Sepenggal Cerita Sebelum Menjadi Mahasiswa

Hai, pembaca Mijil! Saya Ananda, kalian bisa panggil saya Asa agar terasa lebih akrab. Nama Asa memiliki sejarah tersendiri. Mengapa saya ingin dipanggil Asa padahal nyatanya nama panggilan saya bukan Asa? Karena nama Ananda sudah terlalu sering saya dengar, istilahnya sih nama Ananda itu pasaran. Dulu saat saya menduduki bangku SMP, ada salah satu teman yang memiliki nama Nanda dan dia adalah seorang laki-laki. Didorong oleh hal tersebut saya jadi ingin mengganti nama panggilan saya, dan terbitlah nama Asa yang diambil dari nama akhir saya. Saya juga berpikir kata ‘asa’ ini memiliki arti yang dalam, asa sendiri adalah harapan. Saya menaruh harapan besar pada pundak saya sendiri. Saya ingin menjadi orang yang sukses, orang yang bahagia, orang yang bermanfaat bagi orang lain, juga menjadi alasan orang-orang yang saya kasihi tersenyum bahagia. Walaupun nama Asa hanya saya gunakan ketika saya bertemu dengan orang baru yang saya kenal melalui internet, saya tetap senang.

Oh, ya. Saya ada sebuah cerita, yang lebih cocok dinamakan curhat sih. Saat kelas 11 SMA saya sering bertanya “Habis ini mau lanjut kemana, Mbak/Mas?” tanpa memikirkan betapa membingungkannya jawaban dari pertanyaan itu. Saya baru merasakan keresahan tersebut setelah saya menginjak tingkat akhir di SMA, saat ada seorang adik kelas yang bertanya kepada saya. Namun saya memiliki sahabat yang mengerti saya dengan baik, awalnya dia hanya iseng berkata bahwa saya cocok menjadi seorang guru matematika. Seiring berjalannya waktu, ternyata orang tua saya pun setuju jika saya menjadi seorang guru.

Tibalah saat pendaftaran SNMPTN, karena beruntungnya saya menjadi salah satu siswa eligible walau nilai pas-pasan saya pun mendaftarkan diri saya. Saat itu saya mengambil pilihan egois yang membuat saya sedikit menyesal. Saya memilih memuaskan ego saya dengan memilih Institut Teknologi Sepuluh Nopember sebagai pilihan pertama, sedikit menentang keinginan orang tua saya. Dan saat pengumuman SNMPTN, ternyata saya mendapat kalimat “Anda dinyatakan tidak lulus seleksi SNMPTN 2021” berlatar warna merah. Saya hanya menangis satu jam saat itu, setelah itu saya langsung bersikeras belajar untuk UTBK dan mendaftarkan diri saya untuk mengikuti SBMPTN 2021. Saya mengambil pilihan pertama dan kedua di Universitas Sebelas Maret, sesuai keinginan orang tua saya. Untuk permasalahan program studi, orang tua saya menyerahkan semuanya kepada saya.

Tibalah saat ketika pengumuman SBMPTN keluar, saya benar-benar merasa putus asa. Jika tidak diterima di UNS pun tidak apa, saya akan mendaftar di PTN swasta saja, begitu pikir saya waktu itu. Karena saya sungguh tidak siap jika harus mendapat kalimat berlatar merah lagi, saya meminta adik saya untuk membukakan pengumumannya. Dan ternyata, saya mendapatkan kode QR yang menyatakan saya diterima di UNS melalui jalur SBMPTN. Seketika saya menangis bahagia, adik saya pun sampai ikut menitikkan air mata. Saya benar-benar bahagia, keluarga saya pun turut berbahagia.

Sekian cerita dari saya. Pelajaran yang dapat saya ambil adalah bawalah restu orang tua terlebih dulu untuk menggapai cita-cita, jika alasan mereka masuk akal. Karena restu orang tua, terutama Ibu adalah sepenting-pentingnya pijakan.

Saya ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung saya hingga menjadi salah satu mahasiswa di UNS ini. Saya harap saya dapat beradaptasi dengan kehidupan kampus dan dapat lulus dengan baik. Aamiin.