Mental Pedagang yang Hanya Dipahami oleh Sesama Penjual

Hanya dalam hitungan jam, dua saudari sepupu yang jaraknya ribuan dan ratusan kilometer menghubungi lewat telepon. :airplane: :train2:

Tanpa ada rencana, satu bisa berjumpa langsung dan satu lagi bincang lewat telepon. Kakak pertama jalur ayah dan yang kedua jalur ibu.

Senang sekali rasanya. Apalagi kalau jumpa langsung itu bisa dihitung dengan jari selama seumur hidup.

unnamed

Darah Pedagang dan Mental Pedagang

Ini seperti sambungan cerita air kelapa sebelumnya.

Setelah saling cerita, tanpa diminta kakak ini langsung membagikan “barang dagangan” saya di status WhatsApp-nya.

Rasanya senang sekali. Memang sih, kakak ini doyan bikin status WhatsApp. :heart_eyes:

Lalu, sepupu kedua yang kontak lewat telepon pun menjelaskan bagaimana dunia dagang versus kantoran. Ia bercerita tentang orang tuanya atau paman dan bibi saya. Bagaimana ia menjelaskan perbedaan kerja sendiri dengan kerja orang lain, bedanya ada uang pensiun dan tanpa uang pensiun. :calling:

Aliran Genetika Tanpa Sadar

Baru sadar setelah barang jualan itu dipromosikan. Ternyata almarhum paman saya itu adalah seorang pebisnis.

Tanpa disadari, darah itu mengalir di kakak saya. Pantas saja tanpa diminta, dagangan saya dipromosikan di status WhatsAppnya.

Bahasa Kalbu dan Kode Etik Para Pedagang

Ada perbedaan mental saat kita berprofesi sebagai pedagang dan pekerja.

Jika benar-benar berdagang, mungkin kita paham betapa perlunya proses saling promosi itu. Bahasa gaul anak YouTube, kolaborasi. Kadang suka disingkat jadi koleb.

Sikap seperti ini tidak saya jumpai di mereka yang bekerja dengan pendapatan yang bisa diperkirakan.

Lebih jauh lagi, mungkin ada hukum tak tertulis dan insting yang hadir dalam alam bawah sadar sesama pedagang di dunia bisnis.