Tautologi. Ini kesalahan berbahasa atau bukan?

"Hari ini PERSIS Solo ada tanding lho, nonton yuk! "

Ada yang pernah mendengar kalimat di atas? Kira-kira ada yang aneh atau tidak dari kalimat itu? Sebenarnya jika dibilang aneh saya rasa juga tidak pantas, karena memang kebanyakan pengucapan nama klub sepak bola disertai dengan nama kotanya. Namun, coba dicermati lagi arti dari nama PERSIS itu sendiri, Persatuan Sepak Bola Indonesia Surakarta. Nah, sudah sadar belum jika kalimat tadi sama saja mengulang penyebutan nama kota? Pengulangan kata seperti ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik itu ketika menyebutkan nama, tempat, ataupun benda. Apakah hal ini diperbolehkan? Adakah aturan mengenai hal ini? Untuk jawabannya, mari simak sampai selesai.

Perlu diketahui bahwa di dalam ilmu bahasa, pengulangan kata atau frasa dalam sebuah kalimat memiliki istilah sendiri yakni tautologi. J.D Parera dalam bukunya yang berjudul Teori Semantik (2004), mengungkapkan bahwa tautologi digunakan untuk merumuskan kembali suatu kata atau konsep dengan mengulang kata atau konsep yang maknanya telah dimiliki oleh kata yang akan disampaikan. Itu berarti, kita menggunakan kata yang sama atau kata yang bersinonim dalam suatu kalimat. Penggunaan tautologi dalam kalimat bisa dikatakan merupakan pemborosan kata. Kok bisa? Tentu saja! Jika di dalam kalimat ada dua atau lebih kata yang bermakna sama maka akan dinilai tidak efektif dan boros bukan? Akan tidak enak didengar jika mengucapkan kata wajah dan muka yang jelas-jelas memiliki makna yang sama dalam satu kalimat.

Lalu, apakah pengucapan nama kota setelah nama klub sepak bola seperti Persis Solo, Persib Bandung, Persija Jakarta dan sebagainya itu juga salah? Eits, jangan langsung menyimpulkan, ya. Pengulangan kata atau frasa yang dimaksud di sini adalah ketika digunakan dalam suatu kalimat yang diucapkan maupun dituliskan. Jika pengulangan terjadi pada suatu nama, kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa itu salah, apa lagi jika sudah disetujui dan disepakati bersama.

Suatu kalimat disebut memiliki fenomena tautologi jika kata atau frasa di dalamnya ada bentuk pengulangan dengan arti yang sama atau dengan kata lain menggunakan sinonim. Tautologi ini sering kita temui di mana saja pastinya. Bahkan, bisa saja kita mengucapkan kalimat tersebut secara tidak sengaja. Contohnya gimana tuh? Nah, coba perhatikan kalimat dibawah ini:

"Tau nggak sih, cowok yang aku lihat di depan masjid tadi amat sangat tampan! "

Pernah dengar kalimat seperti itu? Atau kalian sendiri pernah mengatakannya? Kalau pernah, mending diperbaiki lagi kalimatnya karena amat dan sangat memiliki arti yang sama. Menggunakan dua kata tersebut di dalam satu kalimat akan menyebabkan pemborosan kata. Agar kalimat menjadi efektif, cukup gunakan amat tampan atau sangat tampan saja tidak perlu dua-duanya.

Yah, kalimat saya juga bersifat tautologis ternyata, coba tebak kata yang mana! Jika pengulangan kata atau frasa terjadi pada kalimat aktif dan menggunakan bahasa umum, maka bisa dikatakan sebagai kesalahan berbahasa. Kesalahan berbahasa ini bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari ketika saling berbincang maupun dalam menulis. Penulisan jurnal, artikel dan sebagainya lebih baik menghindari pengulangan kata-kata yang bermakna sama agar pembaca bisa menangkap maksud dari kalimat dengan baik. Beda lagi jika digunakan untuk kepentingan karya sastra.

Dalam bahasa satra, ada bentuk gaya bahasa berupa pengulangan kata atau frasa yang disebut dengan majas pleonasme yang merupakan nama lain dari tautologi. Biasanya bermaksud untuk menegaskan dan membuat kalimat menjadi lebih indah dan menyentuh. Menurut Suprapto (1991:85), tautologi adalah bentuk majas perulangan yang dilukiskan dengan mengulang-ulang kata dalam kalimat. Bisa dikatakan bahwa di dunia sastra, tautologi menjadi sarana retorika untuk menyatakan sesuatu dengan berulang menggunakan kata atau frasa yang bermakna sama agar terkesan lebih tegas dan dalam. Contohnya dapat kita lihat pada cuplikan sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini:

kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

Frasa kita saksikan diulang dua kali untuk memberi makna lebih dalam. Begitu pula frasa sejak lama yang diulang untuk memberi penegasan. Nah, bisa dipahami kan makna dan contoh dari fenomena tautologi? Intinya, fenomena tautologi dalam bahasa umum lebih baik dihindari agar tidak terjadi pemborosan kata, dan sebaliknya boleh saja dipakai dalam bahasa sastra asalkan tidak menyimpang. Sebagai seorang pelajar sastra, kita harus bisa memahami dan membedakan setiap penggunaan gaya bahasa. Untuk itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali bahasa baik dari segi makna, struktur maupun penggunaannya. Semoga yang sedikit ini bisa menambah pengetahuan kalian ya!

Sumber Referensi:

Anwar, S. (2019). TAUTOLOGI DALAM ANTOLOGI CERITA PENDEK BIAS WARNA KEHIDUPAN KARYA RENDI SETIAWAN DKK DAN IMPLIKASINYA. Sasando: Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Pancasakti Tegal, 2(1), 153-160.

Parera. J. D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Damono. S. D. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Penerbit Grasindo