Untungnya, Matahari Masih Terbit Lagi

Pagi ini, matahari tetap terbit seperti biasanya. Kicauan burung terasa tidak mau kalah oleh suara motor yang sudah mulai berlalu-lalang. Mata ku rasanya masih ingin tertutup, badan masih ingin bermesraan dengan kasur. Tapi apalah daya, alarm ku sudah berbunyi. “Nak, ayo bangun, sudah siang. Kamu harus sekolah, katanya ada acara di sekolah?” Mendengarnya, aku langsung bergegas untuk mandi dan bersiap berangkat ke sekolah. Jalanan belum seramai biasanya. Iya, aku berangkat lebih pagi dari kebanyakan orang, karena aku panitia acara di sekolah hari ini.

“Oke, lelahnya nanti dulu. Sekarang, harus ceria, harus pasang senyum yang mempesona!” batinku ketika tengah mengendarai motor. Mataku masih saja terasa sayup, walau sudah terguyur air dingin. Badanku masih saja terasa berat, walau perut ini sudah terisi makanan ibu. Kaki ini terasa masih kaku, walau sudah ku pasang stiker panas semalam. Tapi jiwa ini, seolah bersorak-sorak untuk menyambut hari ini.

Hari ini, 10 Oktober 2023. Hari kesehatan mental sedunia. Hari yang aku tunggu-tunggu kedatangannya, karena aku menjadi ketua panitia serangkaian acara memperingati hari kesehatan mental sedunia. Suatu acara yang aku buat untuk kembali menyadarkan khalayak ramai, bahwa seberat apapun hidup yang kita jalani, sesulit apapun masalah untuk dilewati, sejahat apapun dunia memperlakukan kita, akan selalu ada jalan keluar untuk kita bahagia. Karenanya, tidak apa-apa untuk mengeluh, untuk menangis, untuk teriak kepada dunia jika kalian lelah. Tapi, yang tidak boleh itu, menyerah. Bahkan rasanya, jika aku bisa menghapus kata menyerah di KBBI, dunia akan selalu baik-baik saja bukan? Tapi terkadang, aku menyadari bahwa di setiap kita pasti pernah ingin menyerah. Tapi lagi-lagi aku menyadari, bahwa kebanyakan orang menyerah karena ia bingung arah mana lagi yang harus ia jalani, rumah mana yang mampu menampungnya, pundak mana yang mampu menjadi sandarannya, dan hal indah apa yang mampu membuatnya bertahan. Kebanyakan kita tidak menyadari, bahwa hal-hal kecil di sekitar kita akan menjadi indah dan mampu menjadi alasan untuk bertahan, seperti makan es krim di taman, lari pagi sembari mendengarkan musik favorit, minum kopi andalan, dan bahkan se-sederhana duduk, diam, dan menatap langit.

Rangkaian acara yang aku buat mulai dari bakti sosial, dimana aku dan teman-temanku mengunjungi suatu rumah yang terasa damai dan hangat oleh candaan anak-anak di dalamnya. Ya, di panti asuhan. Baru saja sampai, senyuman manis nan indah dari anak-anak yang masih jauh dari kata dewasa itu menyambut kami dengan hangat. Mereka anak-anak yang tidak seberuntung kami, dari cerita ibu pengasuhnya, kebanyakan dari mereka diperlakukan layaknya sampah, bahkan oleh orang tuanya sendiri. Jantungku seolah berhenti berdetak, leherku tercekik, kantung mataku berusaha keras menahan air di dalamnya. Di kepalaku penuh pertayaan. “Serius, dunia udah sekejam itu untuk anak-anak manis ini? Bagaimana nanti ketika mereka tumbuh dewasa? Bagaimana ketika mereka membutuhkan sosok ayah, sosok ibu? Bagaimana? Bagaimana?” Huh, rasanya tidak ada jawaban yang mampu menenangkan raga ini. Dalam benakku, aku berharap mereka mampu menjadi “orang” suatu hari nanti, dengan jalan meraka masing-masing.

Rangkaian acara selanjutnya, ialah talkshow mengenai kesehatan mental. Lagi-lagi aku menjadi saksi bahwa dunia kurang layak untuk dihuni. Banyak orang-orang yang merasa sedih, sakit, dan sering kali merasa dunia tidak adil untuk mereka. Mereka yang selalu mambalut wajahnya dengan topeng keceriaan, mereka yang selalu menghiasi senyumnya dengan berlian, ternyata di dalamnya rapuh, hancur, berserakan. “Betapa hebatnya, manusia ciptaan Tuhan,” batinku. Karenanya, acara yang selanjutnya aku persembahkan untuk mereka yang memeluk lukanya sendiri. Yaitu konser, iya konser. Aku ingin mereka bernyanyi, teriak, bersorak-sorak, untuk menyuarakan hatinya, raganya, yang telah lama luka dan tersembunyi di dalam ruangan gelap. Seolah acara ini berbicara kepada mereka. “Ayo, lebih keras lagi, suarakan, keluarkan semuanya, tunjukkan kepada dunia bahwa kamu mampu bertahan!” Hati ku penuh, melihat mereka bersorak gembira. Aku tau ini hanya sebentar, tapi harapanku ini akan menjadi kenangan terbaik semasa putih abu-abu.

Hujan tiba, seolah turut memeriahkan hari ini. Syahdu, tenang, dan akan terkenang. Energi habis, tapi hati terasa penuh. Ya, itu yang aku rasakan seusai acara. Rasanya senang sekali ketika langkahku di dunia ini memberi arti untuk orang-orang sekitar. Rasanya jiwa ini tenang, ketika tanganku mampu membuat orang-orang tersenyum. “Telat ku sadar, hidup bukanlah prihal mengambil yang kau tebar. Sedikit air yang ku punya, milikmu juga.” Lirik lagu ciptaan Hindia ini terasa nyata saat ini, yang lanjutannya “Bisakah kita tetap memberi, walau tak suci. Bisakah kita terus mengobati walau membiru.” Liriknya memberi pesan, bahwa hidup tidak selalu tentang kita, tidak ada salahnya untuk saling menolong walau kita juga terjatuh. Kita tidak bisa memilih bagaimana dunia memperlakukan kita, tetapi kita selalu bisa memilih bagaimana sebaiknya kita memperlakukan orang lain. Sebarkan kebaikan, meski terkadang diri kita sendiri juga butuh disembuhkan. Tenang, untungnya matahari masih terbit lagi. Kita masih bisa mengusahakan untuk bertahan, berbagi, dan menjadi alasan bagi orang lain untuk terus melangkah.

1 Like