Berbicara tentang perempuan, kerap kali sampai pada pembahasan mengenai budaya patriarki. Sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Di kemudian hari, sistem tersebut berkembang menjadi sebuah budaya yang mendarah daging. Dalam berkembangnya budaya patriarki, perempuan merupakan sub-ordinat laki-laki. Perempuan harus selalu mematuhi laki-laki, dianggap tidak berhak untuk mengejar mimpinya atau sebatas memiliki cita-cita. Dari segala bentuk inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki, muncullah gerakan feminisme.
Feminisme merupakan sebuah ideologi dengan keyakinan bahwa perempuan menghadapi ketidakadilan lantaran jenis kelaminnya (Humm, 2007). Fokus utama pada pendekatan feminisme ialah untuk menunjukan penolakan terhadap bentuk ketidaksetaraan gender di dalam kehidupan sehari-hari. Gender merupakan sebuah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan. Sampai saat ini, masih banyak orang yang belum dapat memahami betul makna dari kata setara di antara perempuan dan laki-laki. Banyak yang masih mengkotakkan laki-laki dengan perempuan akibat kurangnya pemberian pemahaman mengenai kesetaraan gender sejak dini. Ketidaksetaraan gender sering kali terjadi, seperti halnya laki-laki dianggap lebih kuat dari perempuan.
Feminisme meneriakkan emansipasi dan sebuah bentuk protes terhadap tradisi-tradisi yang membelenggu perempuan. Tradisi-tradisi itu berkenaan dengan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Seiring berjalannya waktu, gerakan feminisme memunculkan teori-teori feminisme. Teori-teori tersebut berkembang mengikuti perubahan zaman ke seluruh penjuru dunia. Hal itu berdampak pada kemunculan tokoh-tokoh penggerak feminisme seperti Naomi Wolf, Julia Kristeva, Mary Wollstonecraft, Betty Friedan, hingga Malala Yousafzai.
Sejak kemunculannya, gerakan feminisme turut memberikan sumbangsih pada dunia kesusastraan. Banyak sekali penulis dan pengarang perempuan yang menuangkan argumennya melalui karya sastra. Hadirnya penulis dan pengarang yang mengulik feminisme di dunia sastra, memunculkan sebuah tanya. Bagaimanakah peran feminisme dalam perkembangan karya sastra, khususnya di Indonesia bahkan di wilayah Jawa?.
Munculnya banyak penulis dan pengarang perempuan, meningkatnya pembaca perempuan, serta kehadiran tokoh perempuan di dalam perkembangan karya sastra merupakan wujud penerapan dari Kritik Sastra Feminis (KSF). Luasnya bidang kritik sastra feminis tentu membutuhkan serangkaian upaya untuk mengembangkannya. Kritik sastra feminis diartikan sebagai bentuk pandangan seorang pengkritik terhadap sastra dengan kesadaran khusus, yakni kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang erat kaitannya dengan budaya, kehidupan, hingga kesusastraan. Tidak lain dan tidak bukan ialah perempuan, yang membuat perbedaan di antara diri pengarang maupun pembaca.
Culler (1983) membatasi kritik sastra feminis secara umum sebagai “membaca sebagai perempuan”. Batasan itu dimaksudkan sebagai bentuk kesadaran bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kritik sastra feminis dapat dikembangkan dengan berbagai bentuk kombinasi pendekatan kritik yang lain. Bentuk kritik tersebut didasari oleh pemahaman bahwa ada kehadiran gender dalam kategori analisis sastra, sebagai suatu kategori yang fundamental.
Hingga belakangan ini, banyak bermunculan karya sastra, penelitian, hingga karya ilmiah yang memusatkan perhatiannya pada studi feminisme. Istilah “membaca sebagai perempuan” menjadi sebuah pijakan pada kesadaran bahwa perbedaan jenis kelamin yang memengaruhi dunia sastra. Bertolak dari permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dan interpretasi makna karya sastra. Kritik mengenai feminisme berbeda dengan kritik-kritik yang lain. Permasalahan yang muncul pada kritik sastra feminis berkembang dari berbagai sumber.
Pada praktiknya, kritik sastra feminis sangat mungkin akan memperoleh tantangan dari kritikus laki-laki yang meragukan koherensi teoretik mereka. Hal itu juga dapat memunculkan anggapan bahwa kritik sastra feminis tidak jelas memisahkan perbedaan antara spontanitas kesan, impresi, dengan metodologi. Kritik sastra feminis yang diartikan sebagai “membaca sebagai perempuan” memiliki pandangan bahwa kritik itu tidak berjalan untuk mencari metodologi atau model konseptual tunggal, melainkan menggunakan kebebasan dalam metodologi dan pendekatan yang dapat membantu pelaksanaan kritiknya. Cara tersebut berpijak dari sudut pandang yang konsisten bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang memengaruhi dunia sastra.
Referensi:
Culler, J. (1983). Structuralist Poetics. London: Roudlege & Kegan Paul.
Humm. (2007). Feminist Criticism. Great Britain: The Harvester Press.
Sugihastuti & Suharto. (2016). Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.