Uang dan Makanan: Hal yang Terbuang dari Mantu

Yang tersisa dari mantu, selain beberapa biaya perhelatannya yang belum lunas, hanyalah sampah makanan yang membekas.

Perhelatan nikahan boleh jadi sebagai ujung tombak gengsi, di mana mayoritas manusia ingin menjadikannya sebuah acara yang berkesan bagi dirinya sendiri dan bahkan untuk para tamu undangan. Musik hiburan, dekorasi kemegahan, hingga makanan yang disajikan harus merepresentasikan seberapa banyak modal yang dipunya. Tulisan ini tidak akan mendiskreditkan orang-orang bermodal besar yang bisa dengan mudahnya menggelar resepsi berbalut kemewahan, juga tak memandang sebelah mata, orang-orang yang menggelar resepsi secara sederhana. Kehadiran tamu undangan beserta amplop yang terselip di pakaian adalah hal yang paling dinantikan bagi pemilik selamatan. Penjamuan yang baik terus diupayakan melalui segala yang tersuguhkan. Setelah perhelatan selesai, semuanya akan meninggalkan bekas-bekas yang khas dari biaya yang belum lunas, hingga makanan yang menjadi ampas. Makanan yang tersisa tidak melihat seberapa mewah atau seberapa banyak rupiah yang harus dibayar, semua akan menjadi sampah ketika manusia tidak menumbuhkan rasa sadar. Sebagai seseorang yang hidup di keluarga yang sederhana, membuang makanan karena tidak dapat menghabiskan adalah perbuatan yang paling hina.

Nasi, sup, daging, dan makanan yang identik dengan hajatan lainnya dihidangkan mengundang selera. Setelah beragam prosesi nikahan dijalankan, tiba saatnya mengisi perut yang hanya berisi kekosongan. Kesempatan terbuka lebar ketika sistem pengambilan makanan dilaksanakan secara prasmanan. Tamu undangan diperbolehkan memilih dan mengambil sendiri makanan yang mereka inginkan. Sayangnya, kebebasan itu dimaknai mayoritas hadirin sebagai ajang bancakan tanpa memerhatikan kapasitas perut yang mereka mampu simpan. Dengan begitu, petugas katering atau sinoman pun kewalahan, hanya bisa tersenyum, menggelengkan kepala, dan menyembunyikan keheranan ketika melihat tingkah manusia mengambil makanan bak kera yang kedua kaki dan tangannya menggenggam yang ia dapat genggam. Rasa malu seakan musnah karena ini perihal lapar perut yang menggugah. Nasi dan lauk yang menggunung bisa dengan mudah dilahapnya, meski pada akhirnya, satu hingga dua sendok nasi masih tersisa.

Makanan yang menjadi salah satu daya tarik pun menjelma menjadi tak berbentuk hingga jauh dari kata layak. Menumpuk di bawah meja, sela-sela kursi, dan sudut tembok menjadi akhir dari tugasnya sebagai pelepas lapar manusia. Jika dianalogikan dengan sistem partai politik, makanan yang tak habis tersebut bagaikan kader yang tak lagi diinginkan. Didepak dari jajaran kandidat yang diharapkan setelah tak mampu bersaing dengan kandidat lainnya. Menjadi kader yang tak lagi berguna ketika hasrat partai politik telah terpenuhi, walau tanpanya. Pemandangan miris pun kembali tersaji setelah sebelumnya perangai manusia yang berlagak kera, kini, entah hewan apa lagi yang bisa menggambarkan tingkah lakunya. Piring-piring tergeletak berceceran dengan menyisakan beberapa suap nasi, secuil daging yang terdapat bekas gigitan, acar yang tak tersentuh, hingga kerupuk yang termakan separuh. Semua tersisa dalam piring tersebut kecuali kesadaran hati manusia untuk menghargai keberadaan makanan. Tak perlu memandang jauh ke bawah untuk menggugah rasa syukur. Cukup renungkan dan ketuk pintu hati yang paling dalam dengan pertanyaan, masih pantaskah aku menyandang predikat manusia ketika menghargai makanan saja tidak bisa?

Meski bisa dianggap sebagai All You Can Eat, konsep prasmanan pada sebuah hajatan tidak memberikan konsekuensi bagi siapa saja yang tidak dapat menghabiskan makanan yang telah mereka ambil. Imbas yang didapat hanyalah kepuasan memakan apa saja, sekaligus perasaan miris tentang manusia yang menyia-nyiakan apa yang disebut santapan. Dengan terus dibiarkannya praktik seperti ini, makanan sisa yang seharusnya bisa menjadi lauk untuk satu dua hari ke depan bagi si empunya hajatan, atau malah dibawa pulang oleh ibu-ibu pemasak katering dan mas-mas penjaganya di meja, akan selamanya menjadi kesia-siaan yang paling mengiris hati. Sebuah hal yang menyedihkan sebab makanan yang tak seharusnya menjadi sampah, mau tidak mau berubah karena manusia rakus yang berulah. Sudah sepantasnya bagi manusia untuk menumbuhkan kesadaran hati bahwa, setebal apapun amplop yang dibawa tak akan bisa dijadikan alasan untuk membuang-buang makanan.

1 Like