Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 1 Ayat 1, menjelaskan bahwa pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik, dan segala saluran yang tersedia.
Pada dasarnya, suatu pers diperbolehkan membentuk perusahaan pers. Hal ini selaras juga dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 9 Ayat 1 dan 2, yang menyatakan bahwa “setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers dan setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia”. Perusahaan pers sendiri adalah suatu badan yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Namun, jika dikaitkan dengan pendirian perusahaan pers yang berbentuk monolistik maka akan timbul perspektif yang berbeda. Dalam hal ini, pengertian monolistik dapat disamakan dengan monopoli. Dalam pers, monopoli berkaitan dengan pemusatan kepemilikan media. Saya kurang setuju apabila suatu perusahaan pers didominasi oleh suatu kelompok tertentu (berbentuk monopoli) apalagi mengacu pada tujuan lain yang berujung mengabaikan kepentingan masyarakat demi keuntungan golongan. Selain itu, media massa hendaknya mempertimbangkan Teori Normatif yang meliputi kebebasan media, pluralitas dan kepemilikan, perbedaan saluran dan bentuk, serta memenuhi kewajiban internasional (Karman,2014:70-71). Praktik monopoli dalam pers jelas tidak sesuai dengan teori tersebut, yaitu pluralitas dan kepemilikan.
Kesimpulannya, saya setuju dengan pernyataan “ketika pers mulai bertindak sebagai perusahaan dan berbentuk monolistik saat itulah ia mulai bungkam” yang ditulis dalam buku berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001). Pernyataan ini secara tersirat merepresentasikan bahwa pemusatan kepemilikan media (monolistik) hanya akan menghambat kinerja pers untuk memberikan informasi yang transparan, aktual, dan terpercaya kepada masyarakat. Pers seolah-olah dibungkam oleh adanya kekuasaan, sehingga ia tidak bisa menyampaikan kebenaran yang didasarkan atas fakta. Monopoli media justru dapat membahayakan hak warga negara atas informasi karena industri media sudah berorientasi keuntungan dan perusahaan media telah mewakili gambaran bisnis yang menguntungkan yang dapat dibentuk oleh kepentingan pemilik (Yasir, 2017). Misalnya, dalam permasalahan politik, perusahaan pers yang berbentuk monopoli bisa saja menyajikan berita yang memihak salah satu golongan politik yang mempunyai andil dalam media sehingga merugikan pihak lain. Tanpa disadari hal ini juga dapat menyalahi sembilan elemen jurnalistik yaitu bersikap loyalitas dan independen serta dapat menurunkan citra baik pers di mata masyarakat Indonesia.
Sumber Referensi:
Karman. (2014). Monopoli Kepemilikan Media & Lenyapnya Hak Publik. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi , 5(1), 69–84.
Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Jakarta: Pantau.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Yasir. (2017). Konglomerasi Media dan Kepentingan Politik Pemilik. Repository Univeristas Riau. Konglomerasi Media Dan Kepentingan Politik Pemilik