Setujukah kamu dengan pernyataan "ketika pers mulai bertindak sebagai perusahaan dan berbentuk monolistik, saat itulah ia mulai bungkam?"

image

Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik, itulah judul buku yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001). Namun tulisan ini tak bermaksud memberikan ulasan mengenai buku ini. Justru ada satu hal menarik --banyak hal menarik lainnya pastinya-- dalam buku ini, yakni pernyataan "Ketika pers mulai bertindak sebagai perusahaan dan berbentuk monolistik, saat itulah ia mulai bungkam (Kovach dan Tom Rosenstiel, 2001).”

Setujukah kamu dengan pernyataan tersebut?

3 Likes

Memang tidak semua seperti itu. Namun pada umumnya, ya seperti itu. Jadinya, ya setuju.

Sebelum saya menjawab tentang pertanyaan tersebut ada perlunya saya jelaskan terlebih dahulu tentang “monolistik” di mana dalam hal tersebut dikaitkan dengan pers. Monolistik berdasarkan literatur yang saya baca mempunyai pemahaman dengan monopoli, dalam artikel yang saya ketahui juga, pemahaman tentang monolistik di dalam dunia pers yakni terjadinya sebuah konsentrasi kepemilikan media massa oleh segelintir konglomerat, sehingga para pemilik media ini atau konglomerat mampu mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalam perusahaan media dan nonmedia (Karman, 2014).

Tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap independensi sebuah media pers. Namun dalam bukunya berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel juga menjelaskan secara tersirat bahwasannya sebuah media pers boleh saja membentuk sebuah perusahaan tetapi perlu digaris bawahi perusahaan media tersebut harus mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan mementingkan bisnisnya sendiri (Kovach &Tom Rosenstiel, 2001).

Sehingga perusahaan lebih menguntungkan jika mementingkan publik. Namun, dalam tulisan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dijelaskan juga bahwasannya keuntungan yang didapatkan pada perusahaan media dengan pemasangan iklan yang berkenaan dengan kepentingan sebuah kelompok atau kepentingan politik akan mengingkari prinsip loyalitas redaktur atau media pers, kemudian hal yang ditakutkan adalah loyalitas perusahaan media kepada kepentingan masyarakat menjadi bergeser karena mereka (media pers) mendapat bonus yang lebih dari iklan atau hal lainnya yang menguntungkan bagi perusahaan tersebut (Kovach &Tom Rosenstiel, 2001).

Tetapi dalam permasalahan ini pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana ketika pers bertindak sebagai perusahaan dan berbentuk monolistik? Seperti yang saya jelaskan tadi tentang pemahaman monolostik, tentunya jika sebuah media pers atau media jurnalistik sudah dimasuki dengan hal-hal monopoli serta lebih mementingkan perusahaan media pers sendiri dibandingkan kepentingan masyarakat tentunya disaat itulah media pers mulai terbungkam dengan sendirinya.

Seperti halnya jika pemilik sebuah perusahaan media pers seorang tokoh politik, akan ada waktunya media pers itu memberikan sebuah pemberitaan atau pembahasan yang condong ke dunia perpolitikan sesuai dengan pemilik atau pimpinan media pers tersebut. tentunya hal ini dikarenakan monolistik dalam dunia pers memiliki pengaruh untuk mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalam perusahaan media dan nonmedia.

Perusahaan media pers yang berprinsip monolistik akan mempunyai konsekuensi di dalam pemberitaannya di mana topik pemberitaan yang disampaikan lebih mengarah pada tuntutan popularitas, infotainment, dan hiburan semata. Sehingga audiens hanya sebagai konsumen bukan lagi sebagai citizen

Maka dapat saya simpulkan dari pertanyaan tersebut adalah setuju apabila sebuah media pers berbentuk perusahaan dan monolistik sudah terbungkam dan hanya mementingkan perusahaan media pers saja tanpa mementingkan kebutuhan masyarakat.

Tetapi saya tidak setuju apabila media pers tidak diperbolehkan untuk menjadi sebuah perusahaan, yang terpenting dalam perusahaan media pers tersebut adalah masih mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan mementingkan bisnisnya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Karman. (2014). MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA & LENYAPNYA HAK PUBLIK. Jurnal Masyarakat Telematika Dan Informasi, 5(1), 69–84. https://media.neliti.com/media/publications/233799-monopoli-kepemilikan-media-lenyapnya-hak-950f992e.pdf

Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Jakarta: Pantau

1 Like

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 1 Ayat 1, menjelaskan bahwa pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik, dan segala saluran yang tersedia.

Pada dasarnya, suatu pers diperbolehkan membentuk perusahaan pers. Hal ini selaras juga dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 9 Ayat 1 dan 2, yang menyatakan bahwa “setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers dan setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia”. Perusahaan pers sendiri adalah suatu badan yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

Namun, jika dikaitkan dengan pendirian perusahaan pers yang berbentuk monolistik maka akan timbul perspektif yang berbeda. Dalam hal ini, pengertian monolistik dapat disamakan dengan monopoli. Dalam pers, monopoli berkaitan dengan pemusatan kepemilikan media. Saya kurang setuju apabila suatu perusahaan pers didominasi oleh suatu kelompok tertentu (berbentuk monopoli) apalagi mengacu pada tujuan lain yang berujung mengabaikan kepentingan masyarakat demi keuntungan golongan. Selain itu, media massa hendaknya mempertimbangkan Teori Normatif yang meliputi kebebasan media, pluralitas dan kepemilikan, perbedaan saluran dan bentuk, serta memenuhi kewajiban internasional (Karman,2014:70-71). Praktik monopoli dalam pers jelas tidak sesuai dengan teori tersebut, yaitu pluralitas dan kepemilikan.

Kesimpulannya, saya setuju dengan pernyataan “ketika pers mulai bertindak sebagai perusahaan dan berbentuk monolistik saat itulah ia mulai bungkam” yang ditulis dalam buku berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001). Pernyataan ini secara tersirat merepresentasikan bahwa pemusatan kepemilikan media (monolistik) hanya akan menghambat kinerja pers untuk memberikan informasi yang transparan, aktual, dan terpercaya kepada masyarakat. Pers seolah-olah dibungkam oleh adanya kekuasaan, sehingga ia tidak bisa menyampaikan kebenaran yang didasarkan atas fakta. Monopoli media justru dapat membahayakan hak warga negara atas informasi karena industri media sudah berorientasi keuntungan dan perusahaan media telah mewakili gambaran bisnis yang menguntungkan yang dapat dibentuk oleh kepentingan pemilik (Yasir, 2017). Misalnya, dalam permasalahan politik, perusahaan pers yang berbentuk monopoli bisa saja menyajikan berita yang memihak salah satu golongan politik yang mempunyai andil dalam media sehingga merugikan pihak lain. Tanpa disadari hal ini juga dapat menyalahi sembilan elemen jurnalistik yaitu bersikap loyalitas dan independen serta dapat menurunkan citra baik pers di mata masyarakat Indonesia.

Sumber Referensi:

Karman. (2014). Monopoli Kepemilikan Media & Lenyapnya Hak Publik. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi , 5(1), 69–84.

Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Jakarta: Pantau.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Yasir. (2017). Konglomerasi Media dan Kepentingan Politik Pemilik. Repository Univeristas Riau. Konglomerasi Media Dan Kepentingan Politik Pemilik

1 Like