Sejarah Tari Soreng dan Warisan Budaya Magelang yang Penuh Makna

Tari tradisional merupakan tari yang sebelumnya sudah ada dan diturunkan kepada generasi selanjutnya untuk dapat di lestarikan. Tari Soreng merupakan tari yang berasal dari Magelang, tepatnya oleh masyarakat di lereng Gunung Merbabu dan Gunung Andong. Tari Soreng ini mengisahkan kisah pelatihan keprajuritan, yang paling istimewa yakni Adipati Aryo Penangsang.

Nama Soreng sendiri berasal dari kata “sura” (wani atau dalam Bahasa Indonesia bermaksud Pemberani) dan “ing” yang membina soreng. Tarian ini mencerimkan msyarakat lereng Merbabu di Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Bandungrejo, Ngablak, Magelang. Umumnya, Tari Soreng tersebut dilakonkan oleh 10 hingga 12 orang penari laki-laki. Tari Soreng akan ditampilkan di saat ada acara-acara adat tertentu.

Dahulu, tari soreng ini dibangun oleh Bapak Taryono dan meruak samapi empat turunan dan merebak ke seluruh Kabupaten Magelang hingga saat ini. Dalam tari soreng memuat dua kategori yakni gerakan murni. Gerakan murni ini memvisualkan ksatria yang tengah berlatih perang. Sedangkan gerakan kedua yakni gerakan maknawi. Gerakan maknawi ini memiliki arti yakni gerakan yang mengandung makna.

Pertunjukan dimulai dengan menggunakan pengisahan ringkas salah satu pemain gamelan yang mengilustrasikan jati diri Arya Penangsang dalam tembang Jawa. Yang menjadi spesialnya yaitu meski Arya Penangsang ditampilkan sebagai penjahat, namun ia unggul dan memerankan pelaku utama dalam tarian tersebut. Sementara itu, kehadirahn tunggangan Gagak Rimang, Laskar Soreng, Patih pembunuh Mataun, dan kehebatan Kadipaten Jipang Panolan seolah memantapkan keberanian tokoh Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan.

Musik slow menyandingi penampilan Adipati Arya Penangsang, Patih Mataun dan Laskar Soreng di atas panggung. Suara Gamelan beruntun untuk memulai saat Laskar Soreng melaksanakan latihan kesatrianya di Lapangan Kerajaan. Arya Penangsang bersama Bupati Mataun merasa senang menyaksikan gairah dan kekuatan para ksatria atau prajurit berlatih keras jika berangkat berperang.

Sultan Hadiwijaya dan Kerajaan Pajang yang dianggap bermusuhan bila-bila saja bisa menjadi bahaya. Terkadang musik tegas diputar sehingga menimbulkan anggapan bahwa Laskar Soreng merupakan ksatria seleksian dan tidak dapat ditakukkan. Saat sedang memantau prajuritnya saat latihan berperang, Arya Penangsang kaget melihat seorang pekatik (penjaga kuda) dari kuda Gagak Rimang berlumuran darah karena salah satu telinganya telah terputus. Sedangkan sepucuk surat tergantung di telinga satunya. Surat tersebut kemudian dijangkau Patih Mataun lalu diantar ke Arya Penangsang.

Setelah membuka dengan tangan kirinya, Adipati memhami bahwa surat tersebut merupakan surat yang ditujukan kepadanya. Tertentang bahwa surat tersebut merupakan serangan Sultan Hadiwijaya kepada Arya Penangsang untuk berjuang sendirian. Usai membaca surat tantangan yang dikirimkan kepadanya, Arya Penangsang langsung marah. Dia mulai marah pada orang-orang di sekitarnya. Matanya melotot dan wajahnya memerah.

Tangannya terkepal lalu ia melangkah pergi karena merasa tak tega jika dihina sekasar itu. Patih Mataun dan Laskar Soreng yang berupaya meredakan amarah Sang Adipati tidak berdaya mencegah hasrat Arya Penangsang melakukan duel di tepi barat Bengawan Sore.

Tari Soreng ini pernah menari di Istana Negara dalam merayakan hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-74. Dengan begitu, mengartikan jikalau Kabupaten Magelang menyimpan kapasitas budaya yang banyak, telah dikenal dan diperhitungkan di tingkat nasional dan tentunya telah didaftarkan oleh Bupati Magelang. Hal ini tentunya menjadi kebanggaan warga Kabupaten Magelang. Bupati Magelang Zaenal Arifin meyakinkan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan seni dan budaya asli dari Magelang, di tengah maraknya arus globalisasi.

Tidak hanya itu, sebanyak 12,276 penari soreng pernah memeriahkan Hari Sumpah Pemuda pada tahun 2019 di Kabupaten Magelang dan berhasil masuk Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Bupati Magelang Zaenal Arifin mengatakan pergelaran Tari Soreng bersejarah ini selain untuk menjaga dan melestarikan budaya dapat juga mengobarkan semangat persatuan dan kesatuan NKRI. Ia berharap, melalui pentas Tari Soreng di Istana Negara di Istana Negara agar lebih memotivasi kepada generasi kedepannya agar lebih mencintai budaya kita sendiri. Dengan begitu, mari kita jaga dan lestarikan budaya kita. Jangan malu untuk dalam menjaga seni dan budaya yang kita punya.