Rumah Adat suka Dayak Huma Betang

IMG-20211130-WA0052

Dari Pulau Kalimantan, ada Rumah Betang. Warisan budaya leluhur Indonesia yang tetap terjaga hingga kini, bahkan sampai kapanpun akan terus dirawat. Rumah Betang merupakan tempat tinggal suku Dayak yang ada di seluruh Pulau Kalimantan, di Barat, Timur, Selatan, Tengah maupun Utara. Lazimnya Rumah Betang dapat banyak dilihat di perkampungan suku Dayak yang berada di sekitar hulu sungai.

Rumah Betang memiliki keunikan. Bentuknya menyerupai panggung namun dengan arsitektur rumah. Di bawahnya tertancap tiang kayu yang kokoh asli dari Kalimantan dengan tinggi kayu rata-rata 5 meter. Hampir semua bangunan Rumah Betang terbuat dari kayu yang kuat dan tergolong tahan lama, tak mudah rapuh.

Dahsyatnya, Rumah Betang bukan seperti tempat tinggal lazimnya yang ada. Panjang Rumah Betang bisa hingga 100-150 meter dan memiliki lebar mencapai sekitar 50 meter. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya; ditopang di atas kayu dengan rata-rata tingginya 5 meter. Secara sosiologis ada maksud supaya dapat dipahami dengan logis dari bentuk Rumah Betang yang “raksasa”.

Ada tiga tujuan dari suku Dayak membangun bentuk Rumah Betang dengan arsitektur berbeda dari kediaman lazimnya. Pertama; untuk menghindari kerugian akibat banjir. Secara umum, suku Dayak banyak bermukim di hulu sungai yang kapan saja dapat berisiko banjir jika air pasang.

Lalu kedua, mencari keselamatan dari binatang buas yang masih banyak berkeliaran di hutan Kalimantan. Dan terakhir, agar aman dari orang-orang jahat ingin menggangu sebab bentuk Rumah Betang begitu besar dan megah.

Bentuk Rumah Betang suku Dayak nan megah dan amat tinggi itu tentu saja membuatnya perlu menaiki anak tangga agar dapat masuk. Uniknya: dalam kepercayaan suku Dayak, anak tangga Rumah Betang harus berjumlah ganjil.

Menjadi seperti kewajiban yang tak boleh ditawar tentang jumlah ganjil anak tangga Rumah Betang. Ada banyak alasan melatari mengenai anak tangga Rumah Betang harus berjumlah ganjil. Salah satunya supaya rezeki mudah datang ke semua penghuni Rumah Betang dan dijauhkan dari kesulitan hidup.

Selain itu, tangga untuk masuk ke Rumah Betang setiap malam diangkat. Tidak ditinggal begitu saja di luar rumah oleh suku Dayak. Mereka meyakini dengan membawa masuk tangga ke dalam Rumah Betang akan terhindar dari gangguan hantu serta serangan ilmu mistik yang jahat untuk menyerang sang penghuninya.

Rumah Betang merupakan simbol kearifan lokal masyarakat adat yang ada di Indonesia. Sejuta makna terkandung di balik Rumah Betang. Untuk pembangunannya saja, hulu rumah harus menghadap ke arah matahari terbit. Bagi suku Dayak, itu menandakan bahwa mereka adalah pekerja keras. Suku Dayak harus bekerja agar bertahan hidup sejak terbitnya matahari. Sedangkan untuk hilir rumah dibuat searah dengan matahari terbenam. Secara filosofis mengartikan bahwa kerja kerja suku Dayak akan berhenti saat sore hari dan dimulai lagi besok pagi.

Di dalam Rumah Betang dapat berkumpul sekitar 5-6 keluarga yang jumlahnya mampu mencapai belasan, bahkan dua puluhan orang. Di situlah mengapa Rumah Betang mempunyai arsitektur mewah dan tinggi sebab dihuni banyak keluarga. Setiap keluarga juga memiliki layaknya sekat ruangan yang ditempatinya, ada pula kamar.

Berkumpulnya banyak keluarga di Rumah Betang adalah sebagai bentuk wujud bahwa suku Dayak hidup dalam kebersamaan, ikatan yang kuat dan tidak mudah untuk diadu domba. Dengan hidup bersama, maka sesama manusia akan lebih saling pedulu, bersikap tolong menolong dan memperhatikan. Suku Dayak tidak ingin ada anggota keluarganya merasakan kesusahan ketika hidup dalam kebersamaan di Rumah Betang.

Dengan tinggal bersama di dalam Rumah Betang, memberikan arti bahwa suku Dayak ingin selalu menciptakan kehidupan yang harmonis terhadap lingkungannya. Menujukkan bahwa suku Dayak adalah warga yang ramah sebab mampu akrab dengan siapapun melalui kehidupan serumah. Suku Dayak bahkan adalah kelompok yang bersedia membimbing sesama meskipun berbeda suku.

Rumah Betang bukan sekadar tempat tinggal otentik bagi suku Dayak. Namun di situ juga ada makna filosofis: tentang tata cara mengelola sistem kemasyarakatan. Bagaimana segala aktivitas dilakukan di Rumah Betang dengan penghuni yang banyak namun tak saling mengganggu, justru sebaliknya memberikan manfaat.

Ketika pemimpin besar keluarga di Rumah Betang (Pambakas Lewu) harus menjadi teladan terhadap banyaknya keluarga yang tinggal. Tidak bersikap egois dan berpihak. Mampu mengatur keselarasan hidup dan kepentingan masing-masing keluarga yang berbeda. Sambil tetap menjaga tradisi leluhur.