Tebar Bahagia dengan Cita Rasa

Tebar Bahagia dengan Cita Rasa

Hai! Aku percaya kalau setiap orang punya pengalaman masing-masing. Ragam pengalaman pasti udah dirasain oleh masing-masing individu. Sebagai contoh, pengalaman yang bikin diri kita senyum-senyum sendiri. Atau juga, pengalaman yang bikin ngilu di hati. Tapi, it’s okay dan nggak masalah sama sekali. Justru hal itu yang membuat hidup kita berwarna dan memorable.

Sudah genap tiga bulan, kegiatan kelas tata bogaku selesai. Kelas itu berjalan sebelum semester awal kuliah dimulai. Sebetulnya, banyak banget kenangan yang bener-bener aku inget. Walau kelas cuma berjalan sekitar tiga minggu, tapi itu cukup buatku untuk ngejalanin hobi yang sulit dijalanin. Kenapa sulit? Karena, baking itu perlu waktu setidaknya tiga jam dalam pembuatan satu resep. Dari waktu tiga jam itu, yang paling lama menurutku ialah ketika fermentasi. Alasannya, tahapan fermentasi itu sejatinya adalah mendiamkan adonan. Jadi, saat itu rasanya pasti suntuk dan kelihatan lama. Waktu bikin bakery, secara umum ada tiga tahapan fermentasi. Fermentasi pertama namanya bulk fermentation dengan waktu 15 menit, yang kedua mid fermentation dengan waktu 10 menit, lanjut fermentasi akhir namanya final proofing dengan waktu 45 sampai 60 menit. Biarpun berbeda tahapan, tetapi intinya itu sama. Yaitu, sama-sama membiarkan adonan supaya mengembang sempurna.

Tapi, di sini aku bukan mau cerita tentang cara bikin bakery atau pastry. Aku mau cerita perihal, pengalamanku di kelas tata boga yang satu kelasnya itu berjenis kelamin perempuan. For your information, Kelasku didominasi oleh ibu-ibu yang sudah berumah tangga. Ada juga yang lagi hamil 4 bulan. Tentunya, aku masih lelaki dan jadi satu-satunya peserta lelaki di kelasku. Ada banyak hal yang lucu dan ngeselin juga bagi aku.

Waktu awal masuk kelas, memang aku ngerasa agak canggung. Tapi bagi aku, itu hal yang wajar. Aku yang biasanya satu kelas sama teman-teman yang sebaya, kali ini aku dikasih kesempatan satu kelas sama orang yang sebaya. Iya bener, sebaya kalau disamakan sama orang tuaku hahaha.

Tau nggak sih? Ternyata seru banget satu kelas sama yang anaknya udah dua, bahkan tiga! Aku dikasih ilmu yang banyak banget tentang kehidupan. Contohnya, tentang berkeluarga yang baik itu gimana, cari jodoh itu bibit bebet bobotnya harus tau, sampai aku juga di curhatin tentang anak-anak mereka yang bandel. Ada juga hal yang paling utama dan nggak akan terlewatkan, pasti ada peristiwa gibah di situ. Entah itu yang gibah rekan sekelas, gibah guru yang bikin kurang nyaman, juga berani banget gibah suami orang. Apakah, ibu-ibu Indonesia emang modelnya seperti itu ya? Hahaha. Kami ngobrolin banyak hal itu bukan cuma waktu istirahat aja loh! Lagi ngulenin kami cerita, lagi tahap fermentasi kami cerita, lagi ngebentuk adonan kami cerita, bahkan sampai ke proses pemanggangan sama pengemasan masih cerita juga.

Waktu itu ada serial drama Korea yang terkenal, judulnya itu High School Return of a Gangster. Kami sama-sama nonton drama itu. Kami juga berbagi cerita di kelas lewat sudut pandang masing-masing dari kami. Bahkan, ayahku juga sangat berminat menonton drama korea itu. Pokoknya, semua di ceritain deh!

Beberapa pengalaman seru udah aku ceritain, sekarang aku bakal cerita pengalaman yang kurang menyenangkan. Jadi, saat itu guru yang biasa ngajar kami, lagi dinas ke luar kota. Tepat ketika hari uji coba untuk ujian sertifikasi keahlian. Hari itu, kami didampingi oleh guru yang seharusnya sudah pensiun. Aku menyamarkan nama beliau, panggil aja Bu Lani. Bu Lani seharusnya udah nikmatin masa pensiun, tapi beliau berkenan buat membantu jadi guru dan mengajar kelas tata boga yang lain.

Pagi hari dengan wajah yang masih keliatan segar, kami lagi menimbang bahan-bahan untuk membuat adonan. Guru wanita itu tiba di kelas dan langsung marah-marah. Pas banget, di situ aku lagi menimbang dan akhirnya aku kena marah. Dalihnya, kalau menimbang bahan itu tiap bahan harus satu wadah saja. Tetapi, kami udah biasa nimbang semua bahan langsung di satu wadah. Guru kami yang biasa nggak mempermasalahkan hal itu. Justru, bisa lebih efisien kalau seperti itu.

Selain perihal menimbang, Bu Lani juga marah perihal resep. Beliau berkata, resep nya itu harus sama kayak yang beliau dalami. Aku sama yang lain pun bingung dan sedikit marah. Karena resep yang beliau kasih ke kami itu cukup aneh dan boros bahan. Bahkan, resep yang dari asesor atau penguji ujian sertifikasi kami pun nggak seribet milik beliau. Karena resep beliau ribet, alhasil hampir semua roti kami jadi sulit untuk kalis. Dari situ, aku dan teman-teman yang lain udah berfirasat kurang baik mengenai hasil akhirnya. Tapi, cerita soal hasilnya, kita lewati saja dulu.

Ada kejadian yang benar-benar bikin naik darah. Yaitu, saat sebelum proses pemanggangan. Kami sudah diberitahukan kalau ujian sertifikasi itu harus pakai oven kompor. Tetapi, Bu Lani dengan percaya dirinya mengharuskan menggunakan oven gas. Bu Lani bilang kalau ia bakal mendampingi saat pakai oven gas. Saat adonan masuk ke oven gas, Bu Lani membesarkan api oven yang atas dan mematikan api oven yang bawah. Setelah itu, Bu Lani ijin dengan alasan pergi ke ruang guru. Nah, dari situ amarah memuncak. Waktu dicek di oven, bakery milik Bu Lulu dan Bu Sinta gosong. Padahal, baru 7 menit berlalu. Bu Sinta dan Bu Lulu langsung marah-marah dan kecewa berat. Marah dan kecewa itu nggak berhenti untuk diluapkan sampai bakery kami semua matang. Selang beberapa saat, Bu Lani pun datang dengan wadah besar dan meminta sebagian besar hasil roti kami. Dari situ emosi kami makin menjadi-jadi. Tetapi, kami tetap menyerahkan sebagian besar roti milik kami. Toh, di samping roti Bu Sinta dan Bu Lulu gosong, roti kami juga entah kenapa enggak lembut, keras, bahkan mengembang pun tidak. Kami merasa, kemungkinan karena Bu Lani memang sengaja membuat kami gagal dalam ujian. Kami bisa berasumsi begitu, karena beliau benar-benar mengganggu proses yang sudah biasa kami lakukan dan beliau justru memerintahkan menggunakan oven gas. Padahal, perintah asesor harus menggunakan oven kompor. Sungguh kejadian yang nggak akan pernah dilupakan.

Terkadang, emang hidup itu nggak selalu seru. Pasti ada momen yang bikin diri sendiri kecewa. Justru, hal itu yang bikin hidup jadi lebih variatif. Toh, jadi banyak yang bisa kita ceritain ke teman-teman, keluarga, atau bahkan anak-anak kita kelak.

Dari cerita ini juga, aku mau berbagi perasaan bahagia ketika keluargaku mencicipi bakery atau pastry yang aku buat di kelas. Mereka merasa bahagia dengan yang aku buat. Walau nggak seberapa dan masih perlu banyak latihan, tapi mereka senang. Karena, yang mereka pikirkan itu bukan rasa makanan secara makna yang sebenarnya. Tapi, yang mereka rasakan itu perasaan kebahagiaan yang tersampaikan melalui roti yang ku bawa, karena aku benar-benar bahagia waktu belajar dan membuat bakery dan pastry itu. Melihat raut wajah mereka yang senang, aku juga turut senang. Tidak ada bagian yang lebih membahagiakan selain membuat bahagia orang-orang yang kita sayang.

Teruntuk teman-teman yang belum bisa ambil kesempatan karena bimbang, tolong resapi dahulu. Contohnya, aku juga nggak tahu akan ada pembukaan kelas tata boga. Sampai saat tahap pendaftaran, aku coba buat daftar. Akhirnya, aku berhasil lolos dan bisa belajar bareng orang-orang yang hidupnya jauh lebih berpengalaman daripada aku, yang baru aja lulus sekolah. Dari situ, pesanku saat ada kesempatan di depan mata, segera ambil! Kesempatan itu ada yang hadir dengan sendirinya, ada juga yang hadir karena sengaja dihadirkan. Tentu, kalau sengaja dihadirkan pasti perlu usaha yang lebih besar agar bisa mengambil kesempatan itu.

Itu aja dari aku, terima kasih udah membaca sampai selesai! Aku minta maaf kalau ada kalimat yang kurang baik. Tentunya, itu tidak disengaja. Sekian, semoga hari-hari kalian menyenangkan!

1 Like