Perjalanan bangsa Indonesia melalui puisi perjuangan “bunga dan tembok” karya Wiji Thukul

Wiji Thukul merupakan sastrawan dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak rakyat pada pemerintahan Soeharto atau Orde Baru. Wiji Thukul melalui karya-karya puisinya yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah pada saat itu, menjadikan dia sengsara karena dianggap ancaman bagi pemerintah. Nasibnya hingga sekarang belum diketahui keberadaannya hingga dianggap telah meninggal. Salah satu karyanya yaitu puisi yang berjudul Bunga dan Tembok. Puisi tersebut dibuat sekitar tahun 1987-1988, dan menjadi salah satu puisi dalam kumpulan puisi “Aku Ingin Jadi Peluru” Karya Wiji Thukul.
Puisi-puisi karya Wiji Thukul identik dengan kritik keras terhadap pemerintahan pada saat itu yang dianggap Wiji Thukul menindas dan merampas hak rakyat. Puisi lainnya juga berisi kritikan keras, seperti Nyanyian Akar Rumput, Kuburan Purwoloyo, Ayolah Warsini, Kemarau dan lain sebagainya.

Bunga dan Tembok
Karya Wiji Thukul

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di manapun tirani harus tumbang!

Puisi “Bunga dan Tembok” menggambarkan kesenjangan antara rakyat (kaum buruh) dengan penguasa pemerintah yang berakhir dengan perseteruan antara rakyat dengan penguasa pemerintah pada orde baru. Puisi ini sarat dengan sarkasme yang tujuannya untuk mengkritik kebijakan pemerintah pada saat itu. istilah bunga pada puisi tersebut diartikan sebagai rakyat kecil dan buruh, sedangkan tembok adalah pemerintah yang melalui kebijakan membatasi dan merampas hak rakyat.
Pada bait pertama //Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau hendaki tumbuh/ Engkau lebih suka membangun/ Rumah dan merampas tanah// menjelaskan tentang kondisi rakyat kecil yang ingin hidup dan berkembang ternyata tidak diakui oleh pemerintah. Rakyat kecil yang seharusnya diayomi dan dilindungi oleh pemerintah ternyata tidak dirasakan. Rakyat terus tergusur hingga ke pelosok-pelosok oleh gedung-gedung bertingkat yang terus diperluas.
Pada bait kedua //Seumpama bunga/ kami adalah bunga yang tak/ kau kehendaki adanya/ engkau lebih suka membangun/ jalan raya dan pagar besi// menggambarkan jarak antara penguasa dengan rakyat kecil yang begitu jauh. Penguasa tetap merasa nyaman dibalik tembok, sedangkan rakyat kecil terus terhimpit kemelaratan.
Kemudian pada bait ketiga // Seumpama bunga/ kami adalah bunga yang/ dirontokan di bumi kami sendiri// menggambarka pengarang yang merasa terusir dari negerinya sendiri. Kemerdekaan yang seharusnya nampak, nyatanya tidak nampak dan tidak dirasakan oleh rakyat kecil. Kebahagiaan yang konon akan dinikmati oleh semua rakyat karena adanya pembangunan, tetapi nyatanya tidak mereka nikmati.
Pada bait keempat baris kesatu dan kedua // Jika kami bunga/ engkau adalah tembok// penyai dengan tegas melawan kesewenang-wenangan penguasa yang menindas rakyat kecil. //tapi ditubuh tembok itu/ telah kami sebar biji-biji// menjelaskan meskipun hanya rakyat kecil akan terus berusaha menentang hingga suatu saat tembok itu akan runtuh. Bait keempat pada baris keempat, kelima dan keenam //suatu saat kami akan tumbuh bersama/ dengan keyakinan: engkau harus hancur// menggambarkan jika percik-percik api telah tergelorakan hingga keseluruh negeri, percikan tersebut akan menjadi kobaran api yang akan meruntuhkan kekuasaan para penguasa. Gambaran tersebut diperjelas pada bait terakhir //dalam keyakinan kami/ dimanapun-tirani harus tumbang!//.

  1. Diksi
    Puisi “Bunga dan Tembok” memiliki diksi yang dominan dengan penggunaan kata-kata bermakna konotatif. Artinya maknanya kias atau memiliki arti yang bukan sebenarnya. Contohnya pada kata bunga yang diartikan sebagai rakyat kecil yang haknya tertindas, sedangkan tembok adalah penguasa yang melalui kabijakannya membatasi rakyat kecil dan membuat jarak diantara keduanya.
  2. Citraan
    Citra merupakan instrumen kepuitisan yang digunakan oleh pengarang agar kata, frasa atau kalimat yang diekspresikan dapat menimbulkan gambaran visual atau imaji. Pada puisi “Bunga dan Tembok” citra yang ditampilkan yaitu citra penglihatan. Pada bait pertama telah digambarkan bagaimana kesewenangan penguasa yang mudah merampas tanah untuk dibangun rumah-rumah, sedangkan rakyat kecil terpinggirkan dan tidak diperhatikan. Pada bait kedua juga digambarkan penguasa membangun jalan hanya untuk kepentingan segelintir orang kaya, dan kata pagar besi menggambarkan jarak yang ada antara rakyat kecil dengan penguasa. Kemudian bait-bait selanjutnya lebih menggambarkan semangat perlawanan rakyat kecil yang akan terus dikorbankan hingga suatu saat kekuasaan penguasa akan hancur ditangan rakyat.
  3. Majas
    Majas atau penggantian arti yang digunakan dalam puisi “Bunga dan Tembok” didominasi dengan majas metafora dan sinekdoke. Contohnya penggunaan kata Bunga sebagai gambaran rakyat kecil dan Tembok sebagai gambaran penguasa. Namun ada beberapa kata yang menggunakan majas sinisme dan sarkasme.
  4. Verifikasi (rima dan ritme)
    Rima pada puisi “Bunga dan Tembok” tidak memliki pola yang tetap. Pada bait pertama berima a a u u a, sedangkan pada bait kedua berima a a a u i. Sama halinya dengan bait-bait selanjutnya tidak memiliki rima yang tetap. Ritme atau pengulangan bunyi, kata, frasa dan kalimat pada puisi “Bunga dan Tembok” terdapat pada bait 1, 2, dan 3, yaitu “Seumpama bunga/ kami adalah bunga yang tak kauhendaki//.

Kemudian unsur batin pada puisi “Bunga dan Tembok” terdiri tema, amanat, dan nada atau suasana. Tema dari puisi tersebut menggambarkan rakyat yang tertindas dan hak-haknya dirampas secara sewenang-sewenang melalui kebijakan yang dikeluarkan. Kemudian amanat yang terkandung yaitu sebagai rakyat kecil harus memperjuangkan hak-hak nya, sedangkan disisi penguasa pemerintah harus memenuhi dan memperhatikan hak-hak rakyat kecil. Terakhir nada atau suasana pada puisi “Bunga dan Tembok” menggunakan nada yang penuh semangat perlawanan.
Puisi “Bunga dan Tembok” dapat dibandingkan dengan puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar. Puisi “Diponegoro” dan “Bunga dan Tembok” adalah upaya menyuarakan dan merekam gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Pada puisi “Diponegoro” Chairil Anwar menyuarakan perjuangan menentang penjajahan yang dilakukan negara lain. Pada puisi “Bunga dan Tembok” justeru menggambarkan penindasan dan penjajahan yang dilakukan oleh pemerintahnya sendiri. Dalam puisi tersebut pengarang mencoba mengungkap kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Pemerintah sebagai pengayom masyarakat tidak melakukan fungsinya. Hal tersebut menimbulkam perseteruan antara rakyat dan penyelenggara negara.
Meskipun kemerdekaan telah diraih hampir setengah abad namun ternyata penderitaan rakyat kecil sepertinya tak serta merta hilang. Dalam puisi “Bunga dan Tembok” pengarang mengungkapkan penderitaannya. Begitu juga dalam puisi “Diponegoro”. Pada puisi ini pengarang jelas menggambarkan penderitaan yang dialami rakyat akibat penjajahan negara lain. Kedua puisi tersebut mengusung tema yang sama namun menggunakan gaya bahasa yang berbeda dalam pengungkapannya. Jika Chairil Anwar mendayagunakan diksi pedang dan keris dalam merepresentasikan perlawanannya, maka Wiji Thukul memberdayakan metafora bunga dan biji sebagai ancamannya.

Daftar Pustaka
Irfan, M., Mustamar, S., & Ningsih, S. KUMPULAN PUISI AKU INGIN JADI PELURU KARYA WIJI THUKUL: TINJAUAN SEMIOTIK.
Sayuti, S. A. Pengantar Kritik Sastra.
Andi, R. (2017). PUISI “DIPONEGORO” KARYA CHAIRIL ANWAR DENGAN PUISI “BUNGA DAN TEMBOK” KARYA WIJI THUKUL”: ANALISIS INTERTEKSTUAL. Kelasa, 12(2), 249-258.

2 Likes