Kekohesian dan Kekoherensian dalam Wacana

Wacana ialah satuan bahasa yang dapat di katakan paling lengkap, didalam hierarki gramatikal merupakan sebuah satuan gramatikal paling tertinggi atau terbesar dimuat dari pendapat Kridalaksana (2001:231).
Dari pernyataan tersebut jelas adanya bahwa tampak jelas adanya bahwa yang menjadi sebuah titik berat wacana menurut Kridalaksana wacana merupakan kata yang tertulis, bukanlah wacana lisan.
Wacana dapat disebut dengan kata lain sebuah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi jika dilihat dari beberapa aspek seperti klausa dan kalimat, yang memiliki kohesi dan koherensi yang sangat baik, mempunyai awal kata atau kalimat dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan ataupun tertulis dan dapat secara jelas untuk dipahami pndapat Tarigan (2009:26)
Dari simpulan tersebut, Menurut Kridalaksana dalam Tarigan (1987:25) mengungkapkan pendapat yang hampir sama. Ia berpendapat bahwa, wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal. Namun, dengan kata lain sebuah kata yang dimaksud kalimat wacana yang dapat di simpulkan berupa sebuah karangan yang utuh (novel, cerpen, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frasa, bahkan kata yang membawa amanat lengkap. Menurut pendapat
James (dalam Tarigan 1987:97) yang menyebutkan bahwa suatu teks dan juga wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesamaan secara bentuk bahasa (language form) terhadap ko-teks (situasi-dalam bahasa, sebagai lawanan dari konteks-konteks atau situasi-luar bahasa).Oleh karena itu dengan melihat ungkapan diatas dapat disimpulkan bahwa ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan juga dengan konteks nantinya akan menghasilkan sebuah teks yang tidak kohesif. Kohesi yang terletak pada sebuah paragraf ialah gaya Tariq menarik antarkalimat didalam sebuah paragraf yang nanti nya dapat menjadi sebuah kalimat-kalimat itu tidak saling bertentangan, tetapi tampak menyatu dan bersama-sama mendukung pokok pikiran paragraf. Menurut (Wiyanto 2004 :32)Paragraf yang demikian disebut sebagai paragraf yang padu (kohesif).

Berikut contohnya:

Sebulan lamanya Rani dan Mia sedang berlibur kerumah neneknya. Rani dan Mia banyak mendapatkan informasi - informasi baru tentang tanaman padi untuk menyempurnakan tugas laporan akhir kuliahnya. Informasi yang didapat Rani dan Mia ialah tanaman padi dapat ditanam diladang yang kadar airnya sedikit. Contohnya adalah kawasan daerah penduduk yang mayoritas banyak menanam padi diladang dengan kadar air yang sangat sedikit. Padi tersebut bernama tanaman padi Gogo. Tidak hanya itu, mereka pun memanfaatkan nya dengan cara mengambil gambar terkait perkembangan tanaman padi untuk laporan tambahan dalam tugasnya.

Referensi :
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Penerbit Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengkajian Wacana. Bandung: Angkasa.

Wacana menurut Tarigan (2009:26) merupakan satuan bahasa terlengkap dan terbesar atau tertinggi di atas kalimat dan klausa dengan kohesi dan koherensi yang baik, berkesinambungan, dan mempunyai awal dan akhir yang nyata dan jelas serta dapat disampaikan secara lisan dan tertulis. Merujuk pada pendapat Chaer (2012:267), kekohesian yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam suatu wacana. Apabila suatu wacana sudah kohesif maka terciptalah kekoherensian, yaitu isi wacana tersusun secara apik dan benar. Adapun, menurut Hanafiah (2014:138), kohesi adalah penyusunan kalimat-kalimat yang saling berhubungan secara rapi dan terpadu baik secara gramatikal maupun secara leksikal untuk menghasilkan suatu ujaran. Sementara itu, koherensi berkaitan dengan bagaimana ungkapan, ide, gagasan atau fakta berhubungan antara satu dengan yang lainnya secara runtut dan logis sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca/mitra tutur. Secara umum, kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada pertautan makna dalam wacana. Dari pernyataan tersebut, dapat diamati bahwa kohesi dan koherensi memegang peranan penting dalam membentuk suatu wacana yang utuh.

Kemudian, apakah dalam wacana yang kohesif sudah pasti ada kekoherensian di dalamnya? Ya. Suatu wacana yang penyusunan kalimatnya saling berhubungan secara serasi, rapi, dan terpadu tentu akan memberikan kemudahan kepada pembaca/mitra tutur untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, kohesi dan koherensi sangat menentukan tingkat keterbacaan dan keterpahaman sebuah wacana yang ditulis atau diujarkan.

Contoh:

Ardi dan Radit pergi ke toko mainan. Mereka ingin membeli mobil-mobilan baru.

Wacana ini sudah kohesif karena kedua kalimatnya padu, serasi, dan saling berhubungan, dimana kata ganti mereka dalam wacana tersebut jelas mengacu pada subjek Ardi dan Radit. Maka, dapat disimpulkan juga bahwa wacana itu mengandung unsur koherensi karena sudah tersusun secara apik dan benar sesuai kaidah.

Namun, ada beberapa kondisi dimana suatu wacana yang kohesif belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Dalam suatu wacana, kadang kita mendapati adanya hubungan antara satu unsur dengan unsur lain yang sudah baik namun jika dilihat dari sifat kekoherensiannya wacana tersebut tidak koheren.

Contoh:

(1) Tahun lalu, Universitas Sebelas Maret mengirim mahasiswanya untuk mengikuti kegiatan KKN ke seluruh Indonesia. (2) Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil. (3) Setiap pulau dihuni oleh suatu suku bangsa dengan budaya dan adat istiadatnya masing-masing.

Jika dilihat sekilas, kalimat dalam wacana ini saling berhubungan dari kalimat satu ke kalimat selanjutnya. Namun, secara keseluruhan, wacana di atas bukan merupakan wacana yang baik, karena tidak memuat satu keutuhan “isi” dalam satu ujaran. Meskipun wacana tersebut sudah termasuk kohesif tetapi belum bisa dikatakan koheren.

Referensi:

Tarigan, H. G. (2009). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa

Chaer, A. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Hanafiah, W. (2014). Analisis Kohesi dan Koherensi pada Wacana Buletin Jumat. EPIGRAM: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Humaniora, 11(2), 135-152.

Moeliono (dalam Aflahah, 2012) mengungkapkan bahwa kohesi merupakan keserasian unsur satu dengan lainnya dalam sebuah wacana sehingga menghasilkan pengertian yang koheren dan apik. Lebih lanjut, Halliday dan Hasan (dalam Aflahah, 2012) berpendapat bahwa hubungan-hubungan kohesif yang ada pada kalimat-kalimat yang dapat membentuk suatu jaringan menjadi penentu utama untuk menentukan apakah seperangkat kalimat itu adalah teks. Sedangkan, koherensi adalah keberterimaan sebuah teks atau tuturan karena keterpaduan semantisnya (Kushartanti dalam Nurfitriani, dkk, 2018). Oleh karena itu, kohesi lebih merujuk kepada keterpautan sebuah bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada keterpautan maknanya.

Perhatikan contoh berikut!
(a) Abi dan Aina harus berpisah karena ia harus pergi ke luar negeri
Kontruksi kalimat (a) tersebut tidaklah utuh karena tidak menunjukkan kekohesifan. Hal ini dikarenakan kata ‘ia’ tidak mengacu secara jelas kepada siapa (Abi atau Aina).

Perhatikan contoh selanjutnya!
(b) Abi dan Aina harus berpisah karena Abi harus pergi ke luar negeri.
(c) Abi dan Aina harus berpisah karena Aina harus pergi ke luar negeri.
Contoh (2) dan (3) memberikan pemahaman yang utuh atau koheren karena menjelaskan siapa yang harus pergi ke luar negeri. Hal ini menunjukkan kedua kalimat tersebut telah menggunakan piranti kohesi berupa pengulangan kata sehingga menghasilkan koherensi

Perhatikan contoh berikutnya!
(d) 1. Ibu: “Nak, ada telepon dari temanmu.”
2. Anak: “Saya masih mandi.”
Apa yang dikatakan anak kepada sang Ibu tersebut memang hanyalah sebuah alasan mengapa ia tidak dapat mengangkat telepon yang berasal dari temannya. Namun, apabila diperhatikan, tidak ada piranti kohesi antara kalimat yang diucapkan oleh Ibu dan Anak, tetapi jalinan makna yang diungkap tidak diragukan sama sekali.
Dari contoh dan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat yang kohesif sudah tentu koheren, tetapi kalimat yang koheren belum tentu kohesif.

Referensi:

Aflahah. (2012). Kohesi dan Koherensi dalam Wacana. Jurnal Okara, 1(7), 9-18.

Nurfitriani, Bahry, R., & Azwardi. (2018). Analisis Kohesi dan Koherensi dalam Proposal Mahasiswa PBSI Tanggal 23 Desember 2014. Jurnal Bahasa dan Sastra, 12(1), 39-49.

Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain didalam wacana, sehingga tercipta pengertian yang koheren (Moeliono, 1997). Konsep ini mengacu pada hubungan bentuk antar beberapa unsur wacana sehingga terdapat keterkaitan secara padu. Dengan adanya hubungan itu, unsur dalam wacana dapat diinterprestasikan sesuai keterkaitannya dengan unsur-unsur yang lain. Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai dengan piranti kohesi, yang merupakan penggunaan piranti formal berupa bentuk linguistik yang berfungsi sebagai sarana penghubung. Menurut Rani (2004), unsur kohesi terdiri atas dua macam, yaitu :

  1. Unsur gramatikal, yang dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk bahasa yang digunakan, sehingga dapat dibedakan menjadi referensi, substitusi, dan elips.
  2. Unsur leksikal, yang dapat diciptakan menggunakan bentuk-bentuk leksikal, seperti reiterasi dan kolokasi.

Merujuk penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa wacana yang kohesif adalah wacana yang didalamnya terdapat hubungan antar unsur gramatikal dan leksikal yang memiliki kesinambungan satu sama lain sehingga membentuk suatu koheren. Maka, dalam wacana yang kohesif sudah pasti didalamnya terdapat kekoherensian karena adanya keterpaduan hubungan kalimat.

Perhatikan contoh berikut ini.
(1) Alika dan Ayahnya harus berpisah karena ia akan pergi ke Jakarta.
Kalimat (1) tidaklah kohesif karena kata ia tidak jelas mengacu kepada siapa, Alika atau Ayahnya.
Maka dari itu, pengertian yang dibangun oleh konstruksi kalimat (1) tidaklah utuh, namun akan berbeda halnya jika kalimat (1) diubah menjadi kalimat (2) atau (3) berikut ini.
(2) Alika dan Ayahnya harus berpisah karena Alika akan pergi ke Jakarta.
(3) Alika dan Ayahnya harus berpisah karena Ayahnya akan pergi ke Jakarta.
Dengan begitu, kalimat (2) dan (3) diatas memberikan pemahaman secara utuh atau koheren kepada pembaca. Hal ini disebabkan oleh piranti kohesi yang dipakai dalam struktur kalimat (2) dan (3) yaitu berupa pengulangan kata.

Referensi :
Moeliono, A. M., dkk. (1997). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka
Rani, dkk. (2004). Analisis Wacana. Malang:
Bayumedia Publishing.

Kohesi dan koherensi merupakan kesatuan yang saling berkaitan untuk menciptakan sebuah wacana yang ideal. Wacana yang ideal adalah wacana yang utuh dan mudah dipahami oleh pembaca sehingga penting untuk memperhatikan kohesi dan koherensinya.

Menurut Tarigan (2009:93), kohesi merupakan organisasi sintaksis di mana kalimat-kalimat akan disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Gutwinsky (dalam Tarigan, 2009:93) lalu menambahkan bahwa kohesi akan menciptakan hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana dalam skala gramatikal atau skala leksikal. Wacana yang kohesif ditunjukkan dengan adanya kesesuaian bahasa terhadap konteks yang dibahas.

Keserasian hubungan antarkalimat akan menimbulkan pengertian yang baik (koheren). Keraf (dalam Mulyana, 2005:31) mengartikan koherensi sebagai keserasaian hubungan antarkalimat dan ada hubungan timbal balik antara unsur-unsurnya, yaitu logis dan runtut. Jadi, dalam wacana harus memperhatikan kohesi dan sudah pasti ada koherensinya.

Referensi:
Mulyana. (2005). Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tarigan, Henry Guntur. (2009). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung.
Widiatmoko, Wisnu. (2015). Analisis Kohesi dan Koherensi Wacana Berita Rubrik Nasional di Majalah Online Detik. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Wacana merupakan sebuah untaian beberapa kalimat yang saling terkait sehingga membentuk keserasian makna antarkalimat. Hal itu sejalan dengan pendapat Tarigan (1987) yang mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang paling komplit, memiliki kedudukan lebih tinggi dari frasa, klausa, dan kalimat, memiliki kohesi serta koherensi yang baik, memiliki awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, serta dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Dalam wacana, kohesi dan koherensi ada untuk saling melengkapi. Akan tetapi, suatu wacana yang memiliki kohesi belum tentu memiliki koherensi di dalamnya, dan sebaliknya. Kohesi ialah kesinambungan antara unsur satu (gramatikal) dengan unsur yang lain (semantik) pada paragraf yang ada di dalam wacana. Apabila kalimat tersebut sudah memiliki keterpaduan maka akan membentuk koherensi. Koherensi ialah hubungan yang serasi antar beberapa kalimat yang memiliki hubungan timbal balik dan mendukung suatu gagasan tertentu. Suatu kalimat dapat dikatakan kohesi dan koheren apabila:

  1. Memiliki satu gagasan utama.
  2. Memiliki beberapa gagasan penjelas;
  3. Bahasan gagasan penjelas tidak melenceng dari gagasan utama.
  4. Memiliki penjelasan yang logis dan masuk akal.
  5. Menggunakan alat kohesi gramatikal dan leksikal yang tepat.
  6. Terdapat pengulangan kata kunci di dalamnya.
  7. Memiliki kata ganti yang sesuai.
  8. Konjungsi yang menghubungkan antarkalimat jelas dan logis.
    Berdasarkan syarat-syarat di atas, apabila salah satu tidak dipenuhi maka wacana akan menjadi sumbang. Salah satu dari kohesi atau koherensi akan tidak terpenuhi. Padahal, wacana yang baik adalah wacana yang memiliki keterpaduan antara kohesi dan koherensi.

Contoh kalimat yang tidak kohesi:
Ibu berpergian keluar kota.
Kalimat tersebut tidak kohesi karena tidak memenuhi aspek gramatikal. Agar kalimat tersebut kohesi, kata “berpergian” seharusnya diganti dengan “bepergian”, sementara “keluar kota” seharusnya diganti menjadi “ke luar kota”. Jika dirangkai menjadi kalimat yang kohesi menjadi: Ibu bepergian ke luar kota.

Contoh kalimat yang tidak koheren:
(K1)Penghasil timah terbesar di Indonesia yaitu ada di Pulau Bangka. (K2) Pulau Bangka banyak menyimpan timah sejak zaman kolonial Belanda. (K3)Banyak negara-negara luar ingin menguasai Indonesia karena kekayaan
alamnya. (K4)Penduduk di Pulau Bangka mayoritas mata pencahariannya dengan bertambang timah, yang dikenal dengan TI (Tambang Inkonvensional). (K5)Karena pekerjaan ini menjanjikan kekayaan, sehingga masyarakat beralih pekerjaan (Astar, 2019)
Keterangan: Paragraf tersebut tidak koheren karena pada kalimat nomor 3 tidak mendukung kalimat sebelumnya(K1 & K2) dan tidak ada hubungannya dengan kalimat berikutnya(K4 & K5). Ketidakkoherenan paragraf teks umumnya disebabkan oleh terdapatnya satu atau lebih kalimat penjelas yang tidak berkaitan dengan kalimat utama. Selain itu, informasi yang tidak jelas disampaikan oleh penulis sehingga menyebabkan kalimat tidak efektif iuga menyebabkan ketidakkoherenan paragraf.

Contoh kalimat yang kohesi tetapi tidak koheren:
Ibu berangkat ke luar kota. Sebelum berangkat, ibu berpamitan kepada ayah. Bali merupakan kota yang indah.
Keterangan: paragraf tersebut tidak koheren karena kalimat 3 tidak ada hubungannya dengan kalimat 1 & 2.

Contoh kalimat yang koheren tetapi tidak kohesi:
Kakak melayangkan surat cerai kepada suaminya ketika suaminya sedang tidak berada dirumah. Setelah suaminya sampai dirumah, dia ter kaget lalu menelpon kakak.
Keterangan: kalimat tersebut tidak kohesi karena ada beberapa kata yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan. Misalnya, “dirumah”, “ter kaget”, dan “menelpon”. Seharusnya kata-kata tersebut diganti menjadi “di rumah”, “terkaget”, dan “menelepon”.

Sumber:

Astar, H. (2019). Paragraf Koheren dan Tidak Koheren dalam Teks Tulis Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bangka dan Bangka Tengah. Kelasa, 14 (2), 157-170.

Tarigan, H. (2008). Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.

Rohana, Syamsuddin (2015:7) menyatakan bahwa wacana suatu bentuk wujud pemakaian bahasa yang melampaui tataran kalimat. Oleh karena itu kaitannya dengan hal ini, kalimat- kalimat merupakan komponen pembentuk wacana. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Kridalaksana (1982:179) yang menyatakan bahwa wacana adalah satuan lingual terlengkap dan merupakan perwujudan pemakaian bahasa yang utuh. Maka dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan bentuk pemakaian bahasa tertinggi dimana kedudukannya melampaui frasa, klausa, yang tersusun atas kalimat-kalimat bermakna.

Dalam sebuah wacana tentunya harus ada yang namanya kohesi dan koherensi. Kohesi sendiri merupakan keterkaitan semantis antara proposisi yang satu dan proposisi yang lainnya dalam wacana itu. Jadi kohesi dalam wacana merupakan adanya keserasian antar unsur dalam wacana. Jika kohesi ini sudah terpenuh maka akan terciptanya koherensi dalam situ wacana tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Suladi, Martis Non, Indiyastini Titik. (2000:13) yang menyatakan bahwa koherensi merupakan pertalian antara unsur satu dengan lainnya yang tercipta setelah adanya kohesi dalam wacana tersebut. Atau bisa dikatakan bahwa koherensi adalah hubungan yang logis antar bagian kalimat dalam situ wacana. Jadi bisa dikatakan bahwa wacana yang kohesi sudah pasti koherensi.

Contoh:

  1. Pak Budhi mengajar bahasa indonesia. Pelajaran tersebut merupakan pelajaran favoritnya waktu kuliah. (kohesi)

Pada contoh tersebut, dalam kalimat kedua terdapat kata - kata “pelajaran tersebut” yang maksudnya adalah pelajaran “bahasa indonesia”, menunjukkan kedua kalimat tersebut memiliki kohesi (kesatuan).

  1. Belajarlah dengan giat. Agar bisa menggali cita-cita.

Pada contoh tersebut, kalimat pertama dan kedua terlihat berbeda, namun kalimat kedua merupakan pendukung gagasan pada kalimat pertama yang mana satu sama lain saling memadukan dan bermakna logis.

Referensi:

Aflahah. (2012). Kohesi dan Koherensi Dalam Wacana. Okara: Jurnal Bahasa dan Sastra. 1 (7).
https://doi.org/10.19105/ojbs.v6i1.417

Rohana, Syamsuddin. (2015). Analisis Wacana. Retrieved April 2022 from http://eprints.unm.ac.id/19564/1/BUKU%20ANALISIS%20WACANA.pdf

Suladi, Martis Non, Indiyastini Titik. (2000). Kohesi Dalama Media Massa Cetak Bahasa Indonesia Studi Kasus Tentang Berita Utama dan Tajuk. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Koherensi juga merupakan hubungan perkaitan antraproposisi, namun perkaitan tersebut tidak secara nyata sehingga dapat dilihat kalimat-kalimat yang melengkapinya (Alwi, H. et al, 2010: 440-441). Jadi, terdapat wacana yang sekaligus kohesi dan koheren, dan ada pula wacana yang koheren namun tidak kohesif. Kesimpulannya, wacana tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren. Kalimat yang kohesif namun tidak koheren tidak bisa menjadi sebuah wacana. Berikut contohnya.

A: Siapa yang dilempari oleh Nana?

B: Nana melempari anak itu.

Referensi:

Alwi, H. Dardjowidjojo, S. Lapoliwa, H. Moeliono, A. (2010). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Balai Pustaka.

Bambang Hartono (2000:10) mengungkapkan bahwa dalam bidang linguistik, wacana berarti rangkaian sinambung kalimat yang lebih luas daripada kalimat, sedangkan dari sudut pandang psikolinguistik. Wacana juga diartikan sebagai proses yang dinamis. Dari penjelasan di atas, wacana merupakan unsur bahasa yang bersifat dinamis dan tentunya ada hubungannya dengan kohesi.
Kohesi diartikan bentuk struktural yang mengatur adanya wacana. Konsep kohesif sendiri mengacu pada bentuk dari wacana yang tidak lain tentu cukup ada keterkaitannya. Artinya, wacana sendiri diatur oleh kohesi dalam terbentuknya. Wacana kohesif merupakan wacana yang mempunyai hubungan keterkaitan dan juga dinamis.

Referensi:
Hartono, Bambang. 2012. Dasar-dasar Kajian Wacana. Semarang: Pustaka Zaman.