Tantangan dan Kesempatan: Lika-Liku Calon Guru Gen Z


Sebagai seorang calon guru Gen Z, praktik mengajar di sekolah merupakan perpaduan unik antara tantangan dan kesempatan. Ini bukan hanya tentang bagaimana mengajar peserta didik, tetapi juga tentang bagaimana menyeimbangkan ekspektasi, memahami karakter peserta didik, memanfaatkan teknologi secara efektif, serta beradaptasi dengan berbagai dinamika yang ada di ruang kelas.

MAN Kota Magelang, saya pilih karena mempunyai jarak yang cukup dekat dari indekos dibanding sekolah-sekolah residu lainnya. Ya, benar, pilihan saya madrasah, yang mempunyai kultur keagamaan lebih melekat dan enam hari kerja. menangis kau, dekkkk. Tidak apa-apa, nyatanya saya bisa menuntaskannya.

Ditakdirkan tumbuh dan berkembang bersama ibu Lilik Nur Arifah—guru pamong. Waktu itu, pikiran pendek tentang guru pamong yang menegangkan dan menakutkan memburu. Nyatanya, beliau adalah pamong terasik, terhebat, dan terbijaksana. maaf dan terima kasih ya, bu <3 sayang bu lilik banyak-banyak hehe^^

Ibu Lilik mengampu kelas yang termasyhur dengan stereotipe tentang “kenakalan”, meskipun sebenarnya tidak semua anggapan tersebut akurat atau adil. Layaknya warga XI IPS 3 dan 4, kelas yang diamanahi untuk saya ampu beberapa bulan ke depan. Mereka mempunyai keunikannya masing-masing. Pendekatan yang saya gunakan pun akan sedikit berbeda diantara keduanya. Jika XI IPS 4 lebih dominan laki-laki dibanding perempuan, maka XI IPS 3 sebaliknya. Pada situasi seperti itu, saya mencoba bersikap adil dan tidak berat sebelah dalam memperlakukannya.

Ketika pertama kali saya melangkahkan kaki ke ruang kelas sebagai pengajar, ada perasaan antusias, gugup, dan sedikit ketidakpastian tentang apa yang akan saya hadapi di lapangan. Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di era teknologi, saya merasa memiliki pendekatan dan perspektif yang berbeda terhadap pendidikan. Namun, saya juga sadar bahwa praktik mengajar di dunia nyata bisa sangat berbeda dari teori yang saya pelajari di bangku kuliah. Terkadang saya menyadari bahwa mengajar bukan hanya tentang menyampaikan materi, melainkan tentang membangun hubungan, memahami kebutuhan peserta didik, dan menciptakan suasana belajar yang mendukung.

Namun, tantangan terbesar justru terletak pada kenyataan bahwa para peserta didik ini tumbuh di dunia yang penuh distraksi. Gawai selalu ada di tangan mereka, dan media sosial kerap menjadi pengalih perhatian yang sulit dihindari. Sebagai calon guru Gen Z, saya paham betul bagaimana rasanya tergoda oleh notifikasi di ponsel. Oleh karena itu, saya mencoba mencari cara agar teknologi ini justru menjadi alat bantu, bukan penghalang. Salah satu strategi yang saya terapkan adalah dengan menggunakan platform digital dalam proses pembelajaran. Alih-alih melarang penggunaan gadget, saya memilih untuk mengintegrasikannya ke dalam aktivitas belajar. Misalnya, saat membahas topik tertentu, saya mendorong peserta didik untuk mencari informasi tambahan melalui internet dan mendiskusikannya bersama. Mereka juga dapat membuat presentasi interaktif menggunakan aplikasi yang mereka sukai. Ini membuat mereka merasa lebih terlibat, dan pembelajaran pun menjadi lebih relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Di sinilah saya belajar tentang pentingnya fleksibilitas dalam mengajar. Setiap hari, saya harus menyesuaikan gaya mengajar dengan suasana kelas. Ada kalanya saya harus lebih tegas ketika suasana kelas mulai gaduh, namun di lain waktu saya harus lebih sabar ketika menghadapi peserta didik yang membutuhkan perhatian lebih. Saya belajar bahwa menjadi guru berarti harus mampu membaca situasi dan beradaptasi dengan cepat.

Selain belajar mengenai pengondisian kelas, saya juga belajar tentang pembiasaan positif, seperti 3S (Senyum, Salam, Sapa) yang dilakukan setiap pagi oleh guru untuk menyambut peserta didik; kamis mengaji di mana peserta didik menyetorkan hafalan Al-Qur’an kepada wali kelas; dan keputrian yang diperuntukkan untuk peserta didik perempuan yang sedang berhalangan (menstruasi) dengan membaca asmaul husna dan sholawat secara bersama-sama.

Tidak hanya pembelajaran dalam kelas, mahasiswa PLP II di MAN Kota Magelang juga membantu guru dalam kegiatan administrasi, seperti bertanggung jawab penuh untuk melengkapi jurnal kelas dan lembar kehadiran setiap kali masuk kelas. Selain itu, dapat juga membantu tugas guru yang berhalangan hadir dengan memberi materi atau mengawas/menunggu kelas dengan bimbingan guru pengampu mata pelajaran. Dua minggu sebelum berakhirnya praktik mengajar untuk mahasiswa PBSI, seluruh warga madrasah mempersiapkan menyambut ulangan tengah semester. Selama delapan hari masa UTS, saya turut mengawas/menjaga kelas bersama guru pamong secara bergantian dengan teman lainnya. Selanjutnya, saya juga melakukan pendampingan peserta didik yang kesulitan untuk log in atau masuk ke situs daring madrasah. fyi MAN Kota Magelang sudah sepenuhnya menggunakan internet untuk mengakses soal ulangan tersebut. Kemudian, empat hari setelahnya diadakan classmeet untuk memulihkan semangat seluruh warga madrasah—termasuk guru.

MAN Kota Magelang sudah sepenuhnya menerapkan Kurikulum Merdeka sebagai upaya meningkatkan kualitas pembelajaran. Kurikulum ini memberikan kebebasan bagi guru dan peserta didik untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. Fokus utama kurikulum ini adalah pengembangan kompetensi dasar seperti kreativitas, kolaborasi, berpikir kritis, dan komunikasi. Kurikulum Merdeka juga memberikan fleksibilitas dalam pengaturan waktu pembelajaran, mendukung pengembangan karakter dan kemandirian peserta didik. Dengan ini, MAN Kota Magelang siap mencetak generasi yang unggul secara akademik dan siap menghadapi tantangan global.

Dalam Kurikulum Merdeka, Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin (P5-PPRA) merupakan program pendidikan yang bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan Rahmatan Lil Alamin di kalangan pelajar. Oleh karena itu, pada minggu berikutnya—setelah masa PLP II PBSI usai, diadakan kegiatan P5-PPRA selama satu minggu penuh dengan puncaknya di hari Sabtu. Berbagai kreativitas kelas dipamerkan dengan tema yang beragam dan menarik. Untuk kelas XII mendemonstrasikan pentas seni dengan tema suara demokrasi.

Berbagai kegiatan akademik dan non-akademik ditawarkan untuk menjadi wadah pengembangan minat dan potensi peserta didik. Seperti Kelas Khusus Olahraga (KKO) diperuntukkan peserta didik dengan potensi olahraga yang mumpuni. Selain itu, terdapat juga Kelas Khusus Akademik (KKA) yang diperuntukkan peserta didik dengan potensi sains dan akademik yang mumpuni pula.

Jutaan pengalaman dan tantangan di kelas juga turut andil dalam perjalanan praktik mengajar ini. Interaksi dengan guru-guru, staf, ibu kantin, pak bon, pak satpam, dan seluruh warga madrasah menjadi pengalaman berkesan dan tips berharga mengenai bagaimana menghadapi situasi sulit, seperti menangani peserta didik yang bermasalah atau mengelola waktu saat tugas-tugas menumpuk.

Akhirnya, menjadi calon guru Gen Z adalah tentang menemukan keseimbangan antara teknologi dan sentuhan manusiawi. Saya belajar bahwa peserta didik tidak hanya butuh ilmu pengetahuan, tetapi juga butuh bimbingan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Saya merasa beruntung bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka, dan saya berharap bisa terus tumbuh bersama mereka, menjadi pendidik yang relevan di era modern ini.

Terima kasih untuk seluruh pihak yang sudah terlibat—termasuk pak Arif, selaku dosen pembimbing lapangan, yang senantiasa sabar mendengar keluh kesah kami selama praktik ini hehe^^ semoga kami tetap berada di jalannya dan menjadi pendidik yang mumpuni aamiin :innocent:

—Annisa Restu Rimawati, 2024