Peran Kertas dalam Pernaskahan Nusantara

Oleh: @ayips

Nusantara dianugerahi kekayaan naskah yang luar biasa besar jumlahnya. Keberadaannya pun tak hanya di dalam negeri, namun tersebar di beberapa negara, baik tersimpan di universitas maupun perpustakaan ternama. Di dalam negeri saja setidaknya terdapat beberapa tempat penyimpanan naskah dengan jumlah yang tidak sedikit. Semisal di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia --PNRI–, setidaknya terdapat 10.000 koleksi naskah dengan beragam bahasa dan aksara.

Beberapa tempat penyimpanan naskah lainnya antara lain, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Museum Radya Pustaka Surakarta, Perpustakaan Mangkunegaran Surakarta, Perpustakaan Keraton Kasunanan Surakarta, Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya --dulu Fakultas Sastra-- Universitas Indonesia --UI–, Museum Sri Baduga Bandung, Dayah Tanoh Abee Aceh, dan beberapa lembaga lainnya yang terdapat di daerah, seperti Museum Mahameru yang berada di Kabupaten Blora Jawa tengah.

Kemudian, apakah sebenarnya hubungan kertas dengan dunia pernaskahan? Atau pertanyaan lebih mengerucut lagi, apa peran kertas dalam pernaskahan Nusantara? Sebelum mengurai pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita ulas mengenai apa sebenarnya naskah dalam konteks dunia pernaskahan Nusantara.

Naskah Sebagai Produk Kebudayaan
Ekadjati (2011) memaknai naskah sebagai tulisan pada daun, bambu, dan kertas yang dibuat dengan cara digores dengan pisau, misalnya daun lontar, dan atau ditulis dengan kalam dan tinta pada kertas. Kehadiran suatu naskah tentu tak dapat dipisahkan dengan ranah kebudayaan masyarakat pelingkupnya. Naskah Jawa berkait dengan budaya masyarakat Jawa, naskah Sunda tak dapat dilepaskan dengan budaya masyarakat Sunda, begitu pun dengan naskah-naskah daerah lainnya. Habitus komunal yang terkritalisasi habitus individual melahirkan sebuah naskah melalui praktik literasi dengan dukungan modal sang individu sekaligus ranah pelingkupnya.

Sebagai sebuah hasil kebudayaan, kebudayaan seperti apakah sebenarnya naskah itu? Samakah dengan candi? Atau barangkali lukisan? Berkenaan dengan kebudayaan, J.J. Honigman memaparkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni idea ‘ide’, activite ‘aktivitas’, dan artefact ‘artefak (Koentjoroningrat, 1990:186). Wujud kebudayaan apakah naskah itu? Mengacu pada Honigman, maka naskah termasuk ke dalam dua wujud kebudayaan sekaligus atau dengan kata lain memiliki wujud ganda. Kenapa bisa? Ihwal ini tak lepas dari wujudnya berupa artefact ‘artefak’ sekaligus idea ‘ide’.

Naskah sebagai sebuah artefak memiliki wujud, dapat dilihat dan dipegang secara nyata. Sementara itu, guna menangkap ide naskah tak cukup dilihat semata, namun diperlukan pembacaan secara massif dan mendalam. Ikhtiar pembacaan yang terintangi dinding tembok pembatas besar berupa keberjarakan aksara, bahasa, sekaligus konteks sosio-budaya. Dengan demikian, tentunya naskah tidak sama dengan candi dan lukisan yang penikmatan terhadap keduanya cukup dilakukan secara visual.

Peran Kertas dalam Pernaskahan Nusantara

Kertas bukanlah satu-satunya wahana penulisan naskah di Nusantara. Beberapa wahana penulisan naskah di Nusantara telah eksis sebelum kelahiran kertas, antara lain kayu, kulit binatang, batang bambu, dan daun lontar. Kehadiran kertas sebagai wahana penulisan naskah menggusur eksistensi wahana penulisan para pendahulunya. Ihwal ini tak lepas dari ragam keunggulan kertas dibanding wahana penulisan lainnya, seperti kepraktisan --mudah dibawa-bawa–, keawetan, dan kejelasan hasil tulisan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kertas merupakan wahana penulisan termutakhir dalam sejarah penulisan naskah di Nusantara[1].

Kertas dalam konteks pernaskahan Nusantara setidaknya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni kertas lokal dan kertas bukan lokal. Kertas lokal merupakan kertas yang dihasilkan melalui inovasi teknologi masyarakat lokal, seperti kertas daluang --Sunda–, dluwang --Jawa–. Kertas bukan lokal merupakan kertas yang dihasilkan dengan inovasi teknologi bangsa lain --Arab, Cina, Eropa-- yang didatangkan ke Nusantara melalui jalur perdagangan.

Diperkenalkannya mesin cetak ke Nusantara, khususnya di Surakarta dan beberapa kota besar lainnya di kisaran akhir abad ke-19 M, semakin menegaskan peran kertas yang tak tergantikan. Kebutuhan akan kertas guna penulisan naskah pun menjadi candu. Naskah-naskah tulisan tangan di cetak secara massal pertimbangan komersil para pemiliki modal.

Eksistensi Kertas dalam Pernaskahan Nusantara di Era Digital
Sebagai sebuah masa, era digital menjadi ihwal yang tak terhindarkan. Tuntutan kehidupan yang praktis serba instan kian mengukuhkannya. Begitu pun dengan dunia pernaskahan Nusantara, juga tak terelakkan dari jamahan era digital. Hal ini ditandai dengan maraknya program digitalisasi naskah diberbagai tempat di Nusantara sekaligus dunia guna penyelamatan naskah.

Sebelum marak program digitalisasi naskah, terdapat program penyelamatan naskah dengan cara pemikrofilman. Seiring dengan perkembangan era digital yang pesat, penyimpanan naskah melalui mikrofilm pun dirasa kurang efektif, sebab seseorang memerlukan alat bantu khusus guna melihat naskah yang tersimpan dalam mikrofilm [2]. Hal tersebut tentu cukup merepotkan. Pemikrofilman yang dianggap kurang efektif-efisien tersebut kian ditinggalkan dan tergantikan dengan program digitalisasi naskah guna penyelamatan.

Agar digitalisasi naskah mendapat hasil maksimal, kamera yang dipakai harus memenuhi spesifikasi tertentu. Proses pendigitalisasian pun tidak sembarangan. Terdapat standar operasional tersendiri untuk mendapatkan hasil pemotretan yang terbaik, seperti jarak pemotretan naskah, pencahayaan dalam pemotretan, dan ragam renik lainnya.

Tak dapat dipungkiri, penyimpanan naskah dalam bentuk digital sangat membantu para peminat pernaskahan Nusantara. Seseorang tak direpotkan dengan bentuk-bentuk pengiriman yang menelan banyak biaya, apalagi kalau pengiriman antar-negara. Naskah yang telah tersimpan dalam bentuk digital dengan mudah dapat didistribusikan melalui surel, atau semisal tidak memungkinkan maka dapat mendistribusikannya melalui bentuk keping cakram digital.

Keakurasian visual tiap-tiap halaman naskah dalam bentuk digital mendekati 99%, sehingga tingkat keterbacaannya sangat tinggi meski pembacaannya melalui PC –personal computer– sekali pun, tanpa harus mencetaknya dalam kertas. Dengan demikian, peminat naskah dengan mudah dapat membawa naskah digital kemana pun, dengan menyimpannya pada kandar kilas USB, pon-gam android, laptop, maupun cakram digital.

Tersimpannya sebuah naskah dalam bentuk digital berimbas terhadap lenyapnya daya “fisik”, “material” atau “keartefakan” yang melekat pada naskah. Dengan demikian, lenyap pula nilai-nilai kekunoan, keantikan, atau kelangkaan sebuah naskah. Ihwal tersebut dikarenakan bentuk digital yang tak terikat hukum ruang dan waktu. Keterlepasan naskah digital dari hukum ruang dan waktu berdampak pada kealfaan terhadap perubahan --baca kerusakan-- yang disebabkan usia kertas, kelembaban udara, sentuhan tangan manusia, dan berbagai faktor lainnya.

Epilog
Kertas sebagai sebuah inovasi teknologi merupakan wahana penulisan termutakhir dalam sejarah penulisan naskah di Nusantara. Kerawanan keberadaan naskah yang berwahana penulisan kertas terhadap umur kertas, cuaca, kelembaban udara, dan hal ihwal lainnya menuntut adanya ikhtiar penyelamatan naskah. Ihwal ini direalisasikan dengan pendigitalisasian naskah. Selain sebagai salah satu upaya penyelamatan, pendigitalisasian naskah juga memudahkan para peminat naskah dalam mengakses naskah sekali pun beda negara.

Ragam keefektif-efisienan penyimpanan dalam bentuk digital bukan berarti tanpa persoalan. Daya “fisik”, “material”, atau “keartefakan” naskah sebagai wujud budaya berupa artefak terpaksa lenyap dalam penyimpanan bentuk digital. Hilangnya daya keartefakan sama dengan kelenyapan ragam nilai kekunoan, keantikan, atau kelangkaan yang dimiliki sebuah naskah.

Kehadiran naskah dalam bentuk digital yang tak terikat ruang dan waktu tak mampu menggantikan pesona kertas sebagai sebuah wahana penulisan naskah yang kaya ragam dimensi budaya. Dengan demikian, naskah dalam bentuk digital tak pernah mampu sepenuhnya menggantikan naskah berwahana penulisan kertas yang memiliki keterikatan terhadap ruang, waktu, budaya, bahkan kesejarahan.

Referensi
Ekadjati, Edi S. 2005. “Melestarikan Naskah Sunda” dalam Jagat Kertas. Hal. 37-50. Bandung: Garasi 10.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Repost dari qureta.com