Sudut Pandang Michael Riffaterre dalam Memahami dan Memaknai Puisi

Berbicara mengenai semiotik, kita tidak akan terlepas dari yang namanya tanda. Kaitannya dengan sastra, semiotik merupakan ilmu yang mencoba menemukan dengan sungguh-sungguh konvensi-konvensi yang memungkinkan adanya tanda (Teeuw, 1984:143). Puisi sebagai salah satu karya sastra merupakan obyek yang dapat dipahami dan dimaknai menggunakan ilmu semiotik. Riffaterre (1978) menyatakan bahwa pemakaian bahasa dalam puisi berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Oleh sebab itu, Riffaterre mengenalkan sebuah metode khusus untuk memaknai puisi atau sajak. Metode tersebut yang dikenal dengan semiotik Riffaterre. Salah satu buku yang ditulis Riffaterre adalah Semiotics of Poetry, dalam buku tersebut dikemukakan empat pokok yang harus diperhatikan untuk memproduksi makna. Empat pokok tersebut antara lain (1) Ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi; (2) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik; (3) Matriks, model, dan varian; dan (4) hipogram (hubungan intertekstual).

Ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi, salah satu yang menjadi ciri khas puisi adalah konsep-konsep dan benda-benda diekspresikan secara tidak langsung. Hal ini disebabkan oleh pergeseran makna (displacing of meaning), penyimpangan atau perusakan makna (distorsing of meaning), dan penciptaan makna (creating of meaning). Pergeseran makna dalam puisi disebabkan oleh metafora dan metonimi. Sementara itu, perusakan makna disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Sedangkan penciptaan makna disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, yaitu enjambemen, sajak, tipografi, dan homolog.

Kedua, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik didasarkan pada sistem dan konvensi bahasa (Ratih, 2017). Pembacaan ini disesuaikan dengan tata bahasaa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik yang akan menghasilkan makna-makna yang bersifat heterogen. Setelah melalui pembacaan heuristik, selanjutnya adalah pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Pembaca pada tahap ini harus memaparkan makna sebuah karya sastra didasarkan pada interpretasi yang pertama. Pembaca juga harus dapat memperoleh kesatuan makna.

Ketiga, proses memproduksi makna harus memperhatikan matriks, model, dan varian. Salam (2009) mengemukakan bahwa matriks dalam analisis puisi diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana. Matriks tidak muncul di dalam teks karena merupakan konsep abstrak yang tidak teraktualisasi. Matriks ini dapat berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat sederhana. Matriks kemudian pertama kali diaktualisasikan menjadi model yang dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Model ini selanjutnya diperluas menjadi varian-varian yang akan menurunkan teks secara keseluruhan. Sifat puitis dalam puisi menjadi ciri utama model (Ratih, 2017).

Hal terakhir yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai puisi adalah hipogram (hubungan intertekstual). Hipogram merupakan teks yang menjadi landasan diciptakannya sebuah teks baru (sajak). Hipogram dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah atau alam, dan kehidupan yang dialami oleh sastrawan atau pengarang (Faruk, 2012). Hipogram sendiri dapat dipatuhi dan tidak menutup kemungkinan juga dapat diabaikan oleh pengarang. Riffaterre (1978) membagi hipogram menjadi dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial tidak tertuang secara eksplisit dalam sebuah teks, melainkan diabstraksikan dari sebuah teks. Hipogram potensial dapat juga dikatakan sebagai inti teks atau kata kunci, misal kata, frasa, atau kalimat sederhana. Sementara itu, hipogram aktual dapat berupa teks nyata, berupa kata, kalimat, peribahasa maupun keseluruhan teks. Hipogram inilah yang menjadi latar penciptaan teks baru. Hipogram aktual terwujud dalam teks-teks yang ada sebelumnya, baik berupa mitos maupun karya sastra lainnya.

Berdasarakan ulasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam memahami dan memaknai sebuah puisi dibutuhkan langkah-langkah yang kompleks. Pembaca dalam mencari makna sebuah puisi harus memperhatikan empat pokok, yaitu (1) Ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi; (2) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik; (3) Matriks, model, dan varian; dan (4) hipogram (hubungan intertekstual). Keempat pokok ini akan membantu pembaca dalam memahami makna yang terkandung di dalam sebuah karya sastra, khususnya puisi.

Referensi:
Faruk. (2012). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratih, R. (2017). Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre, M. (1978). Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

Teuww, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

2 Likes