Richard Salzner adalah seorang sarjana bahasa berkebangsaan Jerman. Richard Salzner memiliki kontribusi besar bagi pengelompokkan bahasa-bahasa di Indonesia seperti yang tertuang dalam bukunya berjudul Sprachenatlas des Indopazifischen Raumes tahun 1960. Dalam bukunya itu, Salzner menyebut Rumpun Austronesia sebagai bagian dari suatu “kelompok” yang lebih besar yang disebutnya Rumpun Austris. Menurutnya, Rumpun Austris terdiri atas, yaitu: (1) Austroasiatis; (2) Indonesia (Austronesia); (3) Melanesia (Oseania); (4) Polinesia; (5) Halmahera Utara; (6) Papua; (7) Australia; (8) Andaman; (9) Malaka; dan (10) Kadai. Kelompok Indonesia atau Austronesia menurut Salzner (1960) terdiri atas dua subkelompok, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Subkelompok Indonesia Barat terdiri atas: (1) Malagasi; (2) Indonesia Barat-Laut, mencakup Taiwan, Filipina, Komoro, Palau, Sangir-Talaud, Minahasa; dan (3) Indonesia Barat-Daya mencakup Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali-Sasak, Gorontalo, Tomini, Toraja, Lionang, Banggai, Bungku-Mori, Sulawesi Selatan, MunaButon, dan Bima-Sumba. Adapun Subkelompok Indonesia Timur terdiri atas: Ambon-Timor, Sula-Bacan, Halmahera Selatan-Papua Barat. Jadi, Bima-Sumba yang digolongkan Esser (1938) dan juga Blust (2008 dan 2013) sebagai subkelompok yang lebih erat dengan kelompok bahasa Indonesia Timur lainnya, oleh Salzner digolongkan ke dalam Kelompok Indonesia Barat. Selain itu, Salzner (1960) membantah Esser (1938) tentang jumlah bahasa yang ada di Indonesia. Menurut Salzner (1960), menyatakan bahwa bahasa daerah di Indonesia hanya berjumlah 96. Salah satu karya Richard Salzner adalah Sprachenatlas des Indopazifischen Raumes yang dipublikasi tahun 1960.
Sumbangan pemikiran Isodore Dyen terhadap linguistik historis AN dan Indonesia sebagai berikut. Pertama, dengan menelaah kembali karya Dempwolff, menyempurnakan dalam beberapa fonem proto yang direkonstruksi Dempwolff, misalnya PAN: *Z, *D, *R, dan bunyi laringal dan penemuan beberapa fonem baru dalam bahasa Formusa. Untuk tujuan ini, pertama-tama, Dyen (1947a) menyarankan agar etimon *Duva yang direkonstruksi Dempwolff diubah menjadi Dewha ‘dua’. Seperti dikutip dalam Blust (2013), pada awalnya Dyen memperkenalkan ortografi secara tipografi untuk memudahkan rekonstruksi AN termasuk perubahan simbol meskipun sebagian besar simbol lain Dempwolff tetap dipertahankan.
Teori laringal Dyen ini oleh sebagian besar ahli linguistik historis AN dianggap sebagai prestasi luar biasa yang pencapaiannya digunakan hingga saat ini. Secara filosofis menurut Blust (2013), sistem fonetis Otto Dempwolff lebih bersifat realis sedangkan Isidore Dyen lebih bersifat konstruksionis. Namun, apapun kekurangan pendekatannya, ortografi Dyen telah terbukti kepraktisannya selama bertahun-tahun dan telah digunakan untuk membahas semua rekonstruksi PAN.
Kedua, melanjutkan usaha Dempwolff dengan membuat silsilah kekerabatan Rumpun AN, mulai dari bahasa protonya, pengelompokan, serta perubahannya hingga menjadi bahasa-bahasa yang ada sekarang oleh bangsa-bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan antara Benua Asia dan Australia. Pada tahun 1965, berdasarkan data pada 245 bahasa AN dan analisis leksikostatistik, Isidore Dyen menyimpulkan bahwa keluarga bahasa AN terdiri atas 15 cabang, yang kemudian kelima belas cabang tersebut menurunkan 40 kelompok dan paling banyak kelompok kecil di Melanesia. Tahun 1978, Dyen memodifikasi hasil analisis datanya, ia mengusulkan bahwa bahasa AN terbagi menjadi dua, yaitu Kelompok Oseania dan Kelompok Non-Oseania (Collins, 1980). Dengan klasifikasi tersebut, ia menyatakan bahwa istilah AN digunakan untuk semua anggota keluarga bahasa sedangkan istilah Melayu-Polinesia mengacu pada sekelompok bahasa yang secara leksikostatistik terdefinisikan. Menurutnya, AN terdiri atas 15 subkeluarga: Atayal, Melayu Polinesia, Biga, Sarmi, Teluk Cenderawasih, Holandia, Carolina, Hassim, Uvolik, Buka, Choseul, New Georgia, Layalty, New Kaledonia Utara, dan New Kaledonia Selatan. Lalu, secara keseluruhan 10 subkeluarga tersebut terbagi dalam 40 kelompok. Yaitu, Atayal terdiri atas: Atayal dan Sedik. Melayu Polinesia terbagi menjadi empat bagian: Formusa Timur (Ami, Paiwan, Bunan, dan Thao), Hesperonesia (Indonesia Barat (Sunda (:Jawa-Sumatra, Sasak, Bali, Gayo, dan Dayak), Batak, Cru), Sulawesi (Baree dan Bugis), dan Barat Laut (Filipina dan Gorontalo)), Heonesia (Polinesia (Polinesia Barat, Polinesia Timur, Maori, Kaping-Amarango, Nakuoro) dan Lauik), dan Maluku (Ambik: Paulohi dan Ambon). Biga terdiri atas Buli, As, dan Biga. Sarmi terdiri atas Sobeik dan Tarpia. Teluk Cenderawasih terdiri atas Biak (Biak dan Numfoor) dan Wandamen (Wandamen dan Yapen). Holandia: Tobati dan Omu. Karolina terdiri atas Ponapean, Truki, Marshall, dan Rusairai. Massim terdiri atas Wedauik dan Dobik. Uvolik terdiri atas Uvol dan Mamusik. Buka terdiri atas Buka Barat Laut, Teopik, dan Saposa. Koiseul: Ririan dan Varisian. New Georgia terdiri atas Rovianik, Marovan, Lungik. Loyalty terdiri atas Dehu, Ningoni, dan Iai. New Kaledonia Utara terdiri atas Kamuhik, Tungik, dan Paici. Adapun New Kaledonia Selatan terdiri atas Wailik, Hameha, dan Numeik (Poedjosoedarmo, tanpa tahun). Berdasarkan perhitungan leksikostatistik, Dyen (1965) membagi semua wilayah AN menjadi 4 wilayah, yaitu (1) Barat: Indonesia, Serawak, Daratan Asia Tenggara, dan Madagaskar, (2) Barat Laut: Taiwan, Filipina, Kalimantan Utara, dan Brunei, (3) Utara dan Timur: Mikronesia dan Melanesia, dan (4) Tengah: Irian Timur dan Melanesia (Keraf, 1996).
Ketiga, menentukan tanah asal rumpun Austronesia. Menurut Dyen (1971) berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik tanah asal rumpun AN harus dicari di sekitar Papua dan Kepulauan Bismarck (ChengTang Cheng, 2009). Di samping menggunakan leksikostatistik, ia juga menggunakan evidensi-evidensi tambahan sebagai kemungkinan yang perlu dipertimbangkan. Ia berpendapat bahwa penentuan tanah asalusul penutur AN ditentukan oleh perbedaan antara bahasa-bahasa yang ada. Penentuan tanah asal harus dicari di wilayah terdapat banyak bahasa dengan perbedaan besar karena kelompok bahasa yang berbeda-beda tidak akan bermigrasi bersama-sama ke daerah yang sama dan perbedaan antarbahasa tersebut terjadi sedikit demi sedikit sehingga menjadi berbeda dengan tanah asalnya. Teori migrasi semacam ini menurut Dyen akan menjadi lemah jika ada beberapa tempat yang menunjukkan gejala serupa. Berdasarkan hasil leksikostatistik, Dyen mengajukan empat tanah asal AN, yaitu (1) Melanesia dan Irian Timur, (2) sebelah Barat Irian, (3) Formusa, dan (4) Mentawai sekitarnya.
Keempat, penentuan posisi bahasa Formusa dalam Rumpun Austronesia yang kemudian berbeda dengan pandangan sebagian besar ahli linguistik historis AN. Menurutnya, bahasa-bahasa Formusa merupakan anggota dari Subrumpun Melayu-Polinesia Barat yang disebutnya Hesperonesia dan berkerabat dekat dengan bahasa Filipina sedangkan sebagian besar ahli linguistik historis AN menempatkannya sebagai kelompok yang terpisah.
Kelima, ahli bahasa yang pertama kali menggunakan metode leksikostatistik untuk pengelompokan bahasa pada Rumpun AN secara luas dengan melibatkan sekitar 303 bahasa. Penggunaan metode leksikostatistik secara luas tidak hanya telah berhasil mengelompokkan AN tetapi berhasil menentukan tanah asal Rumpun AN. Setelah dilakukan perbandingan, ternyata 58 bahasa berstatus sebagai dialek sehingga yang layak diperbandingkan hanya 245 bahasa dari 303.
Keenam, menentukan status semua isolek yang diperbandingkan. Sebelum dilakukan klasifikasi atau pengelompokan bahasa-bahasa yang diperbandingkan, Dyen (1965) terlebih dahulu menentukan status isolek yang diperbandingkan dengan menggunakan metode leksikostatistik 200 kosa kata dasar swadesh. Awalnya, Dyen (1965) membandingkan kirakira 303 bahasa dan ternyata 58 di antaranya berstatus sebagai dialek sehingga yang diklasifikasi/dikelompokkan hanya 245 bahasa dengan menggunakan 200 kosa kata dasar swadesh. Penentuan status sebagai dialek dilakukan dengan cara bahwa apabila di antara dua daftar masih terdapat 70% kognat atau lebih, dianggap sebagai dialek (satu bahasa yang sama). Jika lebih rendah dari itu dianggap dua bahasa yang berbeda. Selanjutnya, ia mengklasifikasi dengan diberi nama subfamily, genus, cluster, hesion, dan linkage.
Ketujuh, mereview kembali hasil pengelompokan yang dilakukan Hoevell (1877) dan Stressement (1927) tentang Kelompok Ambon. Dalam makalahnya tahun tahun 1978 dilakukan perhitungan leksikostatistik lanjutan berdasarkan data yang ditemukan dalam van Ekris (1864-1865). Tentang Sub-Seram, Sub-Ambon, dan Sub-Buru, ia mengatakan bahwa: “I am inclined to believe that the speech-types assigned to Proto-Ambon are more closely interrelated with the speech-types subgrouped under Proto-Seramic than any are with those attributed to Proto-Buru”. Dengan demikian ia menyarankan bahwa Sub-Ambon lebih dekat hubungannya dengan Sub-Seram dibandingkan dengan Sub-Buru. Sub-Ambon menurut Dyen (1978) terdiri atas tiga cabang, yaitu Alune, Hilan (Hila dan Asilulu), dan Seram Barat (Paulohi, Saparua-Nusalaut-Hatawano, Kaibobo, KariuHaruku, Kamarian-Tihulale-Rumakai).
Kedelapan, tidak sepaham dengan pandangan Blust (1977, 1978, 1982, 1983/1984) bahwa Subrumpun AN di luar Formusa, yaitu Subrumpun Melayu Polinesia terbagi dalam satu kelompok tunggal. Dengan meminjam metode leksikal yang disebut klasifikasi homomerik leksikal di mana “seperangkat perbedaan kognat didistribusikan sama persis dengan seperangkat bahasa dikatakan menjadi homomerous”, Dyen (1990: 212) mengklaim bahwa “semua klasifikasi lainnya memisahkan bahasa Filipina dari Formosa di hampir tingkat tertinggi, sedangkan bukti yang disajikan di sini mengenai bahasa Filipina sebagai kerabat terdekat dari bahasa Formosa, yang terakhir yang dianggap membentuk subkelompok tunggal”.
Burhanuddin, B., Mahyuni, M., & Sukri, S. TOKOH LINGUISTIK HISTORIS INDONESIA DAN PEMIKIRANNYA.