Boko cerita yang sarat akan pemberontakan terhadap adat istiadat di daerah Minangkabau mengenai perihal perkawinan yang dianggap aib karena menikah dengan orang yang tidak sedaerah atau sekampung. Cerita ini dibawakan oleh seorang sastrawan yang berasal dari Sumatra barat yakni Darman Moenir. Boko menjadi karya pertama Beliau yang terbit di ibu kota serta menjadi novel pertama yang berhasil lolos pada sayembara penulis roman dewan kesenian Jakarta tahun1980.
Berbicara menganai karya sastra dan pengarang tentunya berbicara pula akan proses atau perjalanan bersastra yang dilalui oleh pengarang tersendiri. Proses kreatif adalah runtutan kegiatan yang dilalui seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Seorang pengarang tidak mungkin bisa membuat karya baik itu puisi, prosa atau cerpen tanpa melalui tahapan proses penciptaan seperti menggumpulkan ide, pengembangan dan penyempurnaan ide.
Proses Kreatif
Proses kreatif adalah sebuah proses yang dilalui sorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Wellek dan waren (dalam siswanto, 2008; 25) mengungkapkan bahwa proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Setiap pengarang akan melalui proses kreatif yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menurut Koentjaraningrat (dalam Siswanto, 2008:25-26) hadir karena ada dorongan naluriah yang dialami oleh setiap pengarang. Dorongandorongan tersebut dibagi dalam tujuh bagian yaitu: (1) untuk mempertahankan hidup, (2) seksual, (3) untuk mencari makan, (4) untuk bergaul atau berinteraksi sesama manusia, (5) untuk meniru tingkah laku manusia, (6) untuk berbakti, dan (7) terpesona akan keindahan.
Perihal unik
Darman monier menceritakan bahwa ketertarikan beliau dalam mengagumi tulisan bacaan dan seni itu dimulai saat beliau masih berumur lima tahun, Ia memulai cerita perjalanannya diawali dengan cerita keinginan dan ketertarikan beliau untuk bersekolah. Mulanya darman hanya di suruh sekolah coba coba, dan hebatnya niat baik yang telah tercipta menumbuhkan semangat yang bernilai positif untuk kehidupannya, ia terpilih menjadi ketua kelas dan diperbolehkan menyelami dunia pengetahuan baik formal maupun non formal.
Bahasa dan budaya Sumatra barat khususnya Minangkabau menjadi ciri khas yang dibawakan darman moenir dalam karya karyanya, kecintaannya akan tanah kelahiran menjadikan alasan tersendiri bagi dia untuk terus mempergunakan dan memperkenalkan Bahasa serta budaya kepada masyarakat luas
Novel Boko
Karya sastra berupa novel yang berjudul Boko ini menceritakan tentang sosiologi masyarakat terkhusus Minangkabau yang merupakan daerah asal penulis, Adapun yang di bahas didalam novel ini mengenai system pernikahan, system kekerabatan dan ideologi adat Minangkabau. Bentuk adat yang tergambar dalam alur cerita yang dibuat melalui peristiwa yang dialami tokoh. Tokoh yang digambarkan di dalam karya sastra ini ialah Man yang berperan sebagai seorang anak, melalui perannya ia mengetahui betul bagaimana seluk beluk keluarganya. Man juga merupakan sosok nriman menerima segala keadaan dan pantang menyerah. Sikap nriman yang diceritakan ialah dia bisa menerima dengan sabar karena memiliki kondisi tubuh yang caca dan ibu yan gila. Man dibalik keadaanya yang serba kekurangan ternyata memilikki tekad untuk melanjutkan Pendidikan lebih tinggi lagi. Man juga selalu berupaya mengambil sikap terhadap segala tekanan lingkungan sosial, dan segala macam perkataan yang menusuk dirinya sebagai seorang anak yang harus hidup dan dibesarkan di rumah bako. Menurutnya bagaimanapun indahnya hidup di rumah bako, ada hal yang tak bisa ditepik. Misalnya bagaimana beberapa orang nenek tidak rela menerima kehadirannya sebagai putra kampung mereka sendiri. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Hai tumbuang! Wa ang anak urang manumpang, pandai-pandai pulo mampagarahan anak urang lain,” rutapnya dalam bahasa ibunya yang demikian fasih, lengkap dengan tekanan-tekanan yang mengena bila seseorang dalam keadaan marah. (Moenir, Prg.3 Hlm.28)
Kutipan yang sudah dituliskan tersebut merupakan sarkasme lokalitas Minangkabau. Secara harfiah, kata tumbuang dalam bahasa Minangkabau berarti bagian dubur yang keluar (seperti pada ekor beruk) dalam bahasa Indonesia. Kosakata bahasa daerah tersebut mengandung makian kasar, kepahitan dan celaan yang getir, menyakitkan hati, dan sama sekali tidak enak didengar. Kata tersebut merupakan representasi atau cara bertutur atau pengungkapan ketika seseorang meluapkan kemarahannya pada orang lain di Minangkabau. Dalam konteks kutipan di atas, luapan kemarahan tersebut disampaikan oleh seorang nenek kepada tokoh Man, tepatnya ketika Man bertengkar dengan cucunya. Sewajarnya, jika anak-anak bertengkar tidak perlu dimarahi secara memihak, dan tidak perlu dihakimi salah satunya, karena tidak lama setelah itu pasti akan berteman kembali. Lagi pula, dalam hal ini seharusnya seorang nenek yang dianggap sebagai orang yang sudah sangat dewasa, harus pandai menasehati anak-anak agar tidak bertengkar lagi, tentu dengan cara yang lemah lembut, bukan sebaliknya mencaci maki sejadi-jadinya.