Orang yang tidak berkecimpung di dunia seni pertunjukan mestinya asing akan kata “Teater”. Hal inipun tidak dapat disangkal kebenarannya. Masyarakat awam lebih mengenal dan familiar dengan kata “Drama”. Tidak salah memang, karena keduanya memiliki banyak kesamaan dan saling berkaitan.
Namun secara bentuk pementasan, teater lebih intim secara dialog dengan sesama pemeran. Beda halnya dengan drama yang cenderung lebih bebas dikarenakan tidak ada larangan untuk berinteraksi dengan penonton. Hal ini menunjukkan perbedaan yang paling menonjol diantara keduanya.
Mengulik kembali mengenai teater yang cukup intim dengan dialog antar pemeran. Para pemeran dituntut untuk memahami maksud dari setiap dialog yang hendak disampaikan. Begitupun lawan mainnya yang harus bisa menafsirkan dan memberikan respon yang serasi. Maka terjadilah sebuah pertunjukan teater dengan pendialogan yang harmonis.
Sebenarnya cara pendialogan dalam pertunjukan teater sudah tertera pada salah satu ilmu kebahasaan. Apalagi kalau bukan cabang ilmu linguistik terkhusus pada bidang pragmatik. Jika saya berperan sebagai seorang cendekiawan, maka saya akan menggunakan kutipan dari Levinson pada tahun 1986. Levinson menyatakan bahwasannya pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain.
Untuk lebih mudahnya, pragmatik adalah ilmu yang mempelajari maksud dari setiap bahasa yang dihasilkan. Jika terdapat pertanyaan “Apa hubungannya dengan pertunjukan teater?”, sungguh tulisan-tulisan di atas tidak ada gunanya. Bagaimana tidak, setiap pendialogan di dalam seni pertunjukan memiliki maksud dan tujuan sesuai dengan peristiwa yang sedang di bangun.
Satu naskah pertunjukan memiliki banyak sekali peristiwa yang dibangun. Pada naskah “Ayahku Pulang” karya Usmar Ismail. Naskah ini sendiri sebenarnya memiliki garis cerita yang sedih, namun kesedihan tersebut dibangun layaknya sebuah batu bata dalam membuat tembok.
Terdapat suasana yang lucu dan canggung pada naskah ini. Misalnya pada percakapan Gunarto dan Ibu yang membahas mengenai perkawinan .
I B U (Agak Mengoda)
“Narto…siapa gadis yang sering ku lihat bersepeda bersamamu?”
GUNARTO (Kaget. Gugup)
“Ah…dia itu cuma teman sekerja, Bu.”
Pada percakapan tersebut terlihat jelas bahwa Ibu sedang bersenda gurau dengan gunarto karena Gunarto belum juga kawin.
Terdapat juga suasana kasmaran yang dibangun oleh curahan hati dari Ibu.
I B U
“Waktu kami masih sama-sama muda, kami sangat berkasih-kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak juga kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia kembali juga?”
Maksud dari dialog tersebut adalah untuk mengenang bagaimana kemesraan Ibu dengan Raden Saleh sebelum meninggalkannya. Namun, selain itu terselip juga bagaimana kesedihan Ibu setelah ditinggal Raden Saleh. Hal ini menunjukkan terdapat juga makna ganda dalam suatu percakapan.
Mempelajari teater tidak jauh berbeda dengan mempelajari kajian pragmatik. Hal ini tentu memiliki manfaat dalam keseharian. Sebab, seorang pelaku teater cenderung lebih kritis dalam menanggapi setiap tuturan dari lawan bicaranya. Bukankah hal tersebut juga luaran dari kajian pragmatik? Tentu, karena keduanya memang memiliki luaran yang sama.
Bisa diambil kesimpulan bahwa seni pertunjukan teater memiliki kaitan yang erat dengan kajian pragmatik. Mulai dari proses pembelajaran yang mengkaji makna setiap percakapan, hingga hasil dari pembelajaran keduanya yang menjadikan seseorang lebih kritis dalam menanggapi suatu percakapan.