Berbicara tentang Tradisi, di Indonesia juga mempunyai banyak tradisi dan budaya adi luhung. Tepatnya di desa saya sendiri Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul yang mempunyai suatu tradisi yang masih terus di jaga sampai saat ini. Tradisi yang dimaksud adalah Rebu Pungkasan atau Rebo wekasan. Acara yang rutin dilakukan di malam Rabu terakhir di bulan Safar.
Desa Wonokromo di Bantul, Yogyakarta, menyimpan tradisi unik bernama Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan, sebuah upacara adat yang dilangsungkan setiap Rabu terakhir bulan Safar. Tradisi yang telah berlangsung sejak tahun 1784 ini merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan sekaligus penghormatan kepada Kyai Faqih Usman (atau Kyai Welit), pendiri desa yang terkenal akan keahlian pengobatannya. Kyai Welit diyakini mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan memberikan berkah bagi masyarakat, bahkan kisahnya sampai terdengar hingga ke Sri Sultan HB I. Konon, beliau menyembuhkan banyak orang dengan cara “disuwuk,” yaitu membacakan ayat Al-Qur’an pada air yang kemudian diminum oleh pasien. Setelah wafatnya Kyai Welit, masyarakat percaya bahwa berkah dan kesembuhan masih dapat diperoleh dengan mandi di telaga pertemuan Kali Opak dan Kali Gajahwong, terutama pada saat Rebo Wekasan.
Puncak acara Rebo Pungkasan adalah kirab gunungan yang meriah. Pawai ini diawali dengan barisan prajurit, disusul lemper raksasa (berukuran sekitar 2 meter), dan kelompok kesenian lokal. Gunungan berisi lemper raksasa, atau terkadang ribuan lemper kecil, serta berbagai makanan lainnya, diarak dari masjid-masjid di Wonokromo menuju Balai Desa. Setelah sampai di Balai Desa, lemper dan gunungan dibagikan kepada masyarakat. Selain kirab gunungan, terdapat juga pasar malam dan pengajian akbar yang menambah semarak perayaan. Tradisi ini bukan hanya sekadar upacara adat, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Rebo Wekasan sarat akan makna filosofis. Upacara ini bukan hanya sebagai ungkapan syukur, tetapi juga sebagai bentuk tolak bala. Masyarakat meyakini bahwa bulan Safar rawan akan musibah, sehingga Rebo Wekasan menjadi upaya untuk memohon perlindungan dan keselamatan. Doa bersama untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama juga merupakan bagian integral dari upacara ini. Dengan demikian, Rebo Wekasan merupakan perpaduan unik antara ritual keagamaan, pengobatan tradisional, dan kearifan lokal yang tetap lestari hingga kini.
Tradisi Rebo Pungkasan ini juga mencerminkan kearifan lokal yang perlu dijaga kelestariannya agar identitas budaya bangsa tetap terpelihara. Upacara ini menjadi bukti nyata bagaimana sebuah tradisi dapat diwariskan dari generasi ke generasi, sekaligus menjadi daya tarik wisata yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Keunikan dan makna mendalam yang terkandung di dalamnya menjadikan Rebo Pungkasan sebagai bagian penting dari khazanah budaya Indonesia.
Upacara adat rabu pungkasan atau Rebo wekasan adalah sebagai upaya menolak bala permohonan, perlindungan, dan mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tolak bala ini masyarakat percaya bahwa bulan Safar adalah bulan yang banyak terjadi musibah atau bencana sehingga diadakan upacara ini untuk menolak bala. Masyarakat juga melakukan doa bersama untuk memohon perlindungan, keberkahan, keselamatan dan kebaikan antar sesama manusia. Dan juga ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.