Rasulan: Tradisi Sebagai Keagamaan Yang Menyatukan Masyarakat

Tradisi rasulan di Kabupaten Gunungkidul, yang telah ada sejak zaman pra-Islam dan terus berlanjut hingga kini, tetap dilestarikan dan terus berkembang di kalangan masyarakat setempat. Dengan masuknya Islam, tradisi ini mengalami akulturasi, khususnya dalam aspek keagamaan. Awalnya, rasulan dilaksanakan untuk menghormati kekuatan ghaib dan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Namun, seiring berkembangnya Islam, ritual ini berubah dengan menyesuaikan doa-doa yang lebih menekankan pada nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saat ini, masyarakat Muslim Gunungkidul bahkan menganggap rasulan sebagai hari raya ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha, yang mencerminkan betapa pentingnya tradisi ini dalam kehidupan mereka. Banyak warga yang merantau rela kembali ke kampung halaman hanya untuk mengikuti ritual ini, menunjukkan betapa besar arti rasulan bagi mereka.

Tradisi serupa juga ditemukan di berbagai daerah lain, meski dengan nama yang berbeda. Pada prosesi rasulan, simbol-simbol budaya lokal Jawa, seperti arakan gunungan yang berisi beragam hasil bumi seperti padi, ketan, kacang, cabai, kentang, jagung, dan lain-lain sering terlihat. Selain itu, berbagai kesenian Jawa, seperti jathilan, reog, dan wong ireng, turut memeriahkan acara tersebut.

Keyakinan masyarakat muslim Gunungkidul terhadap rasulan mendorong penelitian lebih dalam mengenai usaha mereka dalam melestarikan tradisi ini, tanpa mengesampingkan keimanan dan nilai tauhid. Banyak penelitian sebelumnya yang mengkaji rasulan dari sudut pandang pariwisata religius yang berbasis pada kearifan lokal, menyoroti potensi tradisi ini dalam menarik minat wisatawan dan memperkenalkan kekayaan budaya dan spiritual Gunungkidul.

Rasulan merupakan tradisi yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat Gunungkidul. Meskipun istilah “rasulan” terdengar serupa dengan kata-kata dalam bahasa Arab, tradisi ini di Gunungkidul tidak berkaitan langsung dengan perayaan agama seperti Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Sebaliknya, rasulan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan desa, menjadi bentuk ungkapan syukur dan pengabdian kepada Tuhan.

Rasulan merupakan perayaan yang digelar setelah panen sebagai tanda syukur atas melimpahnya hasil bumi. Tradisi ini juga berfungsi untuk menjaga kebersihan desa (merti), memohon perlindungan, dan menolak berbagai ancaman atau bahaya. Hal ini mencerminkan harapan masyarakat untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Di daerah lain, tradisi yang mirip dengan rasulan sering disebut bersih dusun. Dalam tradisi ini, terdapat berbagai kegiatan seperti kerja bakti, gotong royong membersihkan tempat umum dan makam, serta mengadakan selamatan dan kendurian. Prosesi ini diakhiri dengan doa bersama untuk leluhur, dengan harapan agar masyarakat diberkahi dengan kemakmuran, kesehatan, dan terhindar dari bencana oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kedekatan dengan Tuhan menjadi elemen penting dalam ritus rasulan, yang penuh dengan makna mistis dan spiritual. Berbagai rangkaian acara dalam rasulan seringkali melibatkan seni tradisional seperti pertunjukan wayang kulit. Tradisi ini dilaksanakan setelah musim panen kedua atau di awal musim kemarau. Menurut tokoh adat di Girisubo, tujuan dari rasulan adalah untuk memohon keselamatan dan kemudahan dalam mencari rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa, serta sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang diperoleh. Hal ini juga disampaikan oleh Sudiyanto, seorang tokoh pemuda di Desa Kepek, Saptosari, Gunungkidul.

Bersih desa atau rasulan adalah ritus yang sangat penting dalam masyarakat setempat. Ritus ini mencerminkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang, yang menunjukkan hubungan antara manusia dan alam. Rasulan juga dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan masyarakat terhadap alam yang telah memberikan kehidupan bagi mereka. Dalam pelaksanaannya, pemerintah desa membentuk panitia rasulan yang merencanakan detail acara, menentukan waktu pelaksanaan, dan menghitung biaya yang diperlukan. Wibowo, seorang pemuda dari Kecamatan Girisubo, menjelaskan bahwa setelah rencana dibuat, biaya pelaksanaan akan dibebankan kepada setiap keluarga di desa.

Di Kecamatan Purwosari, rasulan dilaksanakan dalam rangkaian acara yang bisa berlangsung selama beberapa hari. Salah satu tahapannya adalah gugur gunung, yaitu kerja bakti untuk membersihkan lingkungan, memperbaiki jalan, mengecat pagar, membersihkan makam, sungai, dan tempat-tempat persemayaman dhanyang. Sementara itu, di Giri Sobo, para sesepuh mempersiapkan sesaji dan perlengkapan lainnya untuk hari-hari berikutnya. Sesaji ini diletakkan di berbagai lokasi penting seperti pusat desa, tempat keramat, sumber air (sumur, sungai, mata air), batas desa (utara, selatan, timur, barat), serta di setiap perempatan dan pertigaan di wilayah tersebut.

Tradisi rasulan biasanya dilakukan pada panen pertama atau saat padi dipetik untuk pertama kali. Bahan sesaji yang digunakan meliputi janur kuning, bunga setaman (bunga tujuh rupa), kaca, sisir, air dalam kendhi (wadah dari tanah liat), jajanan pasar, nasi, dan pisang. Semua sesaji ini kemudian didoakan bersama-sama, dipimpin oleh sesepuh desa yang dikenal sebagai pak Kaum atau pak Modin, hingga prosesi selesai.

Setiap bahan sesaji memiliki makna tersendiri. Nasi gurih digunakan untuk menghormati leluhur, sementara ingkung melambangkan kondisi manusia saat bayi sekaligus simbol kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jajan pasar menjadi tanda harapan agar masyarakat memperoleh keberkahan, sedangkan pisang raja melambangkan doa untuk kemuliaan hidup. Nasi ambengan merupakan ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diterima, dan jenang—baik jenang merah putih yang melambangkan ayah dan ibu, maupun jenang palang—memiliki makna simbolis tersendiri dalam ritual ini.

Tradisi rasulan di pesisir Gunungkidul memiliki keunikan yang khas. Meskipun zaman terus berkembang, tradisi leluhur ini tetap terpelihara dan menjadi daya tarik bagi para pendatang. Pada malam hari, pertunjukan wayang kulit diadakan sepanjang malam, dinikmati oleh warga setempat maupun pengunjung dari luar daerah. Jika dalang yang diundang merupakan tokoh terkenal tingkat nasional, biaya untuk membayar dalang dan perlengkapan pertunjukan bisa mencapai dua puluh juta rupiah atau lebih. Namun, jika dalangnya tidak begitu terkenal, biayanya tentu lebih terjangkau. Penambahan acara lain dalam perayaan ini juga akan membuat dana yang dikeluarkan masyarakat semakin besar.

Pada hari berikutnya, serangkaian acara rasulan diisi dengan berbagai pertunjukan seni dan budaya lokal. Penampilan seperti warok, kuda lumping, dan taritarian turut menyemarakkan acara, bersamaan dengan pertunjukan seni lainnya seperti reog, jathilan, dan kethoprak. Selain itu, diselenggarakan pula kompetisi sepak bola antar dusun, voli, serta berbagai acara lainnya yang disesuaikan dengan kesiapan dan kemampuan setiap wilayah yang mengadakan rasulan. Selama tradisi ini berlangsung, masyarakat juga menyajikan hidangan spesial untuk menyambut saudara dan tetangga yang datang bersilaturahmi, dengan sajian yang lengkap dan meriah.

Sebagian kaum muda di pesisir Gunungkidul kini lebih menekankan makna kebersamaan, rasa syukur kepada Allah Swt atas berkah yang diterima, serta nilai-nilai tolong-menolong dan gotong royong, dibandingkan dengan makna mistik yang masih dijaga oleh generasi tua. Bagi mereka, yang terpenting adalah bisa berkumpul, bernyanyi, makan bersama, dan menikmati semarak acara. Meskipun belum semua pemuda memiliki pemahaman yang seragam, perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran pola pikir di kalangan mereka.

Banyak di antara generasi muda yang tidak terlalu memandang serius nilai-nilai mistik dalam ritus-ritus tradisi rasulan seperti yang dipercayai oleh generasi tua. Bagi mereka, melaksanakan ritus dan prosesi rasulan lebih dilihat sebagai kesempatan untuk berkumpul, mempererat tali persaudaraan, dan merasakan kebersamaan. Mereka mengambil makna dari tradisi ini dalam bentuk kebersamaan, seperti makan bersama, menonton, bercakap-cakap, dan silaturrahim.

Setelah kedatangan Islam, tradisi rasulan mengalami perubahan dalam hal nilai dan pandangannya. Dulu, tradisi ini berhubungan dengan kepercayaan pada roh-roh halus, dewa, leluhur, dan kekuatan mistis lainnya. Namun, para wali yang menyebarkan Islam di Gunungkidul berusaha mengubah pandangan tersebut. Dengan masuknya ajaran Islam di pesisir selatan Jawa, tradisi rasulan mulai berakulturasi dengan Islam, yang memperkaya makna dan pelaksanaan tradisi tersebut. Peran Modin pun menjadi kunci dalam menyelenggarakan rasulan, menjadikannya sebagai sarana dakwah untuk memperkuat dan menyebarkan ajaran Islam.

Tradisi rasulan di Kabupaten Gunungkidul telah beradaptasi dengan keyakinan masyarakat Muslim setempat. Meskipun begitu, tradisi tahunan ini tetap dihormati dan dipertahankan karena sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Meskipun terdapat perubahan dalam cara pandang terhadap nilai-nilai sakral yang ada dalam ritual ini, semangat untuk mempertahankan tradisi tetap terjaga. Modin, yang memimpin pelaksanaan rasulan, memainkan peran utama dalam dakwah dengan terus melestarikan dan menyebarkan nilai-nilai kearifan lokal yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Muslim di Gunungkidul.

Nilai-nilai penting dalam tradisi ini mencakup penghormatan kepada leluhur, doa untuk keselamatan, serta perlindungan dari bahaya dan roh jahat; nilai kebersamaan dan sosial, yang terlihat dalam kerjasama warga untuk membersihkan makam, memasang umbul-umbul, dan menjalin hubungan baik antarwarga; penguatan hubungan spiritual, yang tercapai melalui pelaksanaan ajaran agama dan upacara bersih desa tahunan yang mendekatkan manusia dengan Tuhan, rasa aman, di mana masyarakat berharap bisa terhindar dari wabah penyakit dan merasa terlindungi di desa mereka; serta nilai ekonomi, di mana pelaksanaan tradisi ini diyakini mampu membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan hasil panen tahun depan.