Deiksis, Tindak Ujar, Praanggapan & Implikatur

IMG-20211203-WA0003

Eeeeem… Sobat mijil pernah ber-‘wacana’ tidak sih?

Tapi bukan itu yang akan kita persolakan di sini. Masih ada kaitannya dengan ‘wacana’ pula, namun bukan soal ber-‘wacana’ sobat mijil, melainkan analisis wacana. Dalam perspektif analisis wacana, tentu segala bentuk bahasa, baik lisan maupun tulis, kita tempatkan sebagai suatu wacana. Analisis wacana mengenal berbagai metode guna mendedah suatu bahasa, salah satunya yang cukup familiar ialah metode pragmalinguistik. Makna eksternal atau sesuai konteks dalam suatu bahasa menjadi telaah dari metode tersebut.

Sementara itu, cakupan pragmatik itu sendiri setidaknya meliputi empat hal, antara lain deiksis, tindak ujar, praangapan, dan implikatur.

Lalu, apa dan bagaimana sih, berkenaan dengan empat hal tersebut: deiksis, tindak ujar, praangapan, dan implikatur?

Sumber referensi:
https://www.krjogja.com/berita-lokal/diy/bantul/ppkn-uad-gelar-diskusi-kuatkan-literasi-budaya-dan-kewargaan/

4 Likes

• Deiksis adalah ilmu yang mempelajari mengenai rujukan hal-hal di luar wacana yang belum jelas statusnya atau tidak tetap referennya. Deiksis bertujuan untuk mengetahui referen terhadap suatu kata dalam satu kalimat dilihat dari hubungannya dengan kalimat lain. Deiksis dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

  1. Deiksis persona: Unsur lingual yang menyatakan persona. Misalnya, jika dalam suatu kalimat terdapat unsur persona seperti aku, dia, -nya, dst. Maka untuk melihat maknanya harus dlihat dari kalimat sebelumnya.
  2. Deiksis benda: Rujukan pada benda-benda di luar konteks wacana yang masih terkait dengan wacana.
  3. Deiksis waktu: Menyatakan rentang waktu berlangsungnya peristiwa komunikasi.
  4. Deiksis tempat: Merujuk pada tempat (ruang) terjadinya peristiwa komunikasi.

• Tindak ujar adalah tindak komunikasi yang dihubungkan sesuai dengan yang penutur maksudkan, yang penutur mengerti dan yang diinginkan penutur dari pembicaraan tersebut (Searle, 1970:21). Sebagai contoh, suatu pernyataan mengekspresikan suatu kepercayaan, suatu permintaan mengekspresikan suatu keinginan.

• Praanggapan dapat diartikan sebagai kesepahamanan (Asisda, 2017:69). Jika dirunut dari penamaannya, pra dan anggapan, dapat dijabarkan bahwa kata pra mengandung arti sebelum, dan anggapan adalah sangkaan. Satu kalimat dapat merangkum beberapa informasi yang mendukung konteks wacana. Jika setiap satu informasi dibuat dalam satu kalimat, maka fungsi praanggapan tidak akan bekerja. Suatu wacana akan kurang tersusun konteksnya dengan baik jika fungsi praanggapan tidak dipergunakan.

• Implikatur membedah makna suatu bahasa yang berbeda dari arti harfiahnya sesuai dengan konteks yang berlaku. Implikatur memiliki fungsi untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.

REFERENSI:
Ambeua, S. (2020). Tindak Ujar Ilokusi dalam Novel The Three Musketeers Karya Alexandre Dumas. Jurnal Elektronik Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi 15. https://ejournal.unsrat.ac.id/.

Wijayanti, N. (2017). Analisis Dieksis, Praanggapan, dan Implikatur dalam Novel “Tan” Karya Hendri Teja: Suatu Kajian Wacana. Paper Universitas Negeri Jakarta. Diakses dari academia.edu.

Deiksis merupakan salah satu dari sub bagian analisis wacana yang mempelajari berbagai rujukan di luar wacana. Rujukan bersifat belum jelas atau referennya tidak tetap yang bertujuan untuk mengetahui hubungan referen suatu kata dalam satu kalimat dengan kalimat yang lain. Jenis-jenisnya yaitu deiksis persona (menyatakan persona), deiksis benda (merujuk pada benda), deiksis waktu (menyatakan rentang waktu), dan deiksis tempat (merujuk pada ruang atau tempat). Misalnya, imbuhan -nya pada kata menolongnya dalam kalimat Sebelum pingsan, Radit sempat terguling. Elang pun datang lalu menolongnya merujuk pada Radit di kalimat sebelumnya.

Tindak ujar merupakan salah satu bagian yang mengkaji ujaran secara konkret melalui tindakan yang dilakukan oleh penutur maupun lawan tutur. Searle (1976:21) menggolongkannya ke dalam lima kelompok yaitu representatif (memberi tahu sesuatu), komisif (menyatakan penutur hendak melakukan sesuatu), direktif (membuat penutur berbuat sesuatu), ekspresif (mengungkapkan sikap dan perasaan), dan deklaratif (menggambarkan perubahan hubungan). Misalnya, dalam kalimat Diandra memotong rumput. Kata kerja memotong menunjukkan Diandra melakukan sesuatu.

Asisda (2017:69) mengartikan praanggapan sebagai kesepahamanan. Praanggapan memiliki tujuan untuk menambah nilai komunikatif dari sebuah ujaran sehingga harus berfungsi efektif dan sering bersifat positif. Misalnya, dalam kalimat “Kamu bukan anak keluarga ini, Sean!” ujar Lea. Kutipan tersebut menimbulkan praanggapan bahwa tokoh Sean bukan anak kandung orang tua Lea.

Implikatur diperkenalkan untuk menyelesaikan persoalan makna tuturan bahasa yang berbeda jauh dengan maksud harafiahnya berdasarkan substansinya. Misalnya, dalam kalimat “Kamu sudah mengingatnya bukan? Itu pasti perkara mudah buatmu,” kata Alea. “Tidak, kamu salah. Sebenarnya aku masih kesulitan menghadapinya,” balas Alya pelan. Pada kalimat tersebut Alya dianggap mampu, padahal tidak demikian.

Referensi :

Wijayanti, Naning Nur. 2017. Analisis Aspek Deiksis, Praanggapan, dan Implikatur dalam Novel Tan Karya Hendri Teja: Kajian Wacana. Jurnal Academia

Yuniarti, Netti. 2014. Implikatur Percakapan dalam Percakapan Humor. Jurnal Pendidikan Bahasa. 3(2), 225-240

Salah satu metode dalam analisis wacana adalah pragmalinguistik. Pragmalinguistik sendiri adalah metode gabungan dari pragmatik dan linguistik. Lalu, dalam pragmatik terdapat empat cakupan, di antaranya:

Deiksis
Menurut Kridalaksana (2008: 45), “Deiksis merupakan hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dsb.” Sedangkan menurut Wijayanti (2017), deiksis adalah suatu ilmu yang mempelajari mengenai hal-hal di luar wacana yang belum memiliki referen yang tetap. Kemudian, Wijayanti (2017) juga membagi deiksis menjadi empat jenis; yakni deiksis persona, deiksis benda, deiksis waktu, dan deiksis tempat.

Tindak Ujar
Tindak ujar merupakan fungsi bahasa yang dapat dimaksudkan sebagai alat penindak, maksud dari fungsi di sini yakni dalam tuturan penutur tidak hanya tuturan biasa tetapi juga memiliki maksud untuk membuat lawan tutur menindakkan sesuatu (Mulyana, 2005). Dalam tindak ujar ini terdapat beberapa konsep yang dikemukakan oleh Searle (1969, dalam Mulyana, 2005), konsep tersebut di antaranya:

  1. Tindak lokusi, makna dasar suatu kalimat yang tuturannya digunakan sebagai sarana untuk mengatakan sesuatu. Kalimat dalam tindak lokusi ini dipandang sebagai proposisi.
  2. Tindak ilokusi, merupakan salah satu tindak ujar yang berisi untuk menyatakan suatu hal. Misalnya dalam kalimat pernyataan, pertanyaan, ejekan, dan sebagainya.
  3. Tindak perlokusi, merupakan hasil yang muncul akibat ujaran seseorang terhadap pendengar yang mengandung maksud tertentu.

Praanggapan
Praanggapan merupakan suatu kesepahaman (Asisda, dalam Wijayanti, 2017). Pranggapan ini sangat berpengaruh pada sebuah analisis wacana karena konteks dalam wacana akan kurang tersusun dengan baik jika fungsi pranggapan tidak dipergunakan. Fungsi pranggapan yang dimaksud di sini adalah fungsi efisiensi. Sehingga, pranggapan harus pasti atau definit.

Implikatur
Implikatur merupakan salah satu konsep dalam bahasa yang berfungsi memecahkan permasalahan makna dalam bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa (Grice, dalam Wijayanti, 2017). Makna tuturan di sini memiliki maksud yang berbeda dengan arti sesungguhnya sesuai dengan konteks yang berlaku. Kemudian, implikatur ini memiliki dua macam, yakni:

  1. Implikatur percakapan
    Menurut Kridalaksana (2008), implikatur percakapan merupakan makna yang dapat dipahami tetapi kurang terungkap dengan jelas dalam kalimat yang diucapkan. Sebagai contohnya, saat menolak ajakan makan dengan menggunakan kalimat “Maaf, saya tadi baru saja dari pesta ulang tahun sepupu saya.” Kalimat tersebut memberikan makna bahwa lawan tutur sudah kenyang
  2. Implikatur konvensional
    Menurut Kridalaksana (2008), implikatur konvensional merupakan makna yang diharapkan dalam bentuk-bentuk bahasa tetapi tidak dapat terungkap. Sebagai contohnya, saat menolak diajak pergi ke suatu tempat menggunakan bus dengan kalimat “Saya tidak bisa jika perginya menggunakan bus.” Kalimat tersebut memberikan makna bahwa lawan tutur selalu mabuk kendaraan saat pergi menggunakan bus.

Referensi:
Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mulyana. (2005). Kajian Wacana: Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Wijayanti, N.N. (2017). Analisis Deiksis, Praanggapan, dan Implikatur dalam Novel Tan Karya Hendri Teja: Suatu Kajian Wacana. Diakses dari Academia.edu.

Yuniarti (2016) mengatakan bahwa pragmatik memiliki banyak kajian, seperti deiksis, praanggapan, implikatur, dan tindak ujar. Deiksis yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu berdasarkan pemakainya. Lalu pengertian dari praanggapan adalah pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penutur sebagai dasar pembicaraan. Sementara tindak ujar yaitu suatu ujaran yang dibuat dengan memiliki maksud dan menjadi bagian interaksi sosial. Pengertian yang terakhir mengenai implikatur yaitu suatu implikasi pragmatis yang ada dalam percakapan akibat pelanggaran prinsip percakapan.

Empat hal mengenai deiksis, tindak ujar, praanggapan, dan implikatur tentunya menjadi isi dari adanya pragmatik. Keempat hal tersebut pun saling berkaitan. Oleh sebab itu kajian pragmatik dari keempat hal tersebut dapat dijadikan suatu hal dalam menyesuaikan antara hubungan dengan konteks dan situasi pemakainya.

Referensi:
Yuniarti, N. (2016). Implikatur percakapan dalam percakapan humor. Jurnal Pendidikan Bahasa , 3(2), 225-240.

Deiksis merupakan ilmu yang mempelajari mengenai rujukan hal-hal di luar wacana yang belum jelas statusnya atau tidak tetap referennya. Tujuan deiksis yaitu untuk mengetahui referen terhadap suatu kata dalam satu kalimat dilihat dari hubungannya dengan kalimat lain.
Tindak ujar merupakan suatu tindak komunikasi (Leech 1983: 19-21). Komunikasi mengungkapkan suatu sikap tertentu, dan bentuk sikap tersebut akan ditampilkan sesuai dengan bentuk tindak ujar.
Praanggapan dapat didefinisikan sebagai kesepahamanan (Asisda, 2017:69). Tujuannya adalah untuk memberikan nilai komunikatif dalam suatu ujaran yang diungkapkan.
Implikatur merupakan pembedahan makna suatu bahasa yang berbeda dari arti harafiahnya sesuai dengan konteks. (Grice, 1975). Fungsi implikatur sebagai pemecah persoalan bahasa.

Referensi:
Pua, G. A. (2015). Tindak Ujar Komisif Dalam Novel Herzog Karya Saul Bellow (Suatu Analisis Pragmatik). Jurnal Elektronik Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi, 4(4).
Wijayanti, N. N. Analisis Deiksis, Praanggapan, Dan Implikatur Dalam Novel Tan Karya Hendri Teja: Suatu Kajian Wacana. Diakses dari academia.edu.

Pragmatik mengkaji suatu bahasa tanpa mengesampingkan konteks tuturannya. Konteks ini memiliki peran penting dalam membangun pemahaman terhadap makna tuturan menjadi konteks sebagai hal utama yang dikaji dalam keilmuan pragmatik. Pragmatik terbagi menjadi:
• Deiksis
Menurut (Purwo, 1984: 182) deiksis adalah suatu bentuk yang maknanya tidak terikat kepada konteks. Deiksis berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan referensi atau penunjukan yang ada di dalam teks, baik yang sudah disebut maupun akan disebut dan penunjukan kepada sesuatu yang di luar kalimat atau teks. Terdapat lima macam deiksis, yaitu deiksi orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial.
• Tindak Ujar
Menurut Leech (1993: 19) ada beberapa konsep pragmatik yang berhubungan dengan situasi ujar salah satunya ialah tindak ujar. Tindak ujar berkaitan dengan tindak-tindak performansi verbal yang terjadi pada situasi tertentu.
• Praanggapan
Praanggapan merupakan suatu dugaan yang menjadi prasyarat untuk menanggapi dan menentukan benar tidaknya suatu pernyataan yang telah kita dengar. Dalam hal ini praanggapan berbentuk gambaran yang tertentu, kata verbal yang mengandung kenyataan, kata verbal yang implikatur, kata verbal yang mengganti keadaan, pengulang, kata waktu, kalimat yang memiliki topik fokus, dan bandingan. Serta memiliki aposisi renggang, konditional yang berlawanan, dan pranggaapan pertanyaan.
• Implikatur
Implikatur dibagi menjadi dua, yaitu:

  • Implikatur Percakapan
    Merupakan suatu hubungan yang berkaitan dengan kegiatan menganalisis ucapan pembicara yang bertujuan untuk menentukan makna tersirat dari ucapan yang dikeluarkan oleh pembicara. Wiryotinoyo (2010: 10) menyatakan implikasi percakapan adalah implikasi pragmatis yang terkandung dalam suatu bentuk lingual.
  • Implikatur Konvesional
    Implikatur konvesional merupakan implikatur yang kata kerjanya bermakna sesuatu yang harus dikerjakan dan diikuti konteks yang berbeda. Pada beberapa implikatur konvesional juga memiliki makna ganda.

Referensi:
Usman, U., & Hasriani, H. (2021, November). Ragam Slang dalam Bahasa Iklan Selebriti Instagram Makassar (Suatu Tinjauan Pragmatik). In Seminar Nasional LP2M UNM.

Susanti, A. (2017). IMPLIKATUR PERCAKAPAN MEMINTA PADA ANAK USIA REMAJA DALAM BAHASA MINANGKABAU DI NAGARI BARUNG-BARUNG BALANTAI KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN. IMPLIKATUR PERCAKAPAN MEMINTA PADA ANAK USIA REMAJA DALAM BAHASA MINANGKABAU DI NAGARI BARUNG-BARUNG BALANTAI KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN.

Agung, E. I. A., & Nyoman, S. I. (2021). KAJIAN DEIKSIS PERSONA PEKA KONTEKS SEBAGAI PENGUATAN LITERASI BAHASA BALI. Prosiding Pedalitra, 1(1), 31-39.

Dalam pembelajaran pragmatik, terdapat empat aspek yang dipelajari, yaitu: (1) deiksis, (2) tindak ujar/tindak tutur (speech acts), (3) praanggapan (presupposition), (4) implikatur percakapan (conversational implicature). Dari keempat hal tersebut kita akan mencari tahu pengertian dari masing-masing aspek. Yang pertama deiksis, Menurut Sudaryat (2011: 120) deiksis (deixis) adalah bentuk bahasa yang berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar bahasa. Setelah itu yang kedua ada tindak ujar, menurut Kridalaksana dalam Putrayasa (2014: 85) tindak ujar yaitu (speech art, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari penutur dapat diketahui oleh lawan tutur. Kemudian yang ketiga ada praanggapan, Menurut Cruse dalam Putrayasa (2014: 77), praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu, ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan. Yang keempat dan yang terakhir ada implikatur, Echols dalam Putrayasa (2014: 64) mengemukakan implikatur secara terminologi, berasal dari bahasa Yunani, implication dan secara nomina kata ini hampir sama dengan kata implication dalam bahasa Inggris, yang artinya maksud, pengertian, dan keterlibatan.

Referensi :
Bahar, N. (2019). Analisis penggunaan deiksis dalam tuturan siswa smp negeri 1 labakkang kabupaten pangkep. Skripsi. Makassar : Universitas Muhammadiyah Makassar

  1. DIEKSIS
    Dieksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti Penunjukan melalui bahasa. Bentuk linguistic yang dipakai untuk menyelesaikan penunjukan disebut ungkapan deiksis. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari situasinya. Deiksis juga didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang di sebut deiksis.
    Lavinson (1983) memberi contoh berikut untuk menggambarkan pentingnya informasi deiksis. Misalnya anda menemukan sebuah botol di pantai berisi surat di dalamnya dengan pesan sebagai berikut :
    (1) Meet me here a week from now with a stick about this big.
    Pesan ini tidak memiliki latar belakang kontekstual sehingga sangat tidak informatif. Karena unkapan deiksis hanya memiliki makna ketika ditafsirkan oleh pembaca. Pada dasarnya ungkapan deiksis ini masuk dalam ranah pragmatik. Namun karena penemuan makna ini sangat penting untuk mengetahui maksud dan kondisi yang sebenarnya maka pada saat yang sama masuk dalam ranah semantik. Dengan kata lain dalam kasus ungkapan deiksis, proses pragmatik dalam mencari acuan masuk dalam semantik. Umumnya kita dapat mengatakan ungkapan deiksis merupakan bagian yang mengacu pada ungkapan yang berkaitan dengan konteks situasi, wacana sebelumnya, penunjukan, dan sebagainya.
    Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
    Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
    Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
    Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.
  2. Jenis-jenis deiksis
    Dalam pragmatik, deiksis dibagi menjadi lima jenis meliputi: deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial.
    a. Deiksis Persona (deiksis orang)
    Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu. Deiksis orang memakai istilah kata ganti diri; dinamakan demikian karena fungsinya yang menggantikan diri orang. Bahasa Indonesia hanya mengenal pembagian kata ganti persona menjadi tiga. Diantara ketiga kata ganti persona itu hanya kata ganti persona pertama dan kedua yang menyatakan orang. Kata ganti persona ketiga dapat menyatakan orang maupun benda (termasuk binatang). Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran.
    Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi dan kemudian menjadi pendengar maka ia disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan disebut persona ketiga. Contoh pemakaian kata saya dan aku, masing-masing memiliki perbedaan pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal. Kata saya dapat dipergunakan dalam situasi formal maupun informal. Jadi kata saya merupakan kata tak bermarkah sedangkan kata aku bermarkah keintiman.
    b. Deiksis Tempat
    Deiksis tempat menyatakan pemberian bentuk kepada tempat, dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa berbahasa, yang meliputi (a) yang dekat dengan pembicara (di sini); (b) yang jauh dari pembicara tetapi dekat dengan pendengar (di situ); (c) yang jauh dari pembicara dan pendengar (di sana).
    Di bawah ini masing-masing contohnya:
    (a) Duduklah bersamaku di sini!
    (b) Letakkan piringmu di situ!
    (c) Aku akan menemuinya di sana.
    c. Deiksis Waktu
    Deiksis waktu berkaitan dengan pengungkapan jarak waktu dipandang dari waktu suatu tuturan diproduksi oleh pembicara: sekarang, kemarin, lusa, dsb.
    Contoh:
    (a) Nanti sore aku akan datang kerumahmu.
    (b) Bulan Juni nanti jumlah pengunjung mungkin lebih meningkat.
    Kata nanti apabila dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan kata nanti, dapat mempunyai jangkauan ke depan yang lebih jauh.
    d. Deiksis Wacana
    Deiksis wacana yang berkaitan dengan bagian-bagian tentang dalam wacana yang telah diberikan dan atau yang sedang dikembangkan: (a) anafora: yang pertama, berikut ini, dsb; (b) katafora: tersebut,demikian, dsb.
    Contoh anafora:
    Film November 1828 bisa dibuat terutama berkat kerjasama dua orang, Nyohansiang dan Teguh Karya. Yang pertama memiliki model dan ingin membuat film lain dari yang lain, sedangkan yang satunya sutradara yang selalu tampil dengan film-film terkenal.
    Contoh Katafora:
    Pak Suparman (56 tahun) seorang petani gurem yang bermukim di kalurahan Karangmojo, kecamatan Cepu, berkisah demikian: ”Dengan berbagai cara saya berusaha agar dapat meningkatkan produksi gurem dengan kualitas yang baik”.
    e. Deiksis Sosial
    Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan yang terdapat antarpartisipan yang terdapat dalam peristiwa berbahasa. Deiksis ini menyebabkan adanya kesopanan berbahasa.
  3. Tindak ujar adalah tindak komunikasi yang dihubungkan sesuai dengan yang penutur maksudkan, yang penutur mengerti dan yang diinginkan penutur dari pembicaraan tersebut (Searle, 1970:21).
    Konsep mengenai tindak ujaran mulai dipikirkan oleh gurubesar Universitas Oxford yang bernama John, L. Austin dalam ceramahnya di Universitas Harvard pada tahun 1955. Ceramah tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul How to Do Things with Words pada tahun 1962 setelah dia meninggal. Karya dia kemudian dilanjutkan oleh salah satu mahasiswa Amerikanya, J. R. Searle, yang kemudian menerbitkan buku Speech Acts (1969) (Mey 1998: 1051; Mey 2002: 92).
    Searle membagi tindak ujaran ke dalam lima kategori (Searle 1969: 34; Mey 2002: 120): (a) representative, (b) direktif, (c) komisif, (d) ekspresif, (e) deklarasi.
  4.  Representatif
    

Representatif adalah tindak ujaran yang berupa pernyataan dan memiliki nilai kebenaran. Representatif berupa kejadian yang benar-benar terjadi. Kebenaran tersebut berada dari segi pembicara.
Contoh : “Presiden Suharto adalah Presiden Republik Indonesia yang paling lama meminpin”.
2. Direktif
Direktif adalah tindak ujaran yang fokus pada pendengar. Tindak ujaran ini memiliki tujuan agar pendengar melakukan sesuatu. Direktif memiliki bagian-bagian ujaran.

  1.  Pertanyaan.
    

Pertanyaan adalah perbuatan bertanya dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang ditanyakan.
Contoh :
“Apa kita harus berpisah di sini?”
Contoh tersebut memiliki efek agar pendengar melakukan sesuatu yaitu tidak berpisah di tempat tersebut.
2. Permintaan halus
Permintaan adalah perbuatan meminta. Permintaan halus ini cenderung tidak memaksa.
Contoh :
“Kalau ke UNIMED, kakak mampir ke kos ade yang di Jl. Gurilla.”
Secara tidak langsung, permintaan tersebut menginginkan pendengar untuk mengunjunginya tetapi tidak memaksa.
3. Sedikit menyuruh
Contoh : “Kamu telepon sekarang saja.”
Dapat diketahui bahwa contoh tersebut menyuruh untuk telepon kepada pendengar.
4. Langsung dan kasar
Tindak ujaran yang dimaksud adalah kasar dan memaksa.
Contoh : “Pergi!.”
3. Komisif
Komisif adalah tindak ujaran yang berupa perintah untuk pembicara sendiri. Biasanya tindak ujaran ini berupa sumpah, janji, dan tekad. Contoh :
“Saya bersumpah akan menjadikanmu satu-satunya gadis yang kucinta selama sisa hidupku.”
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa pembicara memerintah dirinya sendiri. Komisif bertolak belakang dengan direktif. Jika direktif fokus pada pendengar, maka komisif fokus pada pembicara.
4. Ekspresif
Ekspresif adalah tindak ujaran yang menyatakan keadaan psikologis tentang sesuatu. Maksudnya adalah pembicara mengutarakan perasaannya tentang sesuatu hal. Ungkapan tersebut dapat berupa terimakasih, selamat, bela sungkawa, dll.
Contoh :
“Terimakasih atas kehadirannya.”
Contoh tersebut merupakan ungkapan psikologis kepada pendengar karena telah datang dalam acaranya. Ekspresif juga dapat berupa umpatan. Umpatan adalah perkataan yang keji dan diucapkan karena marah.
Contoh :
“huh, memang tak ada lagi hati nuranimu,kau tinggalkan aku sendiri.
Contoh tersebut merupakan ungkapan psikologis kepada pendengar karena telah meninggalkannya sendirian.
5. Deklarasi
Deklarasi adalah tindak ujaran yang memunculkan keadaan baru. Dalam tindak ujaran deklarasi, terdapat sesuatu hal yang penting. Hal terpenting tersebut adalah wewenang.
Contoh :
“Dengan ini kami memberhentikan saudara secara tidak hormat.”
Dari contoh tersebut, pasti yang menyatakan deklarasi adalah orang yang memiliki wewenang, yaitu wewenang dari atasan terhadap bawahannya.

  1. PRAANGGAPAN
    Presuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau yang dibicarakan.
    Sebenarnya, praanggapan (presupposition) ini berasal dari perdebatan dalam ilmu falsafah, khususnya tentang hakekat rujukan (apa-apa, benda/keadaan, dan sebagainya) yang dirujuk atau dihunjuk oleh kata, frase, atau kalimat dan ungkapan-ungkapan rujukan (Nababan melalui Lubis, 2011:61).
    Praanggapan (presupposition) adalah cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang tersirat atau tambahan makna dari makna yang tersurat.
    Praanggapan terdiri dari 2 bentuk, yaitu :
  2. Praanggapan Semantik
    Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui leksikon atau kosakatanya.
    Contoh: Bu Evi tidak jadi berangkat kuliah. Anak bungsunya demam.
    Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan sebagai berikut :
    a. Bu Evi seharusnya berangkat kuliah.
    b. Bu Evi mempunyai beberapa anak.
  3. Praanggapan Pragmatik
    Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang ditarik berdasarkan konteks suatu kalimat atau pernyataan itu diucapkan. Konteks disini dapat berupa situasi, pembicara, lokasi, dan lain-lain.
    Contoh praanggapan pragmatik : “Harganya murah benar”, sebagai jawaban pertanyaan,” Berapa harganya?”
    Praanggapan tak dapat kita berikan kalau konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin kata “murah” itu berarti “mahal sekali”. Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembicara sebagai dasar pembicaraan.
    Untuk melihat perbedaan antara praanggapan semantik dengan praanggapan pragmatik, dapat dilihat dalam contoh berikut ini.
    Suatu hari pak Zau bertamu ke rumah pak Munir. Keduanya bercakap-cakap sambil merokok dan minum kopi. Ketika sudah habis sebatang rokok, pak Zau memegang kotak tempat rokok pak Munir dan sambil mengamati kotak kayu yang sudah kosong itu berkata.
    Pak Zau :“ Alangkah bagus kotak rokok ini, dimana pak Munir beli?“
    Sambil mencabut dompet yang kempes dari kantongnya, pak Munir berkata.
    Pak Munir :“ Kotak itu kubeli bersama dompet ini tempo hari.“
    Pak Zau :“Oooh“.
    Praanggapan semantik kalimat pak Zau itu adalah: Pak Munir telah membeli sebuah kotak rokok yang bagus.
    Namun secara pragmatik praanggapan itu tidaklah demikian. Praanggapan yang telah ditentukan oleh konteks itu adalah sebagai berikut. Sebenarnya, pak Zau ingin merokok lagi, tetapi rokok sudah habis terlihat kotak rokok sudah kosong. Sebenarnya pak Zau ingin minta rokok.
    Jadi praanggapannya adalah:
    a. Pak Zau meminta sesuatu.
    b. Pak Zau mengatakan sesuatu.
    Pak Munir yang paham akan kalimat pak Zau, tidak menjawab di mana kotak rokok itu dibelinya, tetapi menunjukkan isi dompetnya yang lagi kempes, yang berarti lagi tidak punya uang.
    Jadi praanggapannya adalah: Pak Munir mengatakan tentang uang. Dari uraian contoh tersebut jelas bahwa sangat berbeda antara praanggapan semantik dengan praanggapan pragmatik.
    Suatu kalimat A berpraanggapan semantik, jika :
    a. Dalam semua keadaan dimana A benar, maka B juga benar.
    b. Dalam semua keadaan dimana A tidak benar, maka B (tetap) benar.
    Perbedaannya dengan praanggapan pragmatik adalah pada praanggapan semantik hubungan antarkalimat, sedangkan pada praanggapan pragmatik adalah hubungan antarpernyataan ( Lubis, 2011:63).
    Teori praanggapan pragmatik biasanya menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran dan pengetahuan bersama. Bila praanggapan dapat ditarik dari pernyataan itu melalui leksikonnya, maka praanggapan itu adalah praanggapan semantik. Bila hanya dapat ditarik melalui konteksnya, maka praanggapan itu adalah praanggapan pragmatik.
  4. IMPLIKATUR
    Dijelaskan lebih lanjut bahwa Grice (dalam Suseno,1993:30 via Mulyana) mengemukakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
    Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum dan secara nomina kata ini hampir sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan (Echols,1984:313 via Mulyana). Secara structural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang diimplikasikan”.
    Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal “yang diimplikasikan”.
  5. Jenis-jenis Implikatur
    Grice (1975) dalam Abdul Rani (2006: 171) menyatakan, bahwa ada dua macam implikatur
    I. Implikatur konvensional
    Implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditentukan oleh “arti konvensional kata-kata yang dipakai”. Maksudnya adalah pengertian yang bersifat umum, semua orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian sesuatu hal tertentu.
    Contoh:
    (1). Lestari putri Solo, jadi ia luwes.
    Implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan luwes pada contoh di atas bahwa selama ini, kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putrid-putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya.
    Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum.
    II. Implikatur percakapan
    Implikatur jenis ini dihasilkan karena tuntutan dari suatu konteks pembicaraan tertentu. Implikatur percakapan ini memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan: sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Jadi, bila implikatur konvensional memiliki makna yang tahan lama, maka implikatur percakapan ini hanya memiliki makna yang temporer yaitu makna itu berarti hanya ketika terjadi suatu percakapan tersebut/terjadi pembicaraan dalam konteks tersebut.
    Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru ‘disembunyikan’, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannya.
    Contoh:
    (2) Ibu : Ani, adikmu belum makan.
    Ani : Ya, Bu. Lauknya apa?
    Pada contoh di atas, percakapan antara Ibu dengan Ani mengandung implikatur yang bermakna ‘perintah menyuapi’. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan Ibu hanyalah pemberitahuan bahwa ‘adik belum makan’. Namun, karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan Ibunya, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.
    Grice menjelaskan bahwa implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait. Grice mengemukakan pula bahwa prinsip kerjasama yang dimaksud sebagai berikut: Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan Anda terlihat di dalamnya. Dengan prinsip umum tersebut, dalam perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Prinsip kerjasama ini, ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of conversation) yang meliputi: (1) prinsip kuantitas, memberi informasi sesuai dengan yang diminta (2) prinsip kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya (3) prinsip hubungan, memberi sumbangan informasi yang relevan dan (4) prinsip cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan. Tiga yang pertama berkenaan dengan ‘apa yang dikatakan’, dan yang keempat berkenaan dengan ‘bagaimana mengatakannya’.
    Namun, prinsip kerjasama ini disanggah oleh Leech (1985:17) via Abdul Rani (2006) yang mengatakan bahwa, dalam pragmatik, komunikasi bahasa merupakan gabungan antara tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dengan demikian, dalam komunikasi bahwa itu, di samping menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas penutur adalah menjaga agar percakapan berlangsung lancar, tidak macet, tidak sia-sia, dan hubungan sosial antara penutur pendengar tidak terganggu. Untuk itu, menurut Leech, prinsip kerjasama Grice harus berkomplemen (tidak hanya sekedar ditambah) dengan prinsip sopan santun agar prinsip kerjasama terselamatkan dari kesulitan menjelaskan antara makna dan daya.
    Contoh:
    (3) Ibu (I) : “Ada yang memecahkan pot ini”
    Anak (A) : “Bukan saya!”
    Dari contoh di atas, si Anak (A) memberikan jawaban yang seakan-akan tidak gayut (pelanggaran prinsip hubungan): A bereaksi seolah-olah dia harus menyelamatkan dirinya dari suatu perbuatan jahat padahal dalam kalimat si Ibu (I) tidak ada kata-kata menuduh A melakukan perbuatan tersebut. Dalam situasi seperti itu, jawaban berupa penyangkalan A sebetulnya dapat diramalkan dan ketidakgayutan (pelanggaran prinsip hubungan) dapat dijelaskan sebagai berikut.
    Kita andaikan I tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan tersebut, tetapi ia mencurigai A. Karena I ingin bersifat sopan, I tidak mengucapkan tuduhan langsung. Sebagai pengganti, ia membuat pernyataan yang kurang informatif, tetapi benar, yaitu mengganti pronominal kamu dengan ‘ada yang’. A menangkap maksud I dan pernyataan I ditafsirkan oleh A sebagai suatu tuduhan tidak langsung. Akibatnya, ketika A mendengar pernyataan itu, A memberi respons sebagai orang yang dituduh, yaitu A menyangkal suatu perbuatan yang belum dituduhkan secara terbuka. Jadi, pelanggaran maksum hubungan dalam jawaban A disebabkan oleh implikatur di dalam ujaran I, sebuah implikatur tidak langsung yang dimotivasi oleh sopan santun. Jadi, sasaran jawaban A adalah implikatur ini, bukan ujaran I yang sesungguhnya diucapkan.
    Menurut Levinson (1983) via Abdul Rani (2006:173), ada empat macam faedah konsep implikatur, yaitu:
  6. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik.
  7. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa
  8. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
  9. Dapat memerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).
    Dari keterangan itu, jelas bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita lihat tidak berkaitan, tetapi bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa itu dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pembicara, seperti:
    (4).Suami : “Si Cuplis menangis minta mimik ibunya!”
    Istri : “Saya sedang menggoreng.”
    Kedua kalimat di atas secara konvensional struktural tidak berkaitan. Tetapi, bagi pendengar yang sudah terbiasa dengan situasi yang demikian akan paham apa arti kalimat kedua itu. Si istri tidak menjawab ujaran suami bahwa Si Cuplis (anaknya) menangis karena diduga oleh si suami haus dan minta minum susu ibunya, tetapi hanya menyatakan bahwa dirinya sedang menggoreng. Dan, jelas kalimat tersebut hanya dapat dijelaskan oleh kaidah-kaidah pragmatik saja.
    Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara lain untuk:
  10. Memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural.
  11. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur.
  12. Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.
  13. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama.
  14. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan (Levision dalam PWJ Nababan, 1987:28).
    Istilah implikatur berantonim dengan kata eksplikatur. Menurut Grice (Brown & Yule, 1986:31 dalam Abdul Rani (2006), istilah implikatur diartikan sebagai “what a speaker can imply, or mean, as distinct from what a speaker literally says”. Senada dengan itu, Pratt menyatakan (1981; 1977 via Abdul Rani) “what is said is implicated together from the meaning of the utterance in that context.” Dari pengertian dia atas. diketahui bahwa implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung.
    Contoh:
    (5) (Konteks: Udara sangat dingin. Seorang suami yang mengatakan pada istrinya yang sedang berada di sampingnya).
    Suami : “Dingin sekali!”
    Transkip ujaran suami yang tidak disertai dengan konteks yang jelas dapat ditafsirkan bermacam-macam, antara lain:
    (5a) permintaan kepada istrinya untuk mengembalikan baju hangat, jaket, atau selimut, atau minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya
    (5b) permintaan kepada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar sehingga udara di dalam ruangan menjadi hangat.
    (5c) pemberitahuan kepada istrinya secara tidak langsung bahwa kesehatannya sedang terganggu.
    (5d) permintaan kepada istrinya agar ia dihangati dengan tubuhnya.
    Makna dari keempatnya tersebut merupakan makna implikatur. Makna umum secara tersurat (literal), yang biasa disebut eksplikatur, contoh di atas adalah “informasi bahwa keadaan (saat itu) sangat dingin”. Dari sini, terlihat jelas perbedaan makna implikatur dan ekplikatur.
    Dari penjelasan di atas, ternyata implikatur dapat dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan bentuk eksplikaturnya. Berikut ini paparannya lebih lanjut:
  15. Implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran (between the line), merupakan implikatur yang sederhana.
  16. Implikatur yang berupa makna yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the line), yang merupakan lanjutan dari implikatur yang pertama.
  17. Implikatur yang berkebalikan dengan eksplikaturnya. Meskipun berkebalikan, hal itu pada umumnya tidak menimbukan pertentangan logika.
  18. Ciri-ciri Implikatur
    Gunarwan (dalam Rustono, 1999:89 via guru-umarbakri.blogspot.com) menegaskan adanya tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu:
    (1) implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan,
    (2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan,
    (3) sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu bergantung pada konteksnya.
    Referensi :

Nababan. 1989. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak
Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang.
Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Dardjowidjojo, W. 2014. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Putra Obor Indonesia.

• Deiksis adalah ilmu yang mempelajari mengenai rujukan hal-hal di luar wacana yang belum jelas statusnya atau tidak tetap referennya.
• Tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956) kemudian dikembangkan oleh Searlie (1969) dengan menerbitkan sebuah buku Speech Acts: An Essay in the
Philosopy of Language. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekedar lambang, kata
atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata
atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Peristiwa komunikasi terjadi jika ada pihak penutur dan mitra tuturnya, serta ada kerjasama partisipan antara kedua belah pihak
• Praanggapan dapat diartikan sebagai kesepahamanan (Asisda, 2017:69). Jadi, satu
kalimat dapat merangkum beberapa informasi yang mendukung konteks wacana. Jika setiap
satu informasi dibuat dalam satu kalimat, maka tidak aka efektif dan fungsi praanggapan
tidak akan bekerja. Suatu wacana akan kurang tersusun konteksnya dengan baik jika fungsi
praanggapan tidak dipergunakan.
• Implikatur
Pada tahun 1975, Grice memperkenalkan konsep implikatur dalam dunia bahasa. Difungsikan untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh
teori semantik biasa. Makna tuturan yang jauh dari maksud harafiahnya adalah objek dari
implikatur. Intinya, implikatur membedah makna suatu bahasa yang berbeda dari arti
harafiahnya sesuai dengan konteks yang berlaku.

Referensi:
Wijayanti, N. N. ANALISIS DEIKSIS, PRAANGGAPAN, DAN IMPLIKATUR DALAM NOVEL TAN KARYA HENDRI TEJA: SUATU KAJIAN WACANA.

Fitriani, R. N., Kartini, A., & Julianto, C. D. (2019). ANALISIS TINDAK TUTUR PADA NASKAH DRAMA BERJUDUL” KARTINI BERDARAH” KARYA AMANATIA JUNDA. Caraka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta Bahasa Daerah, 8(3), 226-235.

Berikut penjelasan terkait deiksis, tindak ujar, praanggapan, dan implikatur.

Deiksis, menurut Wijayanti (2017) deiksis merupakan salah satu bagian terkait bahasan wacana, yang masih bisa dipertanyakan statusnya/bisa berubah referensinya, dengan tujuan mengetahui keterikatan referensi suatu kata dalam satu kalimat dengan kalimat lain.
Selanjutnya menurut Wijayanti (2017) terdapat empat jenis deiksis, antara lain: pertama deiksis persona (menunjukkan diri penutur), misalnya: “Kemarin saya tidak masuk sekolah dikarenakan sakit”. Kedua dieksis tempat (menunjukkan lokasi dalam peristiwa bahasa), misalnya: “Jarak antara rumah sakit dan perpustakaan kota masih jauh”. Ketiga deiksis waktu (ungkapan terkait waktu dalam peristiwa bahasa), misalnya: “Pada bulan ini Ichsan tidak pulang ke rumah”. Keempat deiksis benda (ungkapan terkait benda dalam peristiwa bahasa), misalnya: “Nafa dibelikan Ibu baju, warnanya putih”.

Tindak ujar, menurut Sumarsono (2009: 323) tindak ujar adalah bagian sepenggalan tuturan yang dihasilkan akibat interaksi sosial.
Selanjutnya menurut Searle (1969, 23-24) terdapat tiga konsep dalam tindak ujar, yaitu: pertama tindak lokusi (tindak tutur dalam bentuk kalimat yang memiliki makna dan mudah dipahami, kedua tindak illokusi (tidak hanya memiliki makna tetapi juga mengacu untuk melakukan sesuatu, ketiga tindak perlokusi (memiliki makna dengan tujuan memengaruhi lawan penuturnya).

Praanggapan, menurut Ida Bagus (2014: 16) pranggapan adalah sesuatu yang diasumsikan/dihasilkan sebelum kejadian menghasilkan tuturan oleh penutur.

Implikatur, menurut Brown dan Yule (1996) implikatur adalah suatu makna yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur.
Selanjutnya terdapat dua jenis implikatur, yaitu: implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional berhubungan dengan penggunaan dan pemaknaan secara umum, sedangkan implikatur percakapan merujuk pada prinsip-prinsip dalam pertuturan secara tepat.

Referensi
Brown, Gillian dan George Yule. (1966). Analisis Wacana. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Putrayasa, Ida Bagus. (2014). Pragmatik. Cetakan pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sumarsono. (2009). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijayanti, N. (2017). Analisis Dieksis, Praanggapan, dan Implikatur dalam Novel “Tan” Karya Hendri Teja: Suatu Kajian Wacana. Makalah Universitas Negeri Jakarta. Diakses dari academia.edu.

Menurut Wijana (1996:6) deiksis merupakan kata-kata yang mmempunyai referensi yang berubah-ubah atau berpindah. Sedangkan menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217) deiksis yaitu suatu cara yang mengacu pada hakikat tertentu dan menggunakan Bahasa yang hanya bisa ditafsirkan menurut makna yang dijelaskan. Menurut Levinson (1983) berpendapat bahwa deiksis itu dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

  1. Deikis persona yaitu merunjuk langsung kepada partisipan pada peristiwa Bahasa saat pembicaraan berlangsung.

  2. Deiksis tempat merujuk kepada tempat dan digunakan untuk mengacu sebuah tempat terjadinya peristiwa.

  3. Deiksis waktu merujuk pada waktu saat pembicaraan berlangsung. Deikis ini waktu ini merajuk kala lampau, kala kini maupun mendatang

  4. Deiksis wacana ialah deretan kalimat yang saling terikat dan saling berhubungan sehingga membentuk suatu makna yang serasi.

  5. Deiksis sosial adalah perbedaan sosial yang mengacu pada peserta.

Menurut leech (1993:19) konsep pragmatik sangat berhubungan dengan situasi ujar yaitu ialah tindak ujar. Dan tindak ujar merupakan bentuk sikap yang akan ditampilkan.

Menurut Yule (1996) praanggapan ialah sering gunukan oleh penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Selanjutnya Rahardi (2005) berpendapat sebuah tuturan dapat katakana praanggapan jika ketidabenaran tuturan yang dapat mengakibatkan ketidakbenaran atau kebenaran.

Implikatur ialah proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu dapat diartikan sebagai penutur berbeda denga napa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Grice dalam Gazdar, 1979) . Menurut Purwo (1990) implikatur timbul karena adanya pelanggaran prinsip percakapan. Prisip percakapan ialah prinsip yang mengatur percakapan antar peserta agar bisa berbicara secara kooperatif dan santun.

Referensi

Suparno, D. (2015). “Deiksis” dalam Kumpulan Cerpen Al-Kabuus Tinjauan Sosiopragmatik. Buletin Al-Turas , 21 (2), 343-364.

Purwaningrum, P. W., & Nurmalia, L. (2019). Praanggapan pada dialog mengenai kejujuran: kajian Pragmatik dalam novel Asal Kau Bahagia karya Bernard Batubara. BAHASTRA , 39 (1), 1-7.

Fawziyyah, S., & Santoso, B. W. J. (2017). Implikatur Percakapan pada Iklan Kosmetik di Televisi: Kajian Pragmatik. Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia , 6 (3), 323-330.

  • Deiksis
    Deiksis adalah salah satu bahasan dari analisis wacana. Deiksis merupakan sebuah ilmu yang mempelajari mengenai rujukan hal-hal di luar wacana yang belum diketahui statusnya atau tidak tetap referennya. Deiksis memiliki tujuan yaitu, untuk mengetahui referen terhadap suatu kata dalam satu kalimat yang dilihat dari hubungannya dengan kalimat lain. Deiksis sendiri dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
  1. Deiksis persona : unsur lingual yang menyatakan persona. Jika dalam suatu kalimat terdapat unsur persona seperti aku, dia, -nya, dst. Sehingga untuk melihat maknanya harus dilihat dari kalimat sebelumnya yang terdapat referen konkretnya.
  2. Deiksis benda : rujukan pada benda-benda di luar konteks wacana yang masih terkait dengan wacana.
  3. Deiksis waktu : menyatakan tentang rentang waktu berlangsungnya peristiwa komunikasi.
  4. Deiksis tempat : merujuk pada tempat (ruang) terjadinya peristiwa komunikasi.
  • Tindak ujar
    Tindak ujar atau tindak tutur merupakan cabang ilmu yang mengkaji bahasa dari aspek aktualnya. Menurut Chaer dan Agustina (2004: 50) mengemukakan tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya
    ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur merupakan analisis pragmatik yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Tindak tutur (speech act) adalah gejala individu yang bersifat psikologis dan berlangsungnya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.

  • Praanggapan
    Praanggapan diartikan sebagai kesepahaman (Asisda, 2017:69). Yakni, satu kalimat mampu merangkum beberapa informasi yang mendukung konteks wacana. Jika setiap satu informasi dibuat dalam satu kalimat, maka tidak akan efektif sehingga fungsi praanggapan tidak akan bekerja. Suatu wacana akan kurang tersusun konteksnya dengan baik apabila fungsi
    praanggapan tidak digunakan. Tujuan dari praanggapan sendiri adalah untuk meninggikan nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Praanggapan juga memiliki fungsi efisiensi yang estetis, sehingga praanggapan sering kali bersifat positif dan definit.

  • Implikatur
    Pada tahun 1975, Grice memperkenalkan konsep implikatur dalam dunia bahasa. Implikatur memiliki fungsi yaitu untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh
    teori semantik biasa. Makna tuturan yang jauh dari maksud harafiahnya adalah objek dari implikatur. Sehingga dapat disimpulkan implikatur berguna untuk membedah makna dari suatu bahasa yang berbeda dari arti harafiahnya yang sesuai dengan konteks yang berlaku.

Referensi :
Wijayanti, N. N. ANALISIS DEIKSIS, PRAANGGAPAN, DAN IMPLIKATUR DALAM NOVEL TAN KARYA HENDRI TEJA: SUATU KAJIAN WACANA.

Wiranty, W. (2016). Tindak Tutur dalam Wacana Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata (Sebuah Tinjauan Pragmatik). Jurnal Pendidikan Bahasa, 4(2), 294-304.

Deiksis
Deiksis merupakan ilmu yang mempelajari mengenai rujukan atau referensi hal-hal di luar wacana yang belum jelas atau belum diketahui referennya yang ada dalam teks, baik yang sudah disebut maupun yang akan disebut dan penunjukkan kepada sesuatu yang di luar kalimat atau teks. Wijayanti (2017) mengatakan bahwa deiksis bertujuan untuk mengetahui referen terhadap suatu kata dalam satu kalimat dilihat dari hubungannya dengan kalimat lain.

Tindak ujar
Usman & Hasriani, (2021) memaparkan bahwa tindak ujaran berhubungan dengan adanya keinginan untuk menindakkan sesuatu dari pembicara atau penulis melalui kalimat yang diucapkan atau dituliskan.

Praanggapan
Praanggapan atau kesepahamanan merupakan sebuah kalimat yang merangkum beberapa informasi yang mendukung konteks wacana. Sebuah wacana akan kurang terstruktur dalam konteksnya jika fungsi praanggapan tidak digunakan.

Implikatur
Implikatur membedah makna bahasa yang berbeda dengan makna literalnya sesuai dengan konteks yang berlaku. Implikatur umumnya digunakan untuk memecahkan masalah makna bahasa yang tidak dapat dipecahkan oleh teori semantik biasa.

Referensi:
Usman, U., & Hasriani, H. (2021). Ragam Slang dalam Bahasa Iklan Selebriti Instagram Makassar (Suatu Tinjauan Pragmatik). Dalam Seminar Nasional LP2M UNM.
Wijayanti, N. (2017). Analisis Deiksis, Praanggapan, Dan Implikatur Dalam Novel Tan Karya Hendri Teja: Suatu Kajian Wacana. Diakses dari academia.edu.

Pragmalinguistik merupakan salah satu metode dalam analisis wacana. Pragmalinguistik merupakan metode gabungan antara ilmu pragmatik dengan linguistik. Terdapat empat cakupan dalam pragmatik itu sendiri, antara lain yaitu : deiksis, tindak ujar, praanggapan, dan implikatur.

  • Deiksis adalah salah satu bagian yang terkait dengan bahasan wacana, dan masih bisa dipertanyakan statusnya atau bisa berubah referensinya, dengan tujuan mengetahui keterikatan referensi suatu kata dalam satu kalimat dengan kalimat lain.
    Deiksis terdiri dari empat jenis deiksis, antara lain yaitu:
  1. deiksis persona : menunjukkan diri penutur.
  2. dieksis tempat : menunjukkan lokasi dalam peristiwa bahasa.
  3. deiksis waktu : ungkapan terkait waktu dalam peristiwa bahasa.
    4.deiksis benda : ungkapan terkait benda dalam peristiwa bahasa (Wijayanti, 2017).
  • Tindak ujar merupakan bagian sepenggalan tuturan yang dihasilkan akibat interaksi sosial (Sumarsono, 2009).

  • Praanggapan merupakan sebuah tuturan oleh penutur sebagai asumsi atau anggapan sebelum sesuatu tersebut terjadi (Ida Bagus, 2014).

  • Implikatur merupakan suatu makna yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan (Brown dan Yule, 1996).

Referensi :
Putrayasa, Ida Bagus. (2014). Pragmatik. Cetakan pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wijayanti, N. (2017). Analisis Dieksis, Praanggapan, dan Implikatur dalam Novel “Tan” Karya Hendri Teja: Suatu Kajian Wacana. Makalah Universitas Negeri Jakarta. Diakses dari academia.edu.

Sumarsono. (2009). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brown, Gillian dan George Yule. (1966). Analisis Wacana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pragmatik secara praktis dapat didefinisikan sebagai studi mengenai tujuan dalam situasi-situasi tertentu. Pragmatik bersifat komplemen, yang berarti bahwa studi tentang bahasa dilakukan baik secara terpisah dari sistem formal bahasa maupun dari sebagian yang melengkapi (Leech, 1993). Pragmatik mempunyai ruang lingkup tersendiri yang menjadi bidang kajiannya. Pragmatik mengkaji bidang-bidang seperti deiksis, praanggapan, implikatur percakapan dan tindak tutur.

  1. Deiksis: Deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah (Chaer dan Leonie, 2004:57). Penunjukan atau deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses, atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Djajasudarma, 2012:43).
  2. Praanggapan: Praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presupposisi adalah penutur, bukan kalimat (Yule, 2006:43). Praanggapan dalam tindak tutur adalah makna atau informasi “tambahan” yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat (Chaer dan Leonie, 2004:58).
  3. Implikatur: Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Rani dkk , 2006:170). Yang dimaksud implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan ini tidak nampak secara literal, tetapi hanya dipahami secara tersirat (Chaer dan Leonie, 2004:59).
  4. Tindak Tutur: tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual.

Referensi:
Sulistyo, E. T. (2013). Pragmatik suatu kajian awal.

Studi tentang pragmatik mutlak berkaitan erat dengan konteks situasi tutur. Pragmatik mempunyai ruang lingkup tersendiri yang menjadi bidang kajiannya. Pragmatik mengkaji bidang-bidang menjadi :

  1. Deiksis

Djajasudarma (2012) mengatakan bahwa dekiksis atau adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses, atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara.

  1. Tindak ujar

Tindak tutur atau tindak ujar adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual. Bisa di artikan lain bahwa tindak tutur yaitu suatu tindakan dalam berkomunikasi.

  1. Praanggapan

Praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.

  1. Implikatur
  • Chaer dan Leonie (2004) mengatakan yang dimaksud implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan ini tidak nampak secara literal, tetapi hanya dipahami secara tersirat.

  • Rani (2006) juga mengatakan bahwa Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah .

Sumber referensi :

Yani,Ahmad. 2017. “RUANG LINGKUP KAJIAN PRAGMATIK”, RUANG LINGKUP KAJIAN PRAGMATIK | Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia , diakses pada 4 Desember pukul 20.17

• Deiksis adalah ilmu yang mempelajari tentang rujukan hal-hal di luar wacana yang belum jelas statusnya atau tidak tetap referennya. Deiksis berfungsi dalam i referen terhadap suatu kata dalam satu kalimat dilihat dari hubungannya dengan kalimat lain. Terdapat empat jenis deiksis, yaitu

  1. Deiksis persona yang merupakan unsur lingual yang menyatakan persona. Contohnya dalam suatu kalimat terdapat unsur persona seperti aku, dia, -nya, dst. Maka untuk melihat maknanya harus dlihat dari kalimat sebelumnya.
  2. Deiksis benda merupakan rujukan pada benda-benda di luar konteks wacana yang masih terkait dengan wacana.
  3. Deiksis waktu merupakan deiksis yang menyatakan rentang waktu berlangsungnya peristiwa komunikasi.
  4. Deiksis tempat merupakan deiksis yang merujuk pada tempat atau ruang terjadinya peristiwa komunikasi.

• Tindak ujar, menurut Sumarsono (2009: 323) merupakan bagian sepenggalan tuturan yang dihasilkan akibat interaksi sosial. Selanjutnya menurut Searle (1969, 23-24) terdapat tiga konsep dalam tindak ujar, yaitu

  1. tindak lokusi (tindak tutur dalam bentuk kalimat yang memiliki makna dan mudah dipahami
  2. tindak illokusi (tidak hanya memiliki makna tetapi juga mengacu untuk melakukan sesuatu
  3. tindak perlokusi (memiliki makna dengan tujuan memengaruhi lawan penuturnya).

• Menurut Asisda (2017:69) Praanggapan diartikan sebagai kesepahaman. Yaitu satu kalimat dapat merangkum beberapa informasi yang mendukung konteks wacana. Jika dalam setiap satu informasi dibuat dalam satu kalimat, maka tidak akan efektif. Oleh karena itu, fungsi praanggapan tidak akan bekerja. Suatu wacana akan kurang tersusun konteksnya dengan baik apabila fungsi praanggapan tidak digunakan. Tujuan dari praanggapan sendiri adalah untuk meninggikan nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Praanggapan juga memiliki fungsi efisiensi yang estetis, sehingga praanggapan sering kali bersifat positif dan definit.

• Menurut Rani (2006:170) Implikatur digunakan untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah. Implikatur percakapan adalah implikatur yang hanya diketahui oleh sebagian orang yang mengetahui konteks tuturannya saja. Implikatur percakapan berusaha untuk menganalisis suatu percakapan sehingga diperoleh makna yang benar.

Referensi:
Wijayanti, N. (2017). Analisis Dieksis, Praanggapan, dan Implikatur dalam Novel “Tan” Karya Hendri Teja: Suatu Kajian Wacana. Paper Universitas Negeri Jakarta. Diakses dari academia.edu.
Sumarsono. (2009). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yuniarti, N. (2016). Implikatur percakapan dalam percakapan humor. Jurnal Pendidikan Bahasa, 3(2), 225-240.

Deiksis merupakan ilmu yang mempelajari terkait rujukan hal-hal di luar wacana yang memiliki status yang belum jelas referennya. Praanggapan dapat dimaknai sebagai kesepahamanan. Praanggapan dapat disimpulkan sebagai satu kalimat yang dapat merangkum beberapa informasi guna mendukung konteks wacana. Implikatur adalah konsep yang difungsikan untuk membedah atau memecah makna suatu bahasa yang memiliki perbedaan dalam arti harafiahnya yang sesuai dengan konteks yang berlaku. (Wijayanti, 2017). Sedangkan tindak ujar yakni tindakan verbal dan ujaran sebagai aksi (Leech, 1983).

Wijayanti, N. N. (2017). ANALISIS DEIKSIS, PRAANGGAPAN, DAN IMPLIKATUR DALAM NOVEL TAN KARYA HENDRI TEJA: SUATU KAJIAN WACANA.
Tembengi, H. (2016). Tindak Ujar Direktif Dalam Film the Hobbit: Battle of the Five Armies (Suatu Analisis Pragmatik). JURNAL ELEKTRONIK FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SAM RATULANGI, 2(1).
Leech, G. (1983). Principles of Pragmatics. London: Longman

Pragmatik merupakan ilmu telaah tentang kondisi penggunaan komunikasi bahasa yang mengandung unsur isi komunikasi ujaran. Menurut Wildan Nafi’i dalam artikelnya yaitu Makna Dalam Wacana (2015) unsur tersebut berkaitan dengan wacana. Unsur tersebut meliputi:

  1. Deiksis adalah bentuk bahasa yang berfungsi sebagai penunjuk sesuatu atau fungsi tertentu di luar bahasa. Menggambarkan fungsi pronominal persona, demonstrative, fungsi waktu, dan aneka ciri gramatikal serta leksikal lainnya. Contohnya: Buku merah ada di sana.
  2. Tindak ujar/tindak tutur adalah suatu perilaku ujaran yang digunakan oleh pemakai bahasa saat sedang berkomunikasi.
  3. Praanggapan adalah suatu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang penutur dan lawan tuturnya. Tetapi terkadang peranggapan ini tidak selalu benar.
  4. Implikatur adalah tuturan yang menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya. Contohnya perilaku orang Jawa, yang bersikap sopan dan tak ingin menonjolkan diri. Namun pada kenyataannya tidak semua orang Jawa menerapkan hal tersebut.

Referensi:
Nafi’i, W. (2015). MAKNA DALAM WACANA. Arabia, 7(1).