Sekolah Jarak Jauh dalam Situasi Covid-19


Sumber : detikNews-detik.com

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam meningkatkan kualitas generasi suatu bangsa. Seperti yang kita ketahui, semakin baik pendidikan maka kualitas sumber daya manusia di negara tersebut semakin meningkat. Pendidikan merupakan pembelajaran yang memuat pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan karakter.

Pendidikan karakter dan moral merupakan hal penting dalam membentuk kedewasaan seseorang, terutama dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi. Sekolah merupakan salah satu tempat yang mengajarkan nilai-nilai moral untuk membentuk generasi yang berprestasi dan berkarakter sesuai ajaran. Di sekolah, siswa diajarkan bagaimana cara bersosialisasi dengan baik antar teman dan bagaimana interaksi antara siswa dengan guru. Siswa dilatih untuk disiplin, jujur, dan menghormati perbedaan yang ada dilingkungan sekolah. Salah satu alasan mengapa sekolah menjadi tempat pendidikan karakter karena siswa banyak menghabiskan waktu mereka disekolah.

Namun dengan adanya kondisi pandemi covid-19 yang terjadi pada saat ini, pemerintah memberi kebijakan agar kegiatan belajar-mengajar secara langsung disekolah dihentikan dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan dan harus dilakukan secara online. Segala aktivitas yang semula hanya melibatkan peran yang besar dari para guru, maka saat ini peran besar tersebut juga diemban oleh wali siswa. Orang tua memiliki andil dalam mendampingi dan mengawasi putra-putrinya selama proses pembelajaran daring (Dalam Jaringan).

Dipandang kurang efektif, pembelajaran secara daring yang berjalan hampir dua tahun ternyata dapat memunculkan masalah baru dikalangan masyarakat. Orang tua yang semula menyerahkan tanggungjawab pendidikan anak mereka kepada sekolah, kini menjadi penanggungjawab utama selama pembelajaran jarak jauh ini. Mulai dari usia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) bahkan Perguruan Tinggi, orang tua diminta untuk mengkondisikan putra-putri mereka agar kegiatan belajar berjalan efektif. Kondisi ini tak ayal membuat orang tua mengeluh saat mengajari putra-putri mereka, dari beberapa sumber di sosial media yang menjadi tempat orang tua mengekspos kegiatan sehari-hari menunjukkan beberapa dari mereka merasa kesulitan dengan anak yang sulit diatur untuk belajar. Terlebih mereka yang sudah lelah bekerja, harus berhadapan dengan putra-putri yang tidak patuh saat diminta untuk belajar atau mengerjakan tugas. Anak-anak lebih suka untuk bermain gawai (Handphone) dan menjadi malas belajar.

Beberapa orang tua disekitar lingkungan saya pun memilih membiarkan putra-putri mereka menghabiskan waktu dengan bermain gawai karena sebagian besar orang tua mereka seharian bekerja. Terkadang beberapa orang tua memilih untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) anak-anak mereka daripada memerintah dengan tegas putra-putrinya karena sering berujung pertengkaran. Anak-anak juga lebih menggantungkan sekolahnya melalui internet dan sering melakukan kecurangan saat menjalani penilaian semester, hal ini diakui oleh beberapa orang tua dan anak-anak disekitar rumah saya. Dari sini mereka mulai sadar dan mengerti tentang peran dari sekolah yang cukup besar dalam pendidikan, salah satunya dalam membentuk karakter seorang anak.

Selain dampak tersebut, kebijakan memperbolehkan pembelajaran tatap muka dalam kurun waktu tiga bulan percobaan dengan beberapa syarat juga memunculkan kendala baru. Dampak ini cukup besar dirasakan oleh para guru yang mengajar di tingkat Sekolah Dasar, seperti kelas satu. Setelah lama belajar dirumah dan banyak menghabiskan waktu untuk bermain terutama bermain HP, mereka cukup sulit untuk beradaptasi dengan kebiasaan disekolah. Berdasarkan pengakuan salah seorang guru kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah ( sederajat dengan Sekolah Dasar), beliau mengaku anak-anak kelas satu sangat sulit fokus ketika diajak belajar, sulit mengenal huruf dalam artian membaca dan menulis, berani kepada guru, gemar mengganggu teman, selalu meminta pulang, dan tidak mau mengerjakan tugas.

Sekalipun menurut beliau hal ini cukup wajar terutama untuk mereka yang masih diusia yang cukup kecil, dari keseharian yang bebas kemudian ditempatkan dalam keadaan yang mengharuskan untuk disiplin tentu saja cukup sulit, namun tetap saja menurutnya hal ini tingkatannya lebih tinggi dibanding sebelum terjadinya pandemi. Terutama usia mereka memang berada ditahap perkembangan dan eksplorasi. Kondisi setelah pandemi ini cukup menantang bagi para pendidik.

Menurut para orang tua, mereka mulai menyadari mengapa menjadi seorang guru menjadi pekerjaan yang mulia. Dilain sisi mendidik anak-anak menjadi pintar, mereka juga mendidik anak-anak agar memiliki karakter yang baik. Disaat para orang tua merasa belum mampu karena kondisi yang berubah atau karena kesibukan yang mengharuskan mereka berpisah dengan anak mereka dalam waktu lama. Orang tua akan selalu berusaha yang terbaik untuk anak mereka, begitu juga guru yang tetap memperjuangkan pendidikan dalam kondisi apapun.