Tradisi Minahasa; Hari Pengucapan Syukur!

Pengucapan

Hari pengucapan syukur? Memangnya mengucap syukur harus ada hari tertentu? Kan setiap hari bisa! Memangnya bagaimana hari pengucapan syukur itu?

Mungkin pemikiran seperti itu bisa menjadi kesan pertama dari orang-orang ketika mendengar suatu tradisi dari daerah Minahasa, yaitu hari Pengucapan Syukur.

Sebenarnya maksud dari hari pengucapan syukur itu tidak semata-mata merupakan hari dimana masyarakat Minahasa mengucap syukur untuk sekali dalam setahun, melainkan memiliki makna dan peristiwa yang lebih dari pada itu.

Daerah atau Suku Minahasa

Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang tradisi Minahasa; “Hari Pengucapan Syukur”, alangkah baiknya kita lebih dulu mengenal beberapa fakta mengenai daerah atau suku Minahasa itu sendiri. Suku Minahasa adalah kelompok etnis yang berasal dari Semenanjung Minahasa di bagian utara pulau Sulawesi di Indonesia.

Wilayah-wilayah administratif tempat bermukim mayoritas orang-orang Minahasa (atau Minahasa Raya) adalah Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, Kota Manado, dan Kota Tomohon.

Seluruh kawasan administratif ini terletak di Provinsi Sulawesi Utara dan suku Minahasa merupakan suku bangsa terbesar di provinsi ini. Hal ini juga yang menyebabkan dalam percakapan awam, orang Minahasa sering kali disamakan dengan sebutan orang Manado yang adalah ibukota Sulawesi Utara. Suku Minahasa merupakan gabungan dari kelompok-kelompok sub-etnis yaitu Bantik, Pasan/Ratahan, Ponosakan, Tombulu, Tondano (Toulour), Tonsawang (Tombatu), Tonsea, dan Tontemboan.

Awal Mula Hari Pengucapan Syukur

Hari Pengucapan Syukur atau bisa dibilang Hari Raya Pengucapan Syukur itu sendiri awal mulanya berasal dari tradisi “Foso Rumages”, “Foso” yang berarti “ritual” dan “Rumages” berarti “persembahan yang diberikan dengan keutuhan atau ketulusan hati untuk Tuhan Yang Maha Besar”.

Para leluhur akan melakukan tradisi “Foso Rumages” pada saat selesai melakukan panen, terutama panen padi, masyarakat akan merayakan tradisi “Foso Rumages” sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang diberikan Tuhan yang Maha Besar. Selain itu, dalam tradisi “Foso Rumages” juga terdapat berbagai bentuk persembahan seperti nyanyian, tarian bahkan masakan yang di masak di bambu khusus untuk para leluhur sebagai tanda hormat.

Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi “Foso Rumages” mulai hilang atau lebih tepatnya ditinggalkan dikarenakan agama Kristen dari bangsa Eropa sudah mulai masuk ke Minahasa, mengingat beberapa ritual tersebut bertentangan dengan ajaran agama Kristen dan para penduduk Minahasa waktu itu yang masih menganut kepercayaan Shimamisme sudah mulai berpindah ke ajaran agama Kristen.

Tradisi mempersembahkan hasil panen kepada Tuhan masih masih terus berlanjut hingga saat ini, namun tentunya sudah tidak lagi seperti dengan “foso rumages” yang dilakukan para leluhur sekalipun maksud dari hal itu masih sama yaitu mempersembahkan hasil panen kepada Tuhan yang maha Esa sebagai bentuk rasa Syukur atas berkat yang diberikan sehingga disebut hari pengucapan syukur.

Hari Pengucapan Syukur Saat Ini

Dalam hari pengucapan syukur pada saat ini, sehubungan dengan penduduk Minahasa yang sebagian besar menganut agama Kristen, sehingga peristiwa ini dilakukan dengan datang beribadah ke Gereja dengan membawa sebagian dari hasil panen berupa buah-buahan, padi, cengkeh, untuk dinikmati bersama atau di bagi-bagikan sebagai tanda syukur.

Pelaksanaan Hari Pengucapan Syukur

Selain itu dihari pengucapan syukur, disetiap rumah orang Minahasa sebagian besar telah disediakan berbagai rupa makanan layaknya mengadakan suatu acara. Hal itu dilakukan untuk menyambut tamu yang akan berkunjung sepulang dari Gereja. Untuk hari pengucapan Syukur sendiri tidak dilakukan serentak oleh seluruh masyarakat suku minahasa, melainkan secara bergantian.

Hal itu biasanya diatur oleh pemerintah kabupaten/kota masing-masing setempat untuk menentukan tanggal hari pengucapan syukur yang tentunya bertepatan dihari Minggu atau hari ke Gereja. Hal ini masing-masing dilakukan setahun sekali yang biasanya berkisar dari bulan Juli-Oktober secara bergantian sehingga masyarakat dari kabupaten/kota yang lain bisa datang untuk bertamu ke daerah kabupaten/kota yang mendapat giliran mengadakan pengucapan Syukur.

Tradisi ini tentunya harus dipertahankan oleh rakyat Minahasa, melihat hal ini mengandung berbagai macam nilai positif, dimulai dari rasa ungkapan syukur kepada Tuhan yang maha Esa, nilai kebersamaan atau kekeluargaan yang sangat tinggi hingga nilai tradisi.

Sehingga dengan terus adanya tradisi ini, diharapkan semua masyarakat Minahasa akan terus memegang erat tali persaudaraan, saling toleransi dan tentunya yang selalu menjadi selogan orang minahasa dari Dr. Sam. Ratulangi yaitu “Si Tou Timou tumou tou” yang artinya “Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain” dan juga slogan “Torang samua basudara” tidak hanya menjadi slogan belaka yang selalu disebut-sebut orang minahasa, melainkan akan tetap tertanam dalam diri orang Minahasa.

Referensi:

  • Asal Muasal Suku Minahasa di Sulawesi Utara, https://tribunmanadowiki.tribunnews.com/2020/08/31/asal-muasal-suku-minahasa-di-sulawesi-utara.

  • “Tradisi “Pengucapan Syukur” Suku Minahasa di Provinsi Sulawesi Utara”, Klik untuk baca:
    https://www.kompasiana.com/mutiaraem1930/617174bb24b0e867375d90e3/tradisi-pengucapan-syukur-suku-minahasa-di-provinsi-sulawesi-utara

1 Like