“Sedang Kamu Tidak Mengetahui”

Halo, aku Najua Febrian Rachmawati; remaja 19 tahun yang cenderung suka mendeskripsikan diri sebagai seorang yang “kritis dan peduli”. Sedang jika harus ngomongin kekurangan, aku rasa kalimat "susah legowo” akan menggambarkan dengan tepat remaja penggemar berat band Reality Club ini. Untuk menunjang kelebihan dan mengatasi kelemahan, pendidikan menurutku merupakan sarana yang dapat membantu, perguruan tinggi salah satunya.

Berbicara mengenai perkuliahan, aku adalah orang yang berfikir bahwa kuliah bukan hanya sekedar kebutuhan tetapi juga menjadi suatu “keharusan”. Ya, keharusan bagi seseorang yang memang “mampu” menempuhnya. Dari dulu, pandangku terkait perkuliahan tidak jauh dari kritis dan aktivis. Pandanganku tersebut juga lah yang akhirnya mengantarkanku pada suatu ketetapan bahwa ”aku harus masuk jurusan humaniora walau aku dari IPA”. Selain itu, aku juga merasa bahwa aku lebih memiliki bakat dan ketertarikan di sana.

Aku akan memulai cerita ini dengan mengatakan bahwa untuk masuk di jurusan sekarang, aku memulainya dengan cerita yang sedikit “pelik”. Berkuliah satu tahun terlebih dahulu di jurusan yang sama sekali tidak kuminati akan menjadi petunjuk awal cerita ini dimulai. Semua berawal dari kebimbanganku bahwa dalam waktu yang amat singkat, aku harus mengejar ketertinggalanku dalam materi soshum, bersaing dengan pesaing lain yang sudah belajar 3 tahun bahkan lebih. Kala itu aku benar-benar dilema antara ingin idealis atau harus realistis. Aku juga sempat memusuhi diriku sendiri karena tidak “aware” dengan masalah se-krusial ini dari awal.

Singkat cerita, aku berusaha untuk “memborong” keduanya. Mendaftar jalur rapot ke jurusan saintek D4 perguruan tinggi TOP 3 untuk realistis dan mengambil jurusan soshum pada jalur tes (SBMPTN) sebagai rasa idealis. Aku berusaha untuk keduanya. Kemudian, dengan suatu keberuntungan aku berhasil masuk ke jurusan jalur rapot tersebut. Sedikit memaksa kepada tuhan untuk dapat diterima di mana pun asal tahun ini dapat berkuliah menjadi doaku tiap hari kala itu. Bahkan saking angkuhnya, aku tidak pernah mau mengucap “beri yang terbaik” ketika berdoa sebab yang kuyakini kala itu jawaban yang terbaik sudah pasti untuk dapat berkuliah.

Setelah mengetahui aku dapat “tembus” di salah satu PTN TOP 3 tersebut, aku berlaku sedikit tidak realistis&angkuh sehingga memilih semua jurusan humaniora paling ketat pada kampus tersebut. Sampai saat pengumuman tidak diterima SBMPTN merupakan saat aku mengalami “titik terendah” kehidupanku. Aku baru menyadari bahwa aku telah kehilangan kesempatan karena sifat angkuh tersebut. Sampai akhirnya “mau tidak mau” aku harus menjalani jurusan yang sudah menerimaku.

Ketika berjalan, amat berat bagiku untuk menjalaninya. Aku juga merasa kehilangan dan tidak menemukan diriku sendiri. Berpuluh-puluh motivasi pun ternyata tidak cukup membantu. Mau dianggap berlebihan atau tidak, tetapi memang seperti itu adanya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mencoba lagi dengan lebih realistis mengingat kesempatan belajarku juga lebih kecil dibanding saat tahun pertama. Saat ini aku pun merasa amat bersyukur karena dapat menjadi bagian dari FISIP UNS. Aku merasa bahwa tuhan amat baik karena memberiku kesempatan dan menempatkanku di lingkungan dengan keluarga dan teman-teman yang suportif. Aku bukan seseorang yang agamis, tetapi setelah semua yang telah kualami aku menemukan suatu pelajaran bahwasannya tidak perlu memaksakan sebuah doa karena tuhanmu maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al Baqarah : 216).

1 Like