Kekohesian dan Kekoherensian dalam Wacana

Halo, bestie! Gimana nih, ibadah puasanya? :raised_hand_with_fingers_splayed:t3:
Eeeemm… Sudah ada rencana buat buka bersama belum? :thinking:
Kalau sudah, jangan sampai sekedar jadi wacana ya. Hehehe :sweat_smile:
Mendengar kata ‘wacana’, bikin keingat sama salah satu bahasan dalam sintaksis nih! Iya, betul! WACANA .

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Chaer, 2014:267). Sebagai satuan bahasa yang lengkap, suatu wacana memiliki konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang tercermin dengan adanya kekohesian dan kekoherensian. Menurut kamu, seperti apa dan bagaimana sih wacana yang kohesif itu? Kemudian, apakah dalam wacana yang kohesif sudah pasti ada kekoherensian di dalamnya? Uraikan alasan yang disertai contoh yaaa.

Referensi
Chaer, A. (2014). Linguistik Umum. Jakarta: RINEKA CIPTA

9 Likes

Mulyana (2005:26) menyatakan bahwa kohesi dalam wacana sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Selain itu, kohesi termasuk salah satu syarat dalam membentuk sebuah wacana yang utuh, sesuai dengan pendapat Tarigan (1987:96) bahwa unsur yang menentukan keutuhan wacana adalah kohesi dan koherensi.

Jadi dapat dikatakan bahwa wacana yang kohesi ialah wacana yang memiliki hubungan perkaitan antarproporsi yang dinyatakan secara eksplesit oleh unsur gramatikal dan semantik. Ramlan (1993) menyatakan kekohesian wacana dapat dilihat dari penanda-penanda berikut:

  • Penanda hubungan penunjukan yaitu penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu pada kata, frasa, atau satuan gramatikal yang lain dalam suatu wacana. Hubungan penunjukan dapat bersifat anaforis maupun kataforis (ini, itu, tersebut, berikut, dan tadi)
  • Penanda hubungan pengganti yaitu penanda hubungan antarkalimat yang berupa kata atau frasa yang menggantikan kata, frasa, atau satuan gramatikal, lain yang terletak di depannya atau secara anaforik maupun di belakangnya atau secara kataforik. (kata ganti persona, kata ganti tempat, klitika-nya, kata ini, begitu, begini, dan demikian)
  • Penanda hubungan pelesapan atau elipsis yaitu, menghilangkan salah satu unsur pada kalimat berikutnya, tetapi kehadiran unsur kalimat itu dapat diperkirakan.
  • Penanda hubungan perangkaian, yaitu hubungan yang disebabkan oleh adanya kata yang merangkaikan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam suatu paragraph (dan, kemudian, tetapi, padahal, sebaliknya, malah, misalnya, kecuali itu, oleh sebab itu, selain dari pada itu, meskipun demikian, dan lain sebagainya).
  • Penanda hubungan leksikal yaitu hubungan yang disebabkan oleh adanya kata-kata yang secara leksikal memiliki pertalian. Penanda hubungan leksikal ini dapat dibedakan menjadi pengulangan, sinonim, dan hiponim.

Dalam wacana kohesi sudah pasti wacana tersebut juga koheren. Hal tersebut karena koherensi merupakan kepaduan setiap kalimat dalam wacana, dan kohesi menjadi salah satu syarat untuk membentuk koherensi. Atau dengan kata lain suatu wacana tidak mungkin kohesi tanpa menjadi koheren. Rangkaian kalimat yang kohesi tetapi tidak koheren tidak dapat membentuk sebuah wacana. Contoh:

A: Siapa yang dibonceng oleh Farhan?

B: Farhan membonceng gadis itu.

Kedua kalimat tersebut kohesi karena adanya kata dibonceng-membonceng dan Farhan-Farhan, akan tetapi kedua kalimat tersebut tidak koheren karena pada kalimat A menanyakan siapa yang dibonceng oleh Farhan sedangkan kalimat B tidak mengandung jawaban dari kalimat A. Untuk menjadikan kedua kalimat tersebut koheren maka kalimat B harus mengandung jawaban dari kalimat A.

Referensi

Hasan, Alwi, S., Dardjowidjojo, H., Lapoliwa, A., & Moeliono. (2010). TATA BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA (3 ed.). Jakarta: Balai Pustaka.

Susanto, H. (2015, Desember). Kohesi dan Koherensi dalam Wacana. Retrieved April 2022, from https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2015/12/25/kohesi-dan-koherensi-dalam-wacana/?msclkid=1a9a9afec1f411ecbd6b737e53874be1

2 Likes

Kohesi adalah salah satu standar yang menandai bahwa sebuah teks atau wacana itu dianggap komunikatif, tanpa kohesi teks atau wacana tidak dianggap komunikatif. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Halliday dan Hasan (1976: 6) membagi kohesi kepada dua jenis, yakni kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Kohesi gramatikal merupakan segi bentuk atau struktur lahir wacana yang mencakup kohesi pengacuan atau referen (reference), kohesi penggantian atau substitusi (substitution), kohesi pelesapan (ellipsis), dan hubungan atau perangkaian (conjunction), Referen (reference) atau pengacuan adalah satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lainnya baik yang di depan maupun yang di belakang.
Aspek leksikal adalah kata atau frasa yang menghubungkan kalimat-kalimat dengan pemarka leksikal dan dapat membentuk suatu wacana yang utuh. Aspek leksikal dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi. Reiterasi atau pengulangan digunakan untuk mengulang suatu preposisi atau bagian dari preposisi untuk menciptakan hubungan kohesif. Reiterasi dirinci
menjadi;

  1. Repetisi yakni pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
  2. Sinonim secara semantik mengandung makna istilah atau ungkapan (kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. (Chaer 2002)
  3. Hiponim secara adalah kata atau frasa yang maknanya termasuk dalam makna kata atau frasa lain. (Chaer 2005:98)
  4. Metonim bagian dari pengulangan yang bermakna sebutan bagi orang, benda, tempat atau nama tertentu
    yang dianggap popular dan dekat dengan masyarakat.
  5. Antonim adalah nama lain untuk benda atau hal lain yang maknanya berlawanan, beroposisi dengan kata atau frasa lain dapat digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain di dalam suatu tuturan (Chaer,
    2002:88)
    Aspek leksikal berikutnya ialah kolokasi. Kolokasi artinya makna yang sama yang ada dalam lingkungan yang sama. Semua hal yang selalu berdekatan dengan yang lain biasanya diasosiasikan membentuk suatu kesatuan. Kolokasi dirinci menjadi:
  1. Kolokasi penuh yakni pengulangan kata atau frasa pada kalimat sebelumnya yang ada dalam lingkungan yang sama.
  2. Ekuivalensi yakni hubungan pengulangan pada kalimat
    sebelumnya dengan kalimat sesudahnya yang sebanding atau sepadan.

Contoh wacana kohesi:
“ Karena orang yang nenek sayangi tidak harus merasakan sakit seperti yang dialami Ayah dan Ibunya.”
" Orang yang dia sayangi menderita berkepanjangan karena penyakit itu. Tapi, bagaimana juga Sahabatnya itu tetap Ceria ?"
Pada contoh tersebut terlihat bahwa kata gembira dalam kalimat pertama memiliki makna yang sama dengan kata senang dalam kalimat kedua, maka dapat disebut kohesi sinonim.

Referensi:
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2005. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Halliday, M.A.K. dan R. Hassan, 1976, Cohesion in English. London: Longman
Hasan Alwi. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

1 Like

Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk secara structural membentuk ikatan sintaktikal. Anton M. Moelino ( 1988:34) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Konsep kohesif sebenarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky dalam Tarigan 1987:96).
Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk antar unsur-unsur wacana sehingga memiliki keterkaitan secara padu. Dengan adanya hubungan kohesif itu, suatu unsur dalam wacana dapat diinterprestasikan sesuai dengan keterkaitannya dengan unsur-unsur yang lain. Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai dengan penanda-penanda kohesi, baik yang sifatnya gramatikal maupun leksikal. Koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur secara semantis. Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi (semantis) ketimbang sebagai kesatuan bentuk (sintaksis) (lihat Halliday dan Hassan, 1976 : 2). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bial di dalamnya terdapat hubungan emosional antar bagian yang satu dengan bagian lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantik.

Referensi:
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Baryadi, I Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Jogjakarta: Pustaka Gondho Suli.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana (Alwi, dkk, 2010:440).

Berdasarkan pernyataan diatas, suatu wacana dapat dikatakan kohesi apabila di dalam wacan tersebut terdapat hubungan atau kaitan antar proposisi yang mempunyai kesinambungan makna sehingga membentuk suatu wacana yang utuh.
Contoh :
(1)
A : Apa yang dilakukan Pak Taehoon?
B : Dia memandangi wajah Bu Taeyang.
(2)
A : Apa yang dilakukan Pak Taehoon?
B : Malaikat itu memandangi wajah Bu Taeyang.

Proposisi No (1) yang dinyatakan oleh A berkaitan dengan proposisi yang dinyatakan oleh B dan perkaitan atau hubungan tersebut ditunjukkan oleh Pronomina Dia yang merujuk pada Pak Taehoon. Sedangkan pada Proposisi No (2) perkaitan tersebut dinyatakan dengan frasa Malaikat itu yang dalam konteks normal memiliki makna yang sama,yakni untuk Pak Taehoon. Tidak hanya itu, perkaitan antara kedua kalimat (A) dan (B), dapat dilihat pada verba dilakukan dan memandangi yang mempunyai kesinambungan pada aspek makna.

Koherensi juga merupakan hubungan perkaitan antarposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya (Alwi, dkk, 2010:440).
Contoh :
(1)
A : Angkat jemuran di depan, Kak!
B : Aku sedang kuliah, Bun!
A : Siap!

Dalam wacana tersebut, perkaitan antar posisi dapat dirasakan, tetapi pada kalimat A dan B tidak ditemukan kesan nyata, berupa unsur-unsur kalimat yang menunjukkan adanya perkaitan gramatikal atau semantik. Kalimat B dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari Aku sedang kuliah, Bun! (Jadi, aku tak bisa mengangkat jemuran diluar itu). Sementara Siap! yang diutarakan oleh A dapat ditafsir atau dimaknai sebagai bentuk pendek dari kalimat (Siap! Aku saja yang mengangkat jemuran itu).

Dengan adanya bukti perbedaan antara kohesi dan koherensi yang dicontohkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwasannya ada wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, tetapi ada pula wacana yang koheren tetapi tidak kohesif. Sedangkan wacana tidak bisa dikatakan sebagai kohesif tanpa menjadi koheren. Maka, suatu wacana harus memenuhi aspek koheren agar dapat dikatakan sebagai wacana yang kohesif dan koheren sekaligus.

Contoh :
(1)
A : Dimana Kebakaran itu terjadi?
B : Pak Yijin menyiarkan berita kebakaran di Amerika.

Wacana diatas menunjukkan adanya kohesif, tetapi tidak koheren. Hal ini dikarenakan fokus pertanyaan A adalah dimana sehingga jawaban yang tepat seharusnya adalah lokasi tersebut, bukan kepada orang yang mengabarkan. Misalnya dapat dijawab dengan “Kebakaran terjadi di Amerika” bukan “Pak Yijin menyiarkan berita kebakaran di Amerika”.

Referensi :
Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., & Moeliono, A. M. (2010). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi 3, cet ke-8. Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka.

Menurut Almanar (2000:13) Kohesi merupakan keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana, sehingga terciptalah pengertian yang apik. Kohesi merujuk pada pertautan bentuk.

Jadi dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana yang kohesif adalah wacana yang di dalamnya terdapat hubungan antar unsur gramatikal dan semantik yang memiliki kesinambungan satu sama lain sehingga membentuk suatu koheren. Maka, dalam wacana yang kohesif sudah pasti didalamnya ada kekoherensian karena terdapat keterpaduan hubungan kalimat.

Contoh :
“Pemerintah pusat mengambil kebijakan lockdown untuk mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) dan untuk mengurangi aktifitas masyarakat di luar rumah saat pandemi.”

Pada contoh kalimat wacana diatas sudah memuat kohesi dan koheren. Dikatakan kohersi karena penggunaan substitusi nominal sudah tepat, yaitu pada penggantian frasa “penyebaran virus corona (Covid-19)” dengan frasa nomina “pandemi”; dan koheren karena di dalam wacana tersebut memiliki kepaduan antar kalimat.

Referensi :
Almanar, A. E. (2000). Kohesi Dalam Media Massa Cetak Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Alwi, Hasan, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. (2003). Linguistik Umum. Jakarta: Rienika Cipta
Nurfitriani, N., Bahry, R., & Azwardi, A. (2018). Analisis kohesi dan koherensi dalam proposal mahasiswa PBSI tanggal 23 desember 2014. Jurnal Bahasa dan Sastra, 12(1), 39-48.
Swandalia, F. Z., & Susilowati, N. E. (2021). Pemarkah Kohesi dalam Wacana Berita Karangan Siswa SMP Negeri 2 Jiwan. JoLLA: Journal of Language, Literature, and Arts, 1(7), 909-921.

Menurut (Tarigan, 2009:92) kohesi yaitu bentuk aspek yang mengacu pada aspek formal dalam bahasa yakni bagaimana proposisi satu dengan yang lain berhubungan membentuk suatu teks. Sementara menurut (Richards et., al 2002:148) kohesi adalah hubungan antara leksikal dan gramatikal dengan berbagai unsur yang berbeda dalam satu teks berbentuk hubungan antar kalimat yang berbeda pula atau yang berbeda dalam satu kalimat. Dapat disimpulkan bahwa kohesi merupakan salah satu standar yang menandai sebuah teks atau wacana dianggap komunikatif apabila adanya kohesi sementara apabila tidak ada kohesi dianggap tidak komunikatif.
Menurut (Kridalaksana, 2008:204,334) wacana adalah suatu satuan gramatikal yang tertinggi dalam satuan kebahasaan karena wacana dianggap sebagai satuan gramatikal yang mengandung seluruh unsur kebahasaan yang diperlukan dalam semua bentuk komunikasi.
Dapat dikatakan wacana kohesi sudah pasti ada kekoherensiannya karena, (Moeliono, 2004:96) mengatakan syarat sebuah wacana utuh yang baik dengan memiliki kalimat yang kohesif sebagai kepaduan bentuk secara struktural membentuk sintaksis. Jadi, untuk menyusun sebuah wacana harus memiliki keterkaitan secara utuh yaitu adanya kohesif dan koherensif.

Contoh kalimat wacana kohesi:
:black_small_square:"Pak guru mengajar matematika dan Bahasa Indonesia. Pelajaran itu dikuasainya dengan baik."
Penjelasan: Kata “matematika dan Bahasa Indonesia” di kalimat pertama digantikan oleh kata “pelajaran itu”. Hal ini dapat dikatakan bahwa kedua kalimat tersebut memiliki kohesi.
:black_small_square:"Ayah dan bunda sudah berangkat. Mereka mengendarai mobil dengan hati-hati."
Penjelasan: Kata “Ayah dan bunda” di kalimat pertama digantikan oleh kata “mereka”. Hal ini dapat dikatakan bahwa kedua kalimat tersebut memiliki hubungan kohesi.

Referensi:

Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa
Moeliono Anton, dkk 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Hanafiah, Wardah. (2014). ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI
PADA WACANA BULETIN JUMAT. Jurnal Epigram Vol 11, No 2.

Keserasian hubungan antara unsur satu dengan yg lain dalam wacana yang bisa menciptakan definisi yang koheren disebut kohesi. Kohesi bisa memungkinkan terjalinnya hubungan semantik yang teratur dalam wacana (Haliday dan Hasan, 1974). Wacana yg utuh dan baik mampu mengisyaratkan kalimat yang kohesif (Anton M. Moelino, 1988:34). Tanpa adanya kohesi, kalimat-kalimat sulit untuk dipahami maknanya. Yang artinya, kohesi adalah jalinan antar bagian dalam suatu wacana. Oleh Haliday dan Hasan (1974:6), kohesi dibagi menjadi 2 jenis yakni kohesi leksikal dan gtamatikal. Sebuah wacana yang utuh terdiri dari keterkaitan abtara satu kalimat dengan tautan kalimat lain. Untuk mendapatkan keutuhan, maka dibutuhkan suatu keterkaitan makna yakni keberadaan koherensi agar dapat menautkan antara preposisi satu dengan yang lain.

Referensi:
Nurfitriani, N., Bahry, R., & Azwardi, A. (2018). Analisis kohesi dan koherensi dalam proposal mahasiswa PBSI tanggal 23 desember 2014. Jurnal Bahasa dan Sastra, 12(1), 39-48.
Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hanafiah, Wardah. (2014). ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI PADA WACANA BULETIN JUMAT. Jurnal Epigram Vol 11, No 2.

Menurut Mandia (2017: 178) konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk, artinya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Sedangkan koherensi didefiniskan sebagai sebuah pola keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh (Mulyana, 2005: 30).

Menurut Brown dan Yule (1985: 191) dalam (Aflahah, 2012: 10) suatu wacana yang kohesi dapat ditunjukkan oleh penanda formal yang menghubungkan apa yang telah dikatakan dengan apa yang segera akan dikatakan.

Contohnya:

(a) Kenik dan dan Santang tidak pulang bersama, karena dia mampir membeli buah.

Kalimat (a) tidaklah kohesi karena dia di dalam kalimat itu tidak jelas mengacu kepada siapa, apakah kepada Kenik atau kepada Santang.

(b) Kenik dan Santang tidak pulang bersama, karena Santang mampir membeli buah.

Kalimat (b) menggunakan piranti kohesi berupa pengulangan kata sehingga memberikan pemahaman yang utuh saat dibaca (koherensi).

Namun perlu dipahami bahwa wacana yang koherensi tidak selalu menggunakan piranti kohesi. Hubungan makna dengan konteks yang jelas menghasilkan sebuah wacana menjadi koherensi.

Contohnya:

Kenik: Tang tolong ambilkan sapu!

Santang: Aku sedang mandi.

Wacana tersebut tidak menggunakan piranti kohesi tetapi maknanya tidak menimbulkan kebingungan.

Maka dapat disimpulkan bahwa suatu wacana yang kohesi pasti mengandung kekoherensian pula, karena dipaparkan secara padu dan utuh sehingga memiliki kesatuan makna yang dapat dipahami.

Referensi:

Mandia, I Nyoman. (2017). Kohesi dan Koherensi sebagai Dasar Pembentukan Wacana yang Utuh. Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Bali , 8 (2), 175-189.

Mulyana. (2005). Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Aflahah. (2012). Kohesi dan Koherensi dalam Wacana. Okara, 1(7), 9-18.

Menurut Anton Moeliono (1997: 343) Kohesi yaitu keselarasan yang terkait antara hubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam wacana sehingga pengertian yang padu dan koheren akan terbentuk.
Piranti kohesi dalam wacana ditandai dengan adanya penggunaan piranti formal yang berupa bentuk linguistik yang berfungsi sebagai sarana penghubung, sehingga hubungan-hubungan padu atau utuh di dalam teks terjalin yang kadang interpretasinya di dalam wacana tergantung pada unsur yang lainnya. Tipe hubungan utuh dalam teks-teks yang secara gamblang tertanda dan sudah tidak asing ditunjukkan oleh penanda-penanda formal yang menghubungkan apa yang akan segera dikatakan dengan apa yang telah dikatakan sebelumnya.
Anton M. Moeliono ( 1988:34) menyatakan bahwa wacana yang padu dan lengkap mengakibatkan kalimat-kalimat yang kohesif. Salah satu cara untuk membentuk kohesi yaitu dengan penggunaan hubungan unsur-unsur pertentangan, kelebihan, perkecualian, konsesif, dan tujuan (Moeliono, 1997: 34) Contohnya :
a. Rina rutin meminum vitamin setiap hari
b. Rina menjaga kesehatannya di musim pandemi
Jika digabung menggunakan hubungan unsur yang menyatakan tujuan dengan memakai kata penghubung agar atau supaya, maka akan menjadi :
Rina rutin meminum vitamin setiap hari agar kesehatannya terjaga di musim pandemi

Koherensi adalah penyelarasan kalimat antarbagian dalam wacana, dan kohesi adalah salah satu cara untuk membentuk koherensi. Webster dalam Tarigan (1978:104) berpendapat bahwa koherensi adalah (1) kohesi yang meliputi perbuatan, atau keadaan menyalurkan, menunjukan, dan (2) hubungan yang meliputi keserasian yang patut dan sesuai atau ketergantungan yang satu dengan yang lain secara terstruktur, seperti dalam bagian-bagian wacana atau argumen-argumen suatu rentetan penalaran.
Secara struktural, hubungan semantis diartikan oleh keterkaitan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Contoh :
Koherensi yang memuat sebab akibat dijabarkan dengan kalimat pertama menyatakan sebab, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan akibat.
→ Mobil pemadam kebakaran beriringan di jalanan. Telah terjadi kebakaran gedung di pusat kota itu

Referensi :
Aflahah. (2012). KOHESI DAN KOHERENSI DALAM WACANA. Okara(VOL. 6 NO. 1 (2012)), 10-18. doi:https://doi.org/10.19105/ojbs.v6i1.417

Hanafiah, W. (2014). ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI PADA WACANA BULETIN JUMAT. Epigram( VOL. 11 NO. 2 (2014) ), 135-152. doi:https://doi.org/10.32722/epi.v11i2.676

Susanto, H. (2015, Desember 25). Wong Kapetakan’s Blog. Dipetik April 22, 2022, dari bagawanabiasa.wordpress.com: https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2015/12/25/kohesi-dan-koherensi-dalam-wacana/amp/

Dalam wacana kohesi berarti kepaduan bentuk secara struktural yang membentuk ikatan sintaktikal. Menurut Anton M. Moelino ( 1988:34) wacana yang baik dan utuh memiliki kalimat-kalimat yang kohesi. Konsep kohesi berarti unsur- unsur wacana yang menyusun suatu wacana mempunyai keterkaitan secara padu dan utuh.
Webster dalam Tarigan (1978:104) koherensi adalah (1) kohesi yang terdiri dari perbuatan, keadaan menghubungkan, memperlihatkan, dan (2) koneksi yang cocok dan sesuai atau ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya secara rapi, seperti dalam bagian-bagian wacana atau argumen-argumen suatu rentetan penalaran.
Kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada pertautan makna.
Contoh Kohesi
Kakak dan Adik sudah pulang. Mereka naik kereta listrik buatan Jerman.
Kata “mereka” merujuk pada kata “kakak dan adik” yang terdapat pada kalimat pertama, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kedua kalimat tersebut memiliki hubungan kohesi.
Contoh Koherensi
Ayah: Udin sudah berangkat?
Ibu: Kopinya saja belum diminum, Pak.
Ayah: Oh.
Dari percakapan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa Udin belum berangkat. Hal ini merupakan implikatur tersirat dari ujaran sang ibu. Interpretasi lain pun bermunculan: Udin hendak berangkat ke sekolah atau kantor, Udin terbiasa meminum kopi sebelum pergi, dan percakapan tersebut mungkin terjadi pada pagi hari.

Referensi : Susanto, H. (2015, Desember). Kohesi dan Koherensi dalam Wacana. Retrieved April 2022, from https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2015/12/25/kohesi-dan-koherensi-dalam-wacana/?msclkid=1a9a9afec1f411ecbd6b737e53874be1

Pada wacana, kohesi dimaknai sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal dan berkaitan dengan hubungan bentuk antara bagian-bagian dalam suatu wacana (Anjani, 2013). Antarbagian wacana memiliki bentuk hubungan yang bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan bentuk (kohesi) dan hubungan makna (koherensi).

Unsur-unsur kohesi menjadi peran penting demi terbentuknya wacana yang koheren (Gurfron, 2012). Namun, perlu dipahami bahwa unsur-unsur kohesi tersebut tidak selalu menjamin terbentuknya wacana yang utuh dan koheren. Hal ini disebabkan karena pemakaian bentuk-bentuk kohesif dalam suatu teks tidak langsung menghasiklan wacana yang koheren (Alwi, dkk, 2003). Namun, bentuk sempurnanya sebuah wacana adalah yang memiliki syarat kohesi maupun koherensi (Mujianto, 2017).

Contoh: Adik menangis saat kakak sedang belajar dalam jaringan. Hal itu mengganggu konsentrasi kakak.
Pada contoh tersebut terdapat kata “hal itu” yang menunjukkan kejadian adik menangis, ini membuktikan bahwa kedua kalimat tersebut memiliki kohesi.

Referensi:
Alwi, Hasan, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.

Anjani, E. A. (2013). Kohesi dan Koherensi Wacana Stand Up Comedy Prancis dan Indonesia. Jurnal Kawistara, 3(3). 288-299.

Gufron, S. (2012). Peranti Kohesi dalam Wacan Tulis Siswa: Perkembangan dan Kesalahannya. Jurnal Bahasa dan Seni, 40(1), 81-93.

Mujianto, G. (2017). Piranti Kohesi dalam Wacana Tulis Guru SMA/SMK Muhammadiyah Kabupaten Malang. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 3(2), 210-233.

Kohesi sering diartikan sebagai unsur kepaduan atau keutuhan. Kohesi merupakan aspek yang sangat penting didalam penyusunan suatu wacana, kohesi disusun secara terpadu agar dapat menghasilkan keterkaitan antar kalimat, kohesi bertumpu dengan hubungan gramatikal dan leksikal yang terikat sehingga menghasilkan ujaran sedangkan koherensi berupa ide atau gagasan yang dapat dipahami. (Hanafiah, 2014). Sedangkan menurut Tarigan (2009) Kohesi adalah penyusunan kalimat-kalimat yang saling berhubungan secara rapi dan terpadu baik secara gramatikal maupun secara leksikal untuk menghasilkan suatu ujaran. Sementara koherensi bagaimana ungkapan, ide, gagasan atau fakta yang bertalian atau berhubungan satu sama lainnya sehingga dapat dipahami dengan mudah. Suatu teks sangat tergantung pada keterikatan keterikatan berupa hubungan kohesif yang ada di dalam kalimat agar membentuk suatu jaringan yang terstruktur. (Aflahah, 2012) dan setiap wacana yang kohesif pasti sudah ada kekoherensian didalamnya dan wacana tidak mungkin menjadi kohesif jika tidak memiliki koherensi.

Contoh :

  • Apakah ibu sudah mentraktir makanan ?
  • Ibu ditraktir ayah makanan padang

Kedua kalimat tersebut sudah kohesi namun belum mempunyai koherensi karena jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan pertanyaan, sedangkan :

Contoh :

  • Apakah ibu sudah mentraktir makanan ?
  • Ibu sudah mentraktir makanan tadi siang

Kalimat tersebut sudah kohesif dan sudah koherensi karena kalimat bawah merupakan jawaban dari pertanyaan kalimat atas.
Referensi :

Aflahah. (2012). Kohesi dan Koherensi dalam Wacana. Okara, 9 - 19.

Hanafiah, W. (2014). Analisis Kohesi dan Koherensi Pada Wacana Buletin Jumat. Epigram, 135 - 152.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa

Kohesi adalah tuturan yang disusun secara padu dan padat pada sebuah wadah kalimat (Tarigan, 2009). Dalam wacana, hubungan kohesi dan wacana sebenarnya merupakan ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu terjadi antarposisi. Secara struktural, hubungan direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan tersebut terkadang ditandai dengan alat-alat leksikal, namun terkadang pula oleh tanda penanda (Kridalaksana, 1993).

Sudah disebutkan bahwa sebuah wacana dikatakan baik apabila wacana tersebut kohesif dan koherens. Namun, apakah sebuah wacana yang kohesif sudah pasti koherens? Pada Chaer, 2012:268-269 menyebutkan bahwa pengulangan-pengulagan yang tempak memang kohesif, belum tentu di dalamnya terdapat kekoherensian. Perhatikan contoh berikut yang kohesinya tampak benar, namun ternyata tidak koherens. Setiap kalimat pada wacana berikut tampak merupakan kalimat yang membawa isinya masing-masing.
(1) Telaga Madirda adalah salah satu telaga yang indah di Kabupaten Karanganyar. (2) Di alun-alun Karanganyar sudah dipadati penjual dan pembeli sejak awal 2021. (3) Antara Karanganyar dan Solo dihubungkan dengan adanya jembatan Bengawan Solo. (4) Setiap hari minggu pagi, di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Solo di adakan Car Free Day atau CFD.

Kalimat (1) berisi tentang salah satu telaga di Karanganyar; kalimat (2) tentang alun-alun Karanganyar yang sudah dipadati penjual pembeli; kalimat (3) tentang penghubung Karanganyar dan Solo; dan kalimat (4) tentang CFD di Solo. Terlihat bahwa ke empat kalimat tersebut memiliki isinya masing-masing, padahal wacana tersebut kohesif, yang ditandai dengan adanya hubungan kalimat (1) dan (2) dengan kata Karanganyar; kalimat (2) dan (3) dengan kata Solo; dan kalimat (3) dan (4) tentang solo juga namun berbeda isinya, tidak sejalur. Sehingga teks di atas bukan merupakan wacana yang baik, karena tidak merupakan satu keutuhan ‘isi’ satu ujaran. Memang memenuhi persyarakatan kekohesifan, namun tidak koherens.

Refrensi
Chaer, Abdul. (2012). Linguistk Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. (1993). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. (2009). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung.

Wacana yang baik adalah wacana yang harus memperhatikan hubungan antarkalimat, sehingga dapat memelihara keterkaitan dan keruntutan antarkalimat. Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana (hubungan yang tampak pada bentuk). Kohesi merupakan wadah kalimat- kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan 2009:93). Sehubungan dengan hal tersebut, Kridalaksana (dalam Hartono 2012:151) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu terjadi antarposisi. Secara struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana tulis tersusun berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan. Oleh karena itu, kepaduan makna dan kerapian bentuk pada wcana tulis merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam rangka meningkatkan keterbacaan.

Dengan demikian dapat dipastikan jikalau wacana yang kohesif sudah pasti ada kekoherensian di dalamnya.

Contoh:

Surat-surat tersebut disortir oleh dua anggota staf. Amplop yang isinya tebal diperiksa guna memastikan keamanan kiriman tersebut sebelum diletakkan di loker. “Itu rahasia,” kata salah satu staf Rumah Transisi, Syafiq al- Mahdrid, ketika ditanya apa saja isi dokumen tersebut.

(Data 9/Detik September 2014)

Kata surat-surat pada penggalan wacana tersebut yang terdapat pada kalimat pertama merujuk pada kata amplop pada kalimat kedua dan dokumen pada kalimat ketiga. Ketiganya digunakan untuk menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lainnya dan dapat dikolokasikan. Dengan cara ini, kalimat pertama berhubungan secara padu dengan kalimat kedua dan kalimat ketiga.

Referensi

Widiatmoko, W. (2015). ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI WACANA BERITA RUBRIK NASIONAL DI MAJALAH ONLINE DETIK. Jurnal Sastra Indonesia. Vol 4(1). Hal 1-12.

Hartono, Bambang. 2012. Dasar-dasar Kajian Wacana. Semarang: Pustaka Zaman.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung.

Suatu teks atau wacana dapat dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian antara bentuk bahasa dengan situasi dalam bahasa. Dengan kata lain apabila tidak adanya kesesuaian maka akan menghasilkan teks yang tidak kohesif. Sementara itu koherensi kepaduan gagasan antar bagian dalam wacana, dan melalui kohesi bisa menjadi cara untuk menciptakan koherensi dimana koherensi adalah salah satu aspek wacana untuk menunjang keutuhan makna wacana.

Dapat disimpulkan secara sederhana bahwa untuk menciptakan sebuah wacana yang baik harus ada kesesuaian bentuk bahasa dan konteks untuk membentuk sebuah wacana yang kohesi, kemudian untuk membentuk suatu koherensi diperlukan kesesuaian antar bagian dalam wacana yang hanya bisa didapat melalui wacana yang kohesi. Intinya dalam wacana yang kohesi pastinya akan menciptakan sebuah kekoherensian.

Bisa kita ambil contoh seperti yang dikatakan Harimurti Kridalaksana, bahwa hubungan koherensi wacana adalah hubungan semantis dimana hubungan itu terjadi antar proposisi. Secara struktural hubungan itu dapat dicontohkan oleh pertautan secara semantis antar kalimat satu dengan lainnya. Yang mana hubungan semantis ini salah satu contohnya adalah hubungan sebab akibat seperti:

“Dia tidak akan menemukan ibunya di rumah. Karena ibunya sedang keluar baru saja.”

Referensi:
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode, & Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Penerbit Angkasa.

Wacana menurut Tarigan (2009) adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tetinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Oleh karena itu kohesi merupakan aspek penting dalam penyusunan suatu wacana, disusun secara terpadu untuk menghasilkan keterkaitan hubungan antar kalimat. Kohesi merupakan suatu pengikat dalam wacana. Kohesi inilah yang membedakan teks atau bukan.Tanpa adanya kohesi sesuatu bukan teks hanya berupa rangkaian kalimat yang sulit dipahami atau ditafsirkan maknanya. Selanjutnya dalam sebuah wacana yang kohesif maka ada kekoherensian di dalamnya karena menurut Renkema (2004) koherensi adalah jalinan antar bagian dalam wacana; kepaduan semantis yang dapat dicapai oleh faktor-faktor di luar wacana. Hal itu didukung oleh pendapat Hanifah (2014) bahwa sebuah wacana yang baik terdiri dari rangkaian kalimat yang memiliki saling keterkaitan arti, antara satu kalimat bertaut makna dengan kalimat lainnya dari awal hingga akhir. Dengan kata lain wacana adalah suatu kesatuan bahasa yang lengkap yang mengandung suatu gagasan yang memiliki unsur kohesi dan koherensi.

Referensi:
Hanifah, W. (2014). Analisis Kohesi dan Koherensi Pada Wacana Buletin Jumat. Jurnal Epigram. 11 (4), 135-152.
Renkema, J. (2004). Introduction to Discourse Studies. Second Edition: Amsterdam/Philadelphia: John Benyamins
Tarigan, Henry Guntur. (2009). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa

1 Like

Kohesi diartikan sebagai hubungan perkaitan antarproporsi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana (Alwi, dkk, 2010:440). Menurut pengertian tersebut, dapat ditarik satu pengertian mengenai wacana yang kohesif adalah wacana yang memiliki keterpaduan atau keterkaitan antara unsur-unsur dalam kalimat yang membentuk wacana. Aflahah (2012: 11) menyebutkan bahwa unsur kohesi dalam wacana ditandai dengan bentuk linguistik yang meliputi unsur gramatikal dan leksikal sebagai sarana penghubung atau kunci dari adanya keterpaduan dalam wacana.

Unsur wacana yang kohesif disini tentu memiliki hubungan perkaitan antarproporsisi yang disebut sebagai koherensi (Alwi, dkk, 2010:440). Dengan kata lain, wacana yang kohesif itu memiliki pemahaman yang utuh. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa wacana yang kohesi sudah pasti didalamnya terdapat kekoherensian meskipun ada wacana yang memiliki kekoherensian dengan mengandalkan jalinan makna dalam konteks yang jelas.

Contoh :
“Dirgantara dan ayahnya harus berpisah sementara karena ayahnya bertugas di Medan”. Kalimat ini kohesif dan utuh atau memiliki kekoherensian karena kata “ayahnya” sudah jelas mengacu pada Ayah Dirgantara sehingga unsur-unsur dalam kalimat tersebut memilki keterpaduan satu sama lain.

Referensi :
Alwi, Hasan, dkk.(2010).Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Aflahah.(2012). Kohesi dan Koherensi dalam Wacana. Jurnal Okara. 1. 10-18 halaman.

Salah satu unsur penting dalam wacana ialah kohesi. Haliday dan Hassan (1976:145) menyatakan bahwa kohesi merupakan konsep makna yang mengacu pada hubungan makna dalam suatu wacana. Kohesi menunjukkan hubungan bentuk antar unsur-unsur wacana yang saling berkaitan secara padu. Adanya hubungan kohesif membuat suatu unsur dalam wacana dapat diinterprestasikan sesuai dengan keterkaitannya dengan unsur-unsur yang lain. Moelino ( 1988:34) mengungkapkan bahwa wacana yang baik dan utuh membutuhkan kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesif mengacu pada hubungan bentuk, yang berarti unsur-unsur wacana, baik kata atau kalimat yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh.

Apakah wacana yang kohesif sudah tentu ada kekoherensian di dalamnya? Ya, sebuah wacana yang kohesif pasti memiliki kekoherensian. Koherensi merupakan kepaduan gagasan dalam wacana dan kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Kedua unsur ini penting untuk mempertahankan keutuhan dan kekompakan sebuah wacana.

Berikut contoh wacana yang kohesif:

  • Ina dan Ani sudah berangkat sekolah satu jam yang lalu. Mereka mengendarai sepeda motor warna merah.

Kalimat kedua dalam wacana tersebut menggunakan kata “mereka” yang merujuk pada kata “Ina dan Ani” yang terdapat pada kalimat pertama, maka dapat dikatakan kedua kalimat ini kohesif dan koheren karena runtut dan serasi.

  • Bu Ari mengajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Pelajaran itu dikuasainya dengan baik.

Kalimat kedua dalam wacana tersebut menggunakan kata “pelajaran itu” untuk menggantikan “Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa” dalam kalimat pertama.*

Referensi:

Halliday , M.A.K., & Ruqaiya Hasan . (1976). Cohesion in English. London: Longman.

Moeliono , A. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wacana yang kohesif adalah wacana yang terjadi keterkaitan hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai penggunaan unsur bahasa sehingga hubungan bentuk atau unsur-unsur lain di dalam wacana yang digunakan dan menyusun suatu keterkaitan secara padu dan utuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Halliday dan Hasan (1976) wacana yang kohesif adalah wacana yang memiliki cara menginvestigasi sehingga timbul keterkaitan dan berpaut antar kalimat dalam sebuah teks. Untuk membuat wacana yang baik maka kohesi saja tidak cukup, perlu ditambah koherensi sehingga tumbul keterpaduan yang serasi antara kalimat satu dengan kalimat lainnya. (Schiffrin, 1987) ia mengemukakan bahwa Koherensi dianggap sebagai keterpautan antara ujaran dan struktur wacana, makna, dan Tindakan. Wacana yang kohesif belum bisa dikatakan koheren. Hal ini bisa saja terjadi pada wacana yang sudah dirasa baik dan sistematis dalam aspek gramatikalnya namun kurang memperhatikan makna di dalam wacana tersebut. Sehingga wacana tersebut tidak bisa dikatakan koheren.
Contoh wacana kohesif tapi tidak koheren:
Aku suka bepergian, minggu lalu saudaraku bepergian ke London, saudaraku itu sangat pintar.
Contoh wacana kohesif dan koheren:
Aku suka bepergian. Bepergian dapat membuat hatiku senang. Kegiatan ini juga dapat menghindarkan pikiranku dari stres.

Referensi:
Halliday, M.A.K. dan Hasan, Ruqaiya. (1976). Cohesion in English. London: Longman
Schiffrin dan Deborah. (1987). Discourse Markers. London: Cambridge University Press.