Rekonstruksi Morfemis Bahasa-Bahasa Austronesia

Rekonstruksi Morfemis Bahasa-Bahasa Austronesia

Rekonstruksi bahasa yang dilakukan secara internal untuk mencari prabahasa dari bahasa-bahasa yang sedialek. Metode perbandingan bahasa tidak hanya berkutat dengan menemukan hukum bunyi antara bahasa-bahasa kerabat atau dengan istilah kontemporer ‘menemukan korespondensi fonemis antar bahasa kerabat’, tetapi masih dilanjutkan dengan usaha mengadakan rekonstruksi (pemulihan) unsur-unsur purba, baik fonemis maupun morfemis. Rekonstruksi fonem dan morfem proto dimungkinkan karena para ahli menerima suatu asumsi bahwa jika diketahui fonem-fonem kerabat dari suatu fonem bahasa proto, maka sebenarnya fonem proto itu dapat ditelusuri kembali bentuk tuanya.

Rekonstruksi morfemis (antar bahasa kerabat), mencakup rekonstruksi atas alomorf-alomorf (rekonstruksi untuk menetapkan bentuk tua dalam satu bahasa). Dengan melakukan rekonstruksi fonemis maka berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis, yaitu memulihkan semua fonem bahasa-bahasa kerabat sebagai yang tercermin dalam pasangan kata-kata ke suatu fonem proto, maka sudah berhasil dilakukan rekonstruksi morfemis (kata dasar atau bentuk terikat), untuk menetapkan suatu morfem proto yang diperkirakan perlu menurunkan morfem-morfem dalam bahasa-bahasa kerabat sekarang. Seperti halnya dengan fonem proto, maka morfem proto ini biasanya ditandai dengan sebuah tanda asterik di depannya (*).

Kesulitan yang dihadapi dalam merekonstruksi bahasa-bahasa Austronesia (bahasa-bahasa Nusantara) yaitu tidak memiliki naskah-naskah tua, kecuali bahasa Jawa, itu pun hanya terbatas pada beberapa ratus tahun yang lalu. Tetapi penggunaan metode perbandingan bahasa justru merupakan metode yang dikembangkan untuk mengetahui tahap prasejarah bahasa. Sebab itu tidak menjadi masalah dalam bahasa-bahasa Austronesia memiliki naskah tua atau tidak. Karena dalam menyajikan rekonstruksi fonemis telah dipergunakan bahasa Barat, maka dalam rekonstruksi morfemis ini akan digunakan untuk bahasa-bahasa Austronesia, yaitu bahasa Melayu, Tagalog, Jawa, dan Batak. Berikut pasangan kata-kata yang menghasilkan sejumlah perangkat korespondensi fonemis. Di samping itu akan kita lihat bahwa prinsip mayoritas distribusi tidak selalu diperlakukan, karena harus diperhatikan pula kaidah-kaidah lain.

Glos Tagalog Melayu Jawa Batak Rekontruksi
memilih ‘pi:li? Pilih pilik pili *pilik
Kurang ‘ku:laŋ Kuraŋ kuraŋ huraŋ *kuLaŋ
hidung i‘luŋ Hiduŋ iruŋ iguŋ *iguŋ
ingin ‘hi:lam iḍam iḍam iḍam *hidam
tunjuk ‘tu:ru? Tuñjuk tuduk tudu *tuduk
taji ‘ta:ri? Taji tadi taḓi *taḓi
sagu ‘sa:gu Sagu sagu sagu *tagu

Dari data tersebut di atas dapat diturunkan beberapa korespondensi fonemis, yaitu /l-l-l-l/ yang dipantulkan dari fonem proto */1/; korespondensi fonemis /1 - r - r - r/ yang diturunkan dari fonem proto */L/; perangkat korespondensi /1 - d - r - g/ yang dipantulkan dari fonem proto */g/; perangkat korespondensi fonemis /1- ḍ - ḍ - ḍ/ yang menghasilkan fonem rekonstruksi */d/; korespondensi fonemis /r - j - ḓ - ḓ/ yang menghasilkan fonem proto */d/; dan perangkat korespondensi fonetis/r - j - d - d/ yang menghasilkan fonem proto */d/. Sementara fonem proto */g/ menurunkan perangkat korespondensi fonemis /g - g – g - g/ (Bloomfield, 1962: hal. 310).

Dari hasil rekonstruksi yang disajikan dalam contoh-contoh di atas, tampak bahwa tidak ada satu pun dari bahasa-bahasa itu lebih dekat dengan bentuk rekonstruksinya. Sebab itu haruslah dihindari anggapan bahwa salah satu dari bahasa-bahasa kerabat itu yang mewakili bahasa protonya. Bila ada kemiripan yang lebih besar antara satu bahasa kerabat dengan bahasa protonya, maka hal itu hanya berarti bahwa telah terjadi pewarisan linear dari bahasa proto ke bahasa tersebut. Bentuk-bentuk rekonstruksi itu sekedar mewakili bentuk-bentuk yang sudah tidak ada lagi. Kelompok-kelompok yang terdiri dari bahasa-bahasa yang diturunkan dari bahasa induk (parent language) yang sama disebut sebagai satu keluarga bahasa (language family).

Bahasa induk sebagai dimaksudkan di atas dapat berupa sebuah bahasa yang memiliki naskah tertulis, seperti bahasa Latin yang dianggap sebagai bahasa proto dari bahasa-bahasa Roman, atau suatu bahasa yang tidak memiliki naskah tertulis, misalnya bahasa proto Semit dan bahasa Proto Indo-Eropa. Bagi bahasa proto yang tidak memiliki dokumen-dokumen tertulis, maka kata-kata protonya adalah hasil dari rekonstruksi morfologis dari bahasa-bahasa sekarang, atau dari bahasa-bahasa tua yang memiliki naskah tertulis.

Berdasarkan metode komparatif, terdapat asumsi bahwa akan terdapat korespondensi yang teratur, karena bahasa-bahasa yang berbeda-beda itu secara teratur pula berkembang dari bahasa protonya. Tetapi harus diingat bahwa proses rekonstruksi itu dilakukan dengan mempergunakan prinsip-prinsip tertentu: kesederhanaan, penghematan, dan bahwa tidak ada faktor yang mengganggu evolusi itu, dan bahwa evolusi itu berada dalam situasi isolasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa kita menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang dihasilkan dari rekonstruksi itu mungkin tidak paralel dengan keadaan yang sebenarnya yang berlaku dalam perkembangan sejarah yang faktual. Tetapi sejauh kita belum memperoleh bukti-bukti tentang gangguan isolasi tersebut, kita tetap mempergunakan bentuk-bentuk rekonstruksi dengan sikap terbuka. Bentuk-bentuk rekonstruksi secara pasti dapat memberi implikasi tentang wujud kata-kata proto, tetapi ia bukan kata-kata proto itu sendiri. Sebab itu bentuk proto seperti *pilik atau *fisk dan sebagainya merupakan implikasi tentang wujud kata-kata proto, dan bukan kata proton sendiri.

Disarikan dari buku “Linguistik Bandingan Historis” karya Gorys Keraf, hal 59-78

DAFTAR PUSTAKA

Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama