Keraton Yogyakarta selalu menjadi sorotan utama, terutama dalam perayaan acara-acara keagamaan yang besar. Salah satu tradisi yang memiliki keistimewaan tersendiri adalah penyambutan Tahun Baru Islam atau 1 Suro dengan ritual tapa bisu. Malam 1 Suro, yang merupakan perayaan Tahun Baru Islam berdasarkan penanggalan kalender Jawa, dirayakan dengan penuh kegembiraan di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta, yang dipimpin oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di antara rangkaian perayaan tersebut, terdapat tradisi yang disebut tapa bisu, yang dilaksanakan oleh para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta setiap malam 1 Suro. Tapa bisu adalah sebuah tradisi tahunan yang dilakukan dengan cara berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta pada malam hari, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ritual ini menjadi bagian penting dalam menjaga kelestarian budaya dan memperlihatkan kedalaman spiritual dalam menyambut tahun baru Islam menurut perhitungan kalender Jawa.
Tradisi tapa bisu ini pertama kali diprakarsai oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam, yang juga dikenal sebagai pencetus sistem penanggalan Jawa. Ritual ini dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian perayaan Tahun Baru Islam. Setelah sempat tidak dilaksanakan untuk beberapa waktu, tradisi tersebut kemudian dihidupkan kembali oleh Sultan Hamengkubuwono II. Pada masa lalu, ritual tapa bisu dilakukan oleh para prajurit Keraton Yogyakarta. Selain menjadi sebuah tradisi budaya, kegiatan ini juga memiliki tujuan penting, yaitu untuk menjaga keamanan lingkungan sekitar Keraton. Pada saat itu, Keraton belum dilengkapi dengan benteng yang mengelilinginya, sehingga ritual ini berfungsi sebagai upaya untuk mengawasi dan mengamankan wilayah keraton dari ancaman luar.
Rangkaian ritual tapa bisu dimulai dengan lantunan tembang macapat yang dibawakan oleh para Abdi Dalem di Bangsal Srimanganti, Keraton Yogyakarta. Dalam lirik kidung yang terkandung dalam tembang macapat tersebut, terdapat doa dan harapan yang dipanjatkan. Ritual ini berlangsung mulai tengah malam hingga dini hari, dimulai dengan bunyi lonceng Kyai Brajanala yang terletak di regol Keben, yang dibunyikan sebanyak 12 kali. Setelah itu, para Abdi Dalem yang turut serta dalam tirakat akan memulai perjalanan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. Rute perjalanan ritual ini dimulai dari Bangsal Pancaniti, kemudian melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Benteng Kulon, MT Haryono, Pojok Benteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Perjalanan ini dilakukan dengan penuh kesungguhan dan keheningan sebagai bagian dari penghayatan spiritual dalam menyambut malam 1 Suro.
Setiap kelompok dalam ritual tapa bisu diatur sedemikian rupa, sesuai dengan makna dan simbolisme yang terkandung dalam tradisi tersebut. Sebagai contoh, rombongan yang berada di bagian terdepan terdiri dari para Abdi Dalem yang mengenakan pakaian tradisional Jawa tanpa mengenakan keris atau alas kaki. Mereka juga membawa bendera Indonesia serta panji-panji Keraton Yogyakarta. Setiap panji yang dibawa melambangkan para Abdi Dalem yang berasal dari lima kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta. Di belakang para Abdi Dalem, warga masyarakat dan wisatawan turut serta mengikuti rangkaian acara ini. Namun, mereka diwajibkan untuk menjaga kesunyian dan tidak diperkenankan berbicara, makan, minum, ataupun merokok selama ritual berlangsung. Keheningan ini memiliki makna yang dalam, yaitu sebagai simbol evaluasi diri serta perasaan prihatin terhadap segala perbuatan yang telah dilakukan sepanjang tahun sebelumnya. Selain itu, ritual ini juga merupakan bentuk ungkapan rasa syukur atas berkat yang diterima sepanjang tahun.
Tradisi Topo Bisu di Yogyakarta merupakan sebuah contoh yang mencerminkan betapa kuatnya daya tahan budaya lokal dalam menghadapi perkembangan zaman. Ritual ini, yang dilaksanakan pada malam Tahun Baru Islam, tidak hanya sekadar menjadi momen perayaan, tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam sebagai ajang refleksi diri bagi setiap individu. Dalam prosesnya, masyarakat melakukan kontemplasi untuk merenungkan perjalanan hidup, mengevaluasi diri, serta memperbaiki niat dan tekad dalam menghadapi tahun yang baru. Melalui cara ini, Topo Bisu menjadi sebuah tradisi yang tidak hanya menjaga nilai-nilai agama dan budaya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran spiritual yang mendalam di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan dan pelaksanaan ritual ini sangat penting untuk dilestarikan, sebagai bagian dari upaya menjaga identitas budaya lokal yang tidak hanya relevan di masa kini, tetapi juga memiliki potensi untuk terus berkembang dan diteruskan oleh generasi mendatang. Sebagai warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur, Topo Bisu dapat menjadi sarana untuk mempererat rasa kebersamaan, memperdalam pemahaman spiritual, serta menjaga keharmonisan dalam masyarakat.