, Biga, Sarmi, Teluk Cenderawasih, Holandia, Carolina, Hassim, Uvolik, Buka, Choseul, New Georgia, Layalty, New Kaledonia Utara, dan New Kaledonia Selatan. Lalu, secara keseluruhan 10 subkeluarga tersebut terbagi dalam 40 kelompok. (3) Menentukan tanah asal rumpun Austronesia. Menurut Dyen (1971) berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik tanah asal rumpun AN harus dicari di sekitar Papua dan Kepulauan Bismarck (Cheng- Tang Cheng, 2009). Di samping menggunakan leksikostatistik, ia juga menggunakan evidensi-evidensi tambahan sebagai kemungkinan yang perlu dipertimbangkan. Ia berpendapat bahwa penentuan tanah asal-usul penutur AN ditentukan oleh perbedaan antara bahasa-bahasa yang ada. Berdasarkan hasil leksikostatistik, Dyen mengajukan empat tanah asal AN, yaitu (1) Melanesia dan Irian Timur, (2) sebelah Barat Irian, (3) Formusa, dan (4) Mentawai sekitarnya. Penentuan Wilayah Melanesia sebagai tanah asal karena tingginya keberagaman, sehingga menurutnya diversifikasi tersebut disimpulkan ada migrasi awal dari bahasa yang mapan di pantai Utara Irian, di Daerah Nassim dan di Pulau-pulau di dekatnya, New Kaledonia, Kepulauan Loyalty dan Hew Hebrida, yang urut-urutannya tidak jelas. Melalui hipotesis ini diperkirakan gerakan migrasi yang masuk ke Indonesia terjadi dari dua penjuru yang mungkin terjadi dalam waktu yang bersamaan. Yang pertama lewat Indonesia bagian timur hingga Flores. Yang lain mungkin lewat Palau dan atau Guam, bermukim di Sulawesi Utara dan juga Kalimantan dan Mindanau Selatan. Bahasa Gorontalo mungkin penutur yang kemudian di Sulawesi Utara yang datang dari arah Filipina. Serupa dengan itu, bahasa Murut dan bahasa Dusun di Kalimantan Utara ialah penutur yang datang dari arah kelompok bahasa Filipina di Formusa merupakan gelombang migrasi awal, begitu juga dengan bahasa Toba diperkirakan dari Formusa melalui Filipina. Dari daerah-daerah tersebut kemudian menyebar ke pulau-pulau atau daerah-daerah di sekitarnya.
Burhanuddin, Mahyuni, & Sukri. (2021). Tokoh Linguistik Historis Indonesia dan Pemikirannya . Yogyakarta: Ruas Media.