Menjadi seorang santri yang hidup di asrama memberikan pengalaman yang penuh cerita dan kesan mendalam bagi saya. Kehidupan di pondok pesantren, dengan segala hiruk-pikuknya, memberikan warna baru dalam hidup saya yang penuh dengan pelajaran berharga. Sejak kelas enam, saya dan teman-teman sudah merencanakan sekolah untuk melanjutkan pendidikan kami. Sebagian besar dari kami memilih melanjutkan ke SMP IT Ihsanul Fikri Mungkid, sekolah swasta yang didirikan pada tahun 2002 dan terkenal dengan sistem boarding school atau sekolah berasrama dengan nilai-nilai keislaman yang kuat. Sebagai siswa dari sekolah dasar Islam swasta, pilihan ini mendapatkan dukungan penuh dari guru dan orang tua kami.
Minggu, 8 Juli 2018, menjadi hari yang sangat saya nantikan. Hari itu, keluarga mengantarkan saya ke pondok pesantren untuk memulai kehidupan baru yang tentu berbeda dan penuh harapan. Perasaan saya campur aduk, ada rasa bahagia karena bisa melanjutkan sekolah yang saya inginkan, tetapi juga sedih karena harus berpisah dengan keluarga. Awal masuk cukup berat. Rasa lelah sering datang, dan keinginan untuk pulang pun tak bisa dielakkan. Apalagi, ini adalah pengalaman pertama saya jauh dari orang tua, di mana saya harus mandiri dalam segala hal dan menghadapi kehidupan yang serba teratur. Bertemu teman-teman dari berbagai daerah dengan latar belakang budaya yang berbeda juga menjadi tantangan tersendiri. Namun, alhamdulillah, saya bisa melewati masa orientasi dengan baik dan dipertemukan dengan teman-teman yang mendukung saya untuk menjadi lebih mandiri.
Kegiatan di pondok pesantren sangat padat. Pagi-pagi sekali, sekitar jam 3, kami sudah bangun untuk melaksanakan salat malam, lalu dilanjutkan dengan salat subuh berjamaah di masjid. Sambil menunggu adzan subuh berkumandang, beberapa santri ada yang mandi atau makan terlebih dahulu, karena kami harus mengantre untuk mandi dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Setelah itu, kami bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, karena pondok pesantren tempat saya tinggal ini adalah boarding school di mana pastinya memiliki sekolah formal. Setiap kegiatan di pondok pesantren harus dilakukan dengan tertib dan mengantre, hal ini melatih saya untuk lebih sabar dalam menghadapi setiap tantangan. Hidup di pesantren memang terlihat sederhana, hanya belajar, sekolah, mengaji, makan, dan tidur. Meski begitu, ada juga yang merasa tidak betah dan memilih untuk keluar. Alhamdulillah, saya merasa nyaman dan menikmati kehidupan di asrama ini. Di sini, saya juga dipertemukan banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia.
Rasa kebersamaan ketika hidup berasrama memang sangat terasa. Saya ingat, jika waktu kunjungan tiba, pasti semua merasa senang, walaupun ada juga yang rumahnya jauh dan tidak dijenguk. Orang tua yang datang untuk mengunjungi anaknya biasanya membawa jamuan untuk anaknya dan teman-teman sekamar lainnya, jadi semuanya merasakan kebahagiaan. Selain kebersamaan yang sangat terasa, sikap kedisiplinan juga dijunjung tinggi ketika di pondok. Kami tidak diperkenankan membawa handphone agar bisa fokus untuk belajar dan menghafal al-Qur’an. Saya ingat, saat kelas 11, saya pernah membawa handphone karena merasa sangat jenuh, hehehe, tapi ketahuan dan akhirnya handphone saya disita dan tidak dikembalikan serta saya mendapat surat peringatan pertama. Berbicara tentang kedisiplinan, sebelum memasuki kelas, ada apel yang dilaksanakan pukul enam pagi. Jadi, kami harus bisa mengelola waktu agar tidak terlambat apel. Selama enam tahun hidup di pondok, saya juga belajar untuk membiasakan diri, yang sebelumnya banyak dibantu ibu, menjadi pribadi yang lebih mandiri.
Di pondok pesantren, meskipun saya tidak merasakan kasih sayang orang tua secara langsung, saya menemukan bentuk kasih sayang lain yang tak kalah istimewa. Kasih sayang ini hadir dari teman-teman yang sudah menjadi keluarga sendiri. Kami belajar berbagi dalam banyak hal, terutama dalam momen-momen sederhana, seperti saat kami makan bersama. Kebersamaan yang ada justru semakin mempererat hubungan kami dan mengajarkan untuk lebih menghargai apa yang kami punya. Saat ada teman yang sakit, kami bergantian merawat dan memastikan mereka mendapatkan perhatian, serta saling mengingatkan agar tetap semangat. Semua kegiatan di pondok dilakukan bersama-sama, mulai dari belajar, salat, hingga berbagai aktivitas lainnya. Itu semua membuat saya sadar bahwa hidup di pondok bukan sekadar rutinitas, tetapi juga tentang membangun karakter, memperkuat ikatan persaudaraan, dan menghadapi setiap tantangan bersama. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa kasih sayang dan kebersamaan hadir dalam berbagai bentuk, yang meskipun tidak selalu terlihat secara langsung, namun sangat terasa melalui tindakan-tindakan kecil yang penuh makna.
Saya sangat bersyukur dan merasa bangga bisa hidup di pondok pesantren, karena di sini saya tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan dunia, tetapi juga mendalami ajaran agama yang memperkaya hidup saya. Hidup yang sederhana dan disiplin menjadi dasar dalam segala hal, mulai dari menjaga kebersihan, kerapihan, hingga kebiasaan makan dan berperilaku dengan baik. Semua itu adalah bentuk rasa syukur saya atas karunia Tuhan yang tak terhingga. Selain itu, kami juga diajarkan untuk memiliki keteguhan hati dan kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian hidup, mulai dari kehilangan sandal, tidak mendapat jatah makan, baju yang hilang di jemuran, hingga tantangan lain yang datang silih berganti. Di pondok, kami belajar untuk selalu menghormati orang lain, berbicara dengan sopan, dan menjaga sikap dalam setiap kesempatan. Pesan penting yang saya dapatkan adalah, jangan pernah ragu untuk memulai hal baru yang bermanfaat bagi diri sendiri. Apapun rintangan yang datang, hadapi dengan keyakinan dan kesabaran. Dekatkan diri kepada Tuhan, lawan rasa takut serta buang kemalasan yang menjadi penghalang kita untuk terus berkembang.