Ubah Sambat Jadi Semangat

UBAH SAMBAT JADI SEMANGAT (1)
Dari awal aku selalu merasa terlambat, terlambat dalam mengenal diri sendiri, terlambat tahu apa hal yang kuingini. Sejak kecil aku tak pernah benar-benar tahu aku ini mau jadi apa. Jadi dokter? Liat darah saja aku gemeter. Jadi guru? Aku bukan orang yang pandai menyampaikan ilmu. Jadi politikus? Jangan lah, aku belum siap bertemu tikus-tikus. Bimbang memang, untuk anak yang belum genap 17 tahun, “cita-cita” masih menjadi misteri dan pertanyaan tersendiri.

Masalah pertama, hingga di akhir masa SMA, saat pengumuman siswa eligible untuk SNMPTN dimana aku masuk di dalamnya, aku masih belum tahu memilih jurusan kuliah apa. Hingga aku bertemu satu jurusan. Jurusan yang seketika membuatku berpikir, “masuk ini saja kali yaaa” Planologi. Iya, planologi adalah satu jurusan yang memantik lagi rasa keingintahuan di kepala. Perencaan Wilayah dan Kota (PWK), orang-orang lebih familier mendengarnya. Ku cari tahu lagi tentang jurusan ini, apa bahasannya, bagaimana peluangnya, siapa tokohnya. Terkesan aku, kumantapkan langkahku, memilih jurusan itu. Masalah yang kedua, apa “cadangannya”? Konsultasi dengan guru perihal nilai dan minatku yang lain, bertemu aku dengan Agroteknologi. “Nah ini” ucapku dalam hati. Berlandaskan aku yang memang suka tanaman dan nyaman belajar biologi, kusematkan pilihan kedua pada Agroteknologi.

Sejak saat itu, kulantangkan doa-doa. Kukerahkan segala usaha agar entah bagaiamana Tuhan berbaik hati membuatku diterima di antara keduanya. Waktu itu aku berharap masuk PTN lewat SNMPTN saja karena jujur tak kuasa aku jika harus ikut UTBK, belajar hal yang bukan main pusingnya. Ditambah keadaan keluargaku yang tidak begitu mendukung untuk belajar. Rumah yang kelewat ramai, sekolah daring yang membuatku tak paham materi, hingga masalah ekonomi yang memaksaku untuk meminimalkan pengeluaran membeli hal-hal penunjang belajar. Walaupun sebenarnya jika kutelisik lagi, waktu itu aku tak terlalu sungguh-sungguh belajar untuk UTBK. Karena entah intuisiku yang kuat atau aku yang kelewat percaya diri, aku yakin aku akan lolos SNMPTN. Dasar tidak tahu diri.

Pengumuman SNMPTN tiba, intuisiku benar, aku diterima. Rupanya bukan PWK jodohku kali ini, tapi aku diterima di pilihan kedua, iya, Agroteknologi. Biasanya orang-orang akan kecewa jika “gagal” di pilihan pertama. Namun, lagi-lagi entah karena aku ini anaknya terlalu legowo atau memang tidak ambisius, aku sama sekali tidak kecewa dengan hasil yang kuterima. Alih-alih, aku malah merasa lega. Bersyukur sebesar-besarnya karena masuk Agroteknologi. Pilihan yang kupikir akan kusambati, ternyata malah membuatku semangat menjalani.

Tak pernah terbayangkan aku akan masuk ke dunia pertanian. Tak pernah terpikirkan pula jika aku akan merasa nyaman. Hingga akhirnya aku sadar bahwa aku ini tidak terlambat. Tak pernah ada kata terlambat untuk mengenal diri sendiri. Toh, hidup itu berproses, kedepannya kita akan selalu berprogres. Jika kamu membaca tulisan ini dan berpikir, “Kok gampang banget? Kok aku gak segampang itu?”. Teman, aku pernah membaca bahwasanya hidup ini seperti sungai. Panjang dan akan terus mengalir. Setiap sungai memiliki rintangannya masing-masing. Ada yang berkelok dan terlalu deras, ada yang dangkal hingga terlihat memilukan, ada yang terlalu dalam hingga susah ditaklukan. Namun semua hal akan bermuara pada satu kebahagiaan; laut yang tenang.