Sekilas tentang Dekonstruksi Derrida

Sekilas Tentang Pencetus Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida adalah tokoh filsafat berkebangsaan Perancis keturunan Yahudi kelahiran Aljazair pada 15 Juli 1930, meninggal di Paris, 8 Oktober 2004. Derrida dibesarkan dalam tradisi pemikiran era 1950-an sampai 1970-an.
Era 1950-an sampai 1970-an dimeriahkan oleh pergeseran-besar-besaran dari pemikiran modernitas ke postmodernitas dan dari strukturalisme menuju poststrukturalisme.
Strukturalis-modernis diwakili tokoh-tokoh seperti Ferdinand De Saussure, Noam Chomsky, Roman Jakobson, dsb, sementara Poststrukturalis-postmodernis diwakili oleh Lacan, Kristeva, Derrida, Foucault, Barthers, dsb.
Derrida dianggap sebagai filsuf postmodern yang melahirkan teori dekonstruksi.

Sekilas Tentang Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi dibicarakan pada bagian terakhir di antara teori-teori postrukturalisme dengan pertimbangan bahwa dekonstruksi mewarnai teori-teori kontemporer sebagaimana telah dibicarakan di depan, seperti: resepsi sastra, interteks, feminisme, postkolonialisme, dan naratologi postrukturalisme. Dengan kalimat lain, ciri khas postrukturalisme adalah dekonstruksi, strukturalisasi sekaligus penyempurnaan terhadap sifat-sifat laten strukturalisme. Strukturalisasi teks dalam kaitannya dengan peranan pembaca, maka dekonstruksi identik dengan resepsi sastra. Pemahaman teks dalam kaitannya dengan ciri-cirinya sebagai jaringan, dekonstruksi identik dengan interteks. Apabila teks dikaitkan dengan perempuan dan masalah-masalah kolonial, maka dekonstruksi identik dengan feminis dan postkolonial. Demikian juga apabila teks dikaitkan dengan cerità dan penceritaan, dekonstruksi identik dengan naratologi postrukturalis. Fungsi-fungsi utama postmodernisme dan dengan demikian postrukturalisme adalah mendekonstruksi kekuatan laten subjek kultural, subjek-subjek hegemonis yang secara terus-menerus mengkondisikan situasi marginalitas. ‘Perempuan’ adalah simbol marginalitas yang paling konstan. Perempuan adalah manifestasi Hawa di Taman Eden, kaum buruh dan tani bagi kelompok Marxis, pribumi dalam pandangan kolonial, ekonomi lemah dalam kaitannya dengan proyek kapitalis, novel populer dalam kerangka sastra yang indah (kesusastraan), pasar tradisional dalam era swalayan, dan sebagainya. Pada dasarnya dekonstruksi diperhadapkan pada simbol-simbol "perempuan’ seperti di atas.

Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengu rangan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku, bahkan universal. Dalam perkembangan berikut, para pelopor postrukturalis sering menggunakan kata pembongkaran, bahkan penghancuran struktur. Kristeva, misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Jelas yang dimaksudkan oleh para pemerhati tersebut bukan dalam pengertian yang negatif sebab tujuan utama tetap konstruksi. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandụng nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Oleh karena itu, Manikebu, sastra universal, sensor Balai Pustaka, Orde Baru, pegawai negeri, dan sebagainya, adalah teks yang dapat dibaca seperti buku. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.

Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Di satu pihak; kritik sastra dan teori-teori postrukturalisme yang dikembangkannya berangkat dari pemahamannya mengenai fenomenologi dan strukturalisme. Di pihak lain, postrukturalisme juga dikembangkan atas dasar pemahamannya mengenai hakikat subjektivitas dan objektivitas, di mana pada gilirannya unsur yang pertama akan mendominasi unsur yang kedua. Sebagai ciri khas postrukturalisme, dekonstruksi dikembangkan atas dasar pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata memberikan perhatian terhadap ucapan. Dominasi inilah yang harus didekonstruksi, yang sebagian besar dikemukakannya dalam bukunya yang terkenal yang berjudul Of Grammatologi (1967), yang secara etimologis berasal dari gramme, yang berarti tulisan. Sebagai aliran filsafat dekonstruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1980-an. Pada dasarnya, dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umnumnya, psikoanalisis Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, di satu pihak mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak yang lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.

Menurut Derrida, kelompok postrukturalisme pada umumnya, memandang bahwa masalah pokok yang perlu dikemukakan, dan dengan sendirinya merupakan tujuan utamanya adalah penolakan terhadap adanya satu pusat. Strukturalisme, misalnya, selalu inengutamakan adanya pusat, artinya, pusat menguasai struktur. Demikianlah Saussure menjelaskan bahwa makna diperolch melalui pembagian lambang-lambang menjadi.penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak pemusatan tersebut dengan cara terus-menerus berusaha melepaskan diri, sekaligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Meņurut Saussure, hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti, misalnya, hubungan antara citra bunyi ‘kursi’ dengan konsep. mengenai kursi. Strukturalisme cukup puas apabila dapat membagi-bagi teks atas oposisi biner, seperti: tinggi dan rendah, alarm maya dan alam baka, dan sebagainya. Scbaliknya, menurut postrukturalisme, penanda berhubungan secara arbitrer dan memiliki hubungan yang kompleks dengan penanda yang lain, hubungan yang tak pernah beråkhir, penanda tidak secara langsung memberikan makna terhadap pėtanda tertentu. Perolehan makna melalui kamus tidak dengan sendirinya akan menghasilkan makna yang tetap sebab penanda akan berhubungan dengan penanda yang lain, bahķan dengan kamus yang lain, dan seterusnya.

Menurut Derrida, dalam usaha menemukan pusat-pusat yang baru sesungguhnya subjek juga selalu akan terlibat dengan adanya satu pusat. Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah, di satu pihak kesadaran bahwa pusat itu plural, bukan tunggal. Di pihak yang lain, yang dimaksudkan dengan pusat adalah füngsi, bukan realitas atau makhluk yang lain. Untúk menjeláskan máksud ini Derrida mengemukakan konsep dẹcentering, struktur tanpa pusåt dan tanpa hierarki. Cara yang dilakukannya, misalnya, dengan memahami dan mengkaji sesuatu yang semula dianggap kurang penting, misalnya: catatan kaki, tokoh sekunder, tema minor, tokoh perempuan dan sebagainya, bahkan pada ruang-ruang kosong sehingga mempengaruhi seluruh isi teks dan semesta sosial sehingga pusat bergeser secara terus-menerus. Dalam kaitan inilah dekonstruksi membongkar sistem hierarki, sistem logika yang sudah dianggap baku.

Berbeda dengan dikotomi Sussurean, seperti signifiant/signife, parole/langue, dan sinkroni/diakroni, yang seolah-olah hadir secara simultan, sebagai dua sisi mata uang, penanda (bentuk) dan petanda (isi) dalam pengertian poststrukturalisme tidak memiliki hubungan langsung, tidak alamiah. Tanda ‘merah’ dalam lampu lalu lintas tidak dengan sendirinya berarti berhenti. Ia berarti berhenti hanya dalam relasi aturan lalu lintas, sebagai kebiasaan. Oleh karena makna tidak secara langsung hadir dalam tanda, oleh karena semuanya bersifat teks, maka yang tersisa adalah trace. Menurut Spivak ‘bekas’ dan 'jejak’ dianggap sebagai ketidakhadiran suatu kehadiran, misalnya, suatu kata yang telah dihapus, maka secara fisikal kata tersebut dianggap tidak hadir, tetapi maknanya masih melekat dalam ingatan. Dikaitkan dengan hakikat dekonstruksi itu sendiri, trace pada dasarnya merupakan perluasan signifikan konsep-konsep tanda Saussure, di mana tanda memperoleh maknanya hanya dalam hubungannya dengan tanda lain, demikian seterusnya, sehingga teks pada gilirannya disebutkan sebagai lautan tanda, mosaik kutipan.

Derrida menjelaskan peristiwa di atas dengan istilah differEnce/differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi cara penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Latin, differre, yang sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menunda) yang berkonotasi temporal. Derrida menghubungkan kerangka ruang dan waktu tersebut dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi megambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengartuh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dengan kenyataan selalu mempunyai jarak dan sekaligus perbedaan. Perbedaan bukan dalam pengertian tidak memiliki hubungan dengan gejala yang lain. Perbedaan bukanlah suatu identitas, perbedaan terjadi karena ditunda. Demikianlah Derrida menjadi terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, difference/differance, trace, dan decentering, di mana ia berhasil untuk meyakinkan para pembaca bahwa setelah setengah abad perkembangan strukturalisme, ia berhasil mengungkap kompleksitas sekaligus kelemahannya. Makna tidak dihasilkan oleh struktur tersebut sebab jika makna dihasilkan oleh struktur maka setiap orang akan memperoleh makna yang sama, dan dengan sendirinya teori-teori pembacaan tidak diperlukan.

Differance adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaan antara difference dan differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Oleh karena itulah, menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Demikian juga, dengan menciptakan kata differance Derrida telah keluar dari makna metafisika bahasa kamus, metafişika kehadiran yang sebelumnya harus dipercayai sedemikian rupa.

Menurut Derrida, makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain, karena itu, makna hadir dalam rangkaian penanda. Masalah lain yang timbul, makna tidak mungkin tertangkap secara keseluruhan sebab bahasa bersifat diskursif, sambung-menyambung. Makna selalu tertangguh, tertunda. Maka harus diulang dan dihasilkan kembali. Tidak mungkin untuk mengetahui makna asal sebab konteks selalu berubah. Berbeda dengan strukturalisme yang memandang bahasa sebagai jaringan luas yang tanpa ujung, bahasa sebagai permainan penandaan yang terbuka luas. Menurut Barthes, berbeda dengan strukturalisme, yang menyatakan bahwa struktur memegang peranan yang menentukan, poststrukturalisme lebih memandang karya sebagai penstrukturan. Demikianlah Barthes dalam menganalisis suatu karya ia tidak berfungsi untuk menciptakan kembali, melainkan menulis kembali sehingga seolah-olah teks tidak dapat dikenal kembali, krtitik dan ciptaan menjadi kabur batas-batasnya, keduanya menjadi ‘tulisan’.

Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang ada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai nonpusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan bersifat sekunder, termediasi, grafis, dan mewakili. Hierarki ini telah mendasari tradisi intelektualitas Barat, bahkan seolah-olah bersifat universal. Pikiran yang mengarahkan adanya satu pusat disebut logosentrisme (dari kata logos, bahasa Latin, berarti kata). Konsep ini dikaitkan dengan salah şatu kalimat dalam Injil (Perjanjian Baru), 'Pada mulanya adalah kata’. Kata menghadirkan dunia dengan segala isinya. Kata sebelum ditulis jelas diucapkan, yang disebut fonosentrisme. Oieh karena itulah, fonosentrisme disebut sebagai ciri klasik logosentrisme. Tulisan dan ujaran, sebagai oposisi biner, dianggap sebagai salah satu contoh hierarki yang sangat jelas.

Dalam tradisi Barat, sejak Plato hingga Levi-Strauss, bentuk tulisan tersubordinasikan sebagai ekspresi yang mati dan terasing. Fonosentrisme memandang tulisan sebagai bentuk yang ambigu, tulisan dianggap sebagai sepenuhnya bersifat grafis, mungkin bisa mewakili ingatan tetapi tetap bersifat sekunder dan representatif. Tulisan diumpamakan sebagai pakaian, yang belum tentu mencerminkan kepribadian seseorang, bahkan bisa menyesatkan dari kebenaran yang sesungguhnya. Benar, tulisan dapat dicetak, digandakan, didokumentasikan, dan sebagainya, tetapi karena tulisan tidak menghadirkan subjek, maka ia melahirkan penafsiran kembali, penilaian yang berbeda secara terus-menerus. Ucapan memiliki kehadiran penuh, sebaliknya, sebagai kehadiran yang kedua, dengan menghadirkan material sebagai medium, tulisan akan mengundang kerancuan. Pada gilirannya ucapan menjadi metafora, otentisitas kebenaran, ucapan bersifat langsung, hadir pada dirinya sendiri. Sebaliknya, tulisan mengahncurkan kehadiran subjek sejati, tulisan seolah-olah menjadi orang asing, sebagai medium terdepersonalisasikan. Tulisan mengurbankan otoritas kepengarangan demi penyebaran tekstual.

Derrida menolak hierarki di atas dengan menampilkan konsep arche-writing (prefiks ‘arch’ berarti utama, prinsip), asal-muasal aktivitas yang sekaligus merupakan prasyaratucapan dan tulisan, semacam bahasa sebelum adanya bahasa. Diduga Derrida memanfaatkan konsep archetype sebagaimana filologi menggunakan konsep tersebut untuk menelusuri prototipe suatu naskah, yang sesungguhnya juga mewakili baik tulisan maupun lisan. Sebagaimana archetype yang secara filologis poststrukturalis mustahil untuk dicapai, misalnya, dengan adanya kesulitan untuk menentukan suatu naskah awal apakah merupakan tulisan atau lisan, demikian juga arhewriring, sulit untuk menentukan mana yang lebih utama di antara ucapan dan tulisan. Oleh karena itulah, menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun pada dasarnya sudah tertulis. Lebih jauh, sebagai seorang gramatolog, secara implisit Derrida menjelaskan konsep tulisan tersebut dalam Of Grammatology melalui bab yang berjudul “The End of the Book and the Beginning of Writing”, dengan mengintroduksi pendapat Plato, Galileo, Descartes, Hume, Jaspers, dan Rousseau.

Menurut Norris cara-cara berpikir Derrida seperti di atas dianggap sebagai konfrontasi fundamental, cara-cara berpikir yang dapat mengubah mengubah tradisi intelektual yang sudah terjadi selama ribuan tahun. Pada gilirannya Derrida memandang tulisan sebagai prakondisi bahasa dan harus dianggap sebagai sesuatu yang lebih dahulu dan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Apa yang dimaksud oleh Saussure sebagai hubungan alamiah antara ucapan dengan perasaan pada dasarnyaadalah delusi, perdebatan klasik yang selalu menyuarakan bahaya tulisan sebagai akibat sifat-sifat subversifnya. Tulisan dengan demikian tidak bisa direduksi secara harfiah sebagai bentuk grafis atau inskripsional. Bagi Derrida, sebagai elemen komunikasi, tulisan merupakan permainan bebas, elemen yang berada dalam ketidakpastian. Dalam hubungan ini bahasa lisan menjadi bagian dari bahasa tulisan.

Dengan mengemukakan konsep supplement Derrida juga mendekonstruksi Rousseau dan Levi Strauss. Di satu pihak, menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis. Terhadap kedua argumentasi di atas, menurut Derrida maka apa yang ditambahkan harus disisipkan tepat pada saat bahasa diartikulasikan. Tulisan telah menjadi bagian inheren dalam eksistensi sosial. Dengan mengambil contoh yang paling umum dalam kehidupan sehari-hari, yaitu hierarki antara kebaikan dan kejahatan, Derrida menyimpulkan bahwa alam tidak dengan sendirinya lebih dahulu lahir dibandingkan dengan peradaban, kebaikan tidak dengan sendirinya lebih utama dari kejahatan. Tidak ada kebaikan tanpa kejahatan, kebaikan datang sesudah kejahatan, kejahatan dan dosa juga diciptakan oleh Tuhan.

Sejajar dengan visi postrukturalis terhadap peranan pengarang, sebagai anonimitas, Derrida juga mengkritik teater tradisional dalam kaitannya dengan dominasi oleh logika filsafat sehingga para aktor tidak memiliki kebebasan. Dikaitkan dengan masyarakat dalam kenyataan, diduga Derrida juga mengimplikasikan teorinya dalam kaitanrıya dengan masyarakat dalam kenyataan hidup sehari-hari, di mana berbagai bentuk kekuasaan selalu dalam posisi mendominasi sehingga individu sama sekali tidak memiliki kebebasan. Menurut Derrida, masyarakat harus memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapatnya, masyarakat tanpa pusat akan dapat mengembangkan diri secara terus-menerus. Pada dasarnya manusia sedang menulis masa depannya, meskipun tidak diketahui apa yang akan terjadi kemudian. Masa depan tidak menyediakan jawaban, sebab jawaban disebutkan sebagai logosentrisme, yang dengan sendirinya akan memperbudak kembali hakikat kemanusiaan, sekaligus menghapuskan kualitas permainan dan perbedaan yang menjadi tujuannya.

Perkenalan dunia Barat dengan non-Barat secara keseluruhan didasarkan atas superiotitas hegemonis, baik sebagai akibat perkembangan proyek Pencerahan dan kapitalisme sejak abad ke-18, maupun perkembangan teknologi dan komunikasi abad ke-20. Wacana-wacana hegemonis secara langsung mengarahkan peradaban Barat sebagai superior, sebaliknya peradaban non-Barat sebagai inferior. Postmodernisme menolak kecenderungan di atas dengan menanamkan doktrin relaitivisme budaya, heterogenitas, dengan cara mensubversi uniformitas dan totalisasi. Postmodernisme mengajak kapitalisme tidak semata-mata meningkatkan produktivitas dan keuntungan, tetapi juga memberikan perhatian pada masyarakat ekonomi lemah. Postmodernisme tidak menawarkan wacana dialektis Hegelian, wacana yang meniadakan wacana lain, melainkan model wacana dalam kerangka dialogis Bakhtinian.

Seperti disinggung di depan, setelah satu dasawarsa berkembang di Perancis, dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran Yale. Dekonstruksi Amerika, di samping memiliki ciri-ciri tersendiri, sebagai akibat latar belakang sosiokulturalnya, jelas memiliki persamaan dalam upaya menolak adanya satu pusat. Tokoh-tokoh dekonstruksi Amerika, di antaranya: Paul de Man, J. Hillis Miller, Geoffery Hartman, dan Harold Bloom. Dalam tradisi Amerika ini Derrida dianggap sebagai tokoh yang paling berpengaruh.

Paul de Man lahir di Belgia, merupakan seorang filolog dan kritikus sastra. Paul de Man memandang bahwa semua bahasa bersifat metafora, bahasa sastra mendekonstruksi hakikatnya sendiri. Oleh karena itu, filsafat, hukum, politik, seperti halnya puisi, difungsikan secara metaforis, menggantikan sesuatu yang Iain. Hillis Miller memusatkan perhatian pada dekonstruksi cerita rekaan, khususnya pembicaraannya mengenai Charles Dickens, yang dianalisis melalui teori Jakobson yang dikaitkan dengan aspek metafora dan metonimi. Geoffery Hartman memusatkan perhatiannya pada sastra kontemporer, teks-teks Injil, dan kritik kebudayaan. Meskipun demikian, ia menjadi populer melalui penelitiannya mengenai puisi-puisi William Wordsworth. Harol Bloom menggabungkan teori trope (bahasa kias), psikologi Freud, dan teks Injil. Pada dasarnya Bloom menulis sejarah sastra atas dasar kompleks Oedipus dengan menganalisis puisi-puisi romantik karangan Wordsworth, Shelley, Keats, dan Tennyson.

Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden White dalam bukunya Tropics of Discourse (1978). Menurut White, sejarah tidak seratus persen objektif sebab bagaimana pun sejarawan menyusun suatu cerita ke dalam suatu struktur, menceritakan kembali ke dalam suatu plot. Tokoh postrukturalis lain yang juga mempertimbangkan aspek sejarah adalah Michel Foucault. Sebagaimana kelompok pascastrukturalis yang lain, Foucault memandang wacana sebagai pusat aktivitas manusia, bukan sebagai teks yang universal. Menurut Foucault, secara historis perubahan tidak saling berhubungan. Secara geneologis, proses sejarah tidak melalui jalan tunggal, melainkan melalui banyak pusat. Sejarah tidak mengarahkan pada perjalanan yang sudah pasti, tetapi yang belum diketahui, sebagai proses polivalen. Analisis genealogis pada gilirannya mendekonstruksi wacana tunggal.

Dalam kerangka yang lebih luas, sebagai pengaruh globalisasi, pikiran-pikiran Foucault dilanjutkan oleh muridnya, Edward W. Said, dengan salah satu karangannya yang terkenal yang berjudul Orintalism (1978). Menurut Foulcher gagasan-gagasan Said berpengaruh besar terhadap studi kultural di Asia, termasuk Indonesia. Sebagai bagian teori postkolonial, Said terutama berusaha membongkar pola-pola pemikiran Barat mengenai dunia non-Barat, yang selama berabad-abad terdegradasikan sebagai semata-mata dikuasai oleh mitos. Said juga membahas dominasi imperialisme dan kebudayaan dalam arti yang luas, dominasi Barat yang secara terus-menerus mempertahankan dirinya sebagai kondisi superior. Secara praktis Foulcher membuktikan pengaruh di atas melalui dua cara, di satu pihak banyaknya penerbitan novel populer yang sekaligus diiringi oleh pengarang wanita, di pihak lain, lahirnya berbagai penelitian mengenai sastra populer yang dengan sendirinya berarti mendekonstruksi paradigma lama yang hanya mementingkan sastra dengan kualitas estetis. Dalam kaitannya dengan sastra populer, Jakob Sumardjo dianggap memiliki peranan sekaligus dengan menerbitkan sejumlah kritik, seperti: Masyarakat dan Sastra Indonesia (1979), Fiksi Indonesia Dewasa Ini (1979), Novel Indonesia Mutakhir sebuah Kritik (1979), Segi Sosiologis Novel Indonesia (1981), Novel Populer Indonesia (1982), dan Pengantar Novel Indonesia (1983).

Tahun 1980-an diikuti dengan perdebatan sastra kontekstual yang sekaligus juga mempertanyakan dikotomi antara sastra universal dengan sastra kontekstual tersebut. Artinya, meskipun model analisis pascastrukturalis belum jelas, tetapi secara embrio telah digunakan dalam kaitannya dengan dominasi dan hegemoni sastra serius terhadap sastra populer. Perdebatan sastra kontekstual pada dasarnya mempertanyakan dikotomi antara sastra serius dengan sastra polpuler sekaligus peranannya masing-masing, baik bagi para seniman dan kritikus maupun masyarakat secara keseluruhan. Para pengikut gerakan sastra kontekstual menolak kritik sastra yang semata-mata mementingkan sastra serius, sebagai suprakarya. Tujuan gerakan sastra kontekstual jelas untuk memberikan kemungkinan berkembang bagi sastra populer, sastra picisan, dan jenis sastra lainnya yang pada umumnya dianggap sebagai sastra kelas dua.

Dari segi tertentu, khususnya dalam kaitannya dengan pergeseran pemikiran kelompok intelektual, peranan budayawan dan sastrawan kiri, sebagai mantan tahanan-tahanan politik yang dikembalikan sekitar tahun 1970-an, juga memegang peranan dalam kaitannya dengan relativisme budaya ini. Artinya, secara konseptual paradigmatis, telah timbul kesadaran bahwa dalam perkembangan selanjutnya, analisis terhadap dunia sosiokultural tidak mungkin semata-mata terbatas pada budaya dan sastra tinggi saja, tetapi meliputi seluruh hasil aktivitas sebagai representasi kultural bangsa. Teks dianalisis bukan sebagai objek yang tertutup, tetapi selalu mengacu ke luar dirinya, tergantung pada konteks, interaksi antarteks, dan pembaca. Sastra populer, penulis perempuan, penulis lokal, sastrawan mantan lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya, dari segi tertentu jelas merupakan pusat-pusat kebudayaan, dan dengan demikian suara-suaranya perlu didengarkan.

Secara definitif postrukturalisme tidak menolak strukturalisme, melainkan semata-mata sebagai strukturalisasi kembali dalam usaha untuk menambah dan menyempumakan masalah-masalah yang sebelumnya belum tampak. Postrukturalisme mencoba memahami kembali struktur yang kaku dalam teori strukturalisme. Ciri-ciri struktur yang kaku, di antaranya terjadinya dikotomi dan hierarki, sehingga selalu terdapat unsur-unsur yang dominan, jelas akan menimbulkan unsur-unsur yang terabaikan. Dalam analisis penokohan, misalnya, strukturalisme selalu membicarakan tokoh utama, kedua, ketiga, dan seterusnya, dengan konsekuensi tokoh terakhir hanya berfungsi sebagai pelengkap. Dalam ilmu sosial dan dalam kehidupan sehari-hari yang mendapatkan perhatian adalah kelompok penguasa dan para pemimpin, priayi dan kelas atas, kawasan elite dan perumahan mewah, konglomerat dan pemilik modal, museum dan gallery, adikarya dan hasil-hasil kesenian bermutu yang lain, dan sebagainya.

Dikotomi penanda dengan petanda dalam strukturalisme Saussurean hanya menghasilkan satu arti. Citra bunyi ‘kursi’ akan menghasilkan konsep kursi dalam pikiran pembaca. Tokoh Tuti Dalam Layar Terkembang akan menghasilkan konsep perempuan sebagai tokoh gerakan wanita menurut persepsi Sutan Takdir Alisjahbana. Sebaliknya, dengan memanfaatkan teori postrukturalisme, dengan mempertimbangkan relevansi perbedaan (ruang) dan penundaan (waktu), Tuti menunjuk pada semesta perempuan dengan berbagai aktivitas, kelas, dan profesi, termasuk tipologi fisik, yang secara keseluruhan menampilkan konotasi Tuti sebagai salah seorang tokoh. Seperti disinggung di atas, sebagai dekonstruksi hierarki, Tuti tidak selalu diintroduksi sebagai pusat, tidak ada asal usul yang pasti, tidak ada his-story sebab semuanya menjadi permainan, sebagai permainan yang serius. Pada kejadian tertentu, Tuti menjadi tokoh kedua, tokoh ketiga, bahkan mungkin tidak berfungsi sama sekali.Selain memutuskan hubungan hakiki antara penanda dengan petanda, hubungan lain yang juga penting dihilangkan adalah antara pengarang dengan karya. Menurut paradigma postrukturalisme, dalam kritik sastra yang penting bukan siapa yang berbicara melainkan apa yang dibicarakan, yaitu karya sastra itu sendiri. Karya- karya anonim masa lalu pada gilirannya identik dengan konsep anonimitas postrukturalis sebagaimana diintroduksi oleh Roland Barthes.

Hegemoni dan kekuasaan, khususnya menurut visi kontemporer, bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan justru merupakan wacana. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa wacana memiliki kekuatan sebagaimana yang dimiliki secara fisik. Hegemoni Barat pascakolonial tidak dilakukan secara fisik, melainkan melalui wacana, seperti: Barat dan non-Barat, Barat dan pribumi. Hegemoni melalui kekuatan wacana jauh lebih ampuh sebab dapat dikemudikan melalui jarah jauh, tanpa perlu mengadakan intervensi secara langsung. Hegemoni wacana inilah yang didekonstruksi oleh teori-teori postmodernisme, sehingga kelompok-kelompok minoritas, kelompok ‘perempuan’ bangkit untuk memperjuangkan nasibnya. Dekonstruksi dalam hubungan ini adalah lahirnya suatu kesadaran, sedangkan kesadaran tersebut terkandung dalam bahasa. Oleh karena itulah, untuk membangkitkan kesadaran yang dimaksudkan, cara satu-satunya adalah membongkar, mendekonstruksi sistem bahasanya. Dikaitkan dengan paradigma sosiologi kontemporer, yang sesungguhnya berakar dalam tradisi Marxian, kesadaran manusia juga ditentukan oleh keberadaan sosialnya, jadi, bahasa mendahului kesadaran, bukan sebaliknya. Demikianlah superioritas Barat menjadi pengetahuan bagi bangsa Timur melalui bahasa, wacana, cerita-cerita, baik faktual maupun fiksional.

Modernisme, yang akar-akarnya telah tertanam kuat pada zaman Pencerahan, dengan hasil kapitalisme dan teknologi komunikasi dalam berbagai aspeknya, jelas berhasil dalam membawa manusia pada klimaks kemajuan peradaban. Teknologi telah mengantarkan umat manusia ke dalam kehidupan yang benar-benar praktis. Televisi, internet, dan media masa melayani manusia sepanjang hari, sehingga dengan mengeluarkan energi yang sekecil mungkin tetapi dapat memperoleh keniknmatan secara maksimal. Manusia pada gilirannya telah menyatu dengan teknologi, bahkan seolah-olah dikuasai olehnya, sebagai cyborg. Tetapi perlu disadari bahwa sebagian besar manusia yang menghuni bumi ini belum termasuk ke dalam kelonmpok hegemonis di atas. Dua benoa, yaitu Asia dan Afrika masih didominasi oleh penduduk negara-negara yang dikategorikan sebagai sedang berkembang, bahkan masih banyak yang dianggap sebagai masyarakat prasejahtera. Pengangguran pun bertambah sebab dari segi tertentu kemajuan teknologi ternyata mengambil alih posisi strategis angkatan kerja.

Secara praktis perbedaan antara pembacaan nondekonstruksi dengan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembacaan nondekonstruksi atau pembacaan konvensional dilakukan dengan cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Makna yang benar pada umumnya dilakukan dengan cara memberikan prioritas terhadap unsur-unsur pusat, seperti kebenaran, tokoh utama, laki-laki, dan sebagainya. Sebaliknya, pembacaan dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus-menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya.

Strukturalisme, postmodernis, dan postrukturalisme, di satu pihak dianggap sebagai mazhab yang antihumanis sebab seçara terus-menerus menghilangkan subjek. Pengertian hu- manis dalam hubungan ini bukanlah manusia secara keseluruhan, melainkan manusia penguasa, manusia hegemonis, seperti: kreator (karya seni), kapitalis (ekonomi), dan laki-laki (feminis), termasuk kulit putih (ras). Oleh karena itulah, di pihak lain dikatakan bahwa postmodernisme justru membela manusia yang lemah, manusia yang tertindas, seperti: pribumi, perempuan, buruh, petani, aborigine, dan kelompok minoritas yang lain. Penduduk bumi sebagian besar terdiri atas manusia-manusia yang tertindas, kelompok inilah yang diperjuangkan oleh postmodernisme dan postrukturalisme, dekonstruksi khususnya.

Sebagai salah satu model pemahaman postrukturalis, Umar Junus memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Peneliti tidak perlu merasa khawatir apakah hal-hal yang dikerjakan sama atau bahkan sama sekali bertentangan dengan orang lain. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Dekonstruksi memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa harus terikat dengan suatu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

Kesimpulan
Kebenaran bukan satu, absolut, dan universal. Kebenaran itu bersifat multipluralis. Jadi setiap orang dapat memperoleh suatu makna yang lebih berbeda dan mendalam lagi. Hal ini bukan berarti kebenaran bersifat relatif. Tetapi dekontruksi hendak mengajak kita untuk terbuka terhadap kebenaran-kebenaran yang akan muncul /timbul. Karena itu selalu ada kemungkinan lain yang tidak terduga. Dekonstruksi selalu mengajak untuk memunculkan kejutan makna baru, itulah sebabnya ia mempersoalkan makna-makna yang ada agar menstimulasi makna yang tak terdugakan itu muncul.