Banyak orang mendaki gunung demi satu tujuan, yaitu mencapai puncak. Namun, pendakian pertama saya ke Gunung Merbabu justru memberi pelajaran berbeda. Tidak semua perjalanan harus diselesaikan dengan sebuah pencapaian.
Ada kalanya kita berhenti bukan karena kalah, tetapi karena belajar untuk mendengar tubuh, memahami cuaca, dan menjaga kebersamaan. Ini adalah cerita saya tentang pendakian yang tidak sampai ke puncak, tetapi berhasil mengubah cara saya memandang arti sebuah perjalanan.
Pertama Kali Mendaki
Pendakian pertama saya bukan soal menaklukkan puncak atau memamerkan pencapaian. Pendakian pertama saya adalah tentang Merbabu, gunung yang secara perlahan memperkenalkan arti dari langkah demi langkah, udara dingin, dan makna kebersamaan dalam perjalanan yang berat.
Titik Kemah Suwanting
Pagi itu, saya berangkat bersama kakak dan dua teman kami. Dengan semangat yang tinggi dan logistik seadanya, kami memulai perjalanan menuju Basecamp Suwanting. Perjalanan menuju basecamp kami habiskan dengan banyak canda tawa, daftar putar acak dari ponsel teman, dan rasa antusias yang bercampur dengan sedikit gugup. Sekitar pukul dua belas siang, kami tiba di basecamp. Suasana di sana tenang dan sejuk, cocok untuk sekadar beristirahat dan mempersiapkan diri.
Naik Jam Satu Siang Jalur Suwanting
Setelah beristirahat dan melakukan pengecekan ulang perlengkapan, kami mulai mendaki pukul satu siang. Jalur Suwanting memang terkenal cukup terjal dan menantang, apalagi bagi pendaki pemula seperti saya. Di awal perjalanan, semangat kami masih membara. Namun, seiring bertambahnya ketinggian, kami mulai merasakan beban fisik yang nyata. Tanjakan demi tanjakan menguras tenaga, dan jalur tanah yang licin membuat langkah kami harus ekstra hati-hati.
Hujan
Hutan lebat yang kami lewati menawarkan keteduhan, tetapi juga keheningan yang kadang membuat pikiran melayang. Di beberapa titik, saya mulai meragukan kemampuan diri sendiri. Napas mulai terengah, kaki terasa berat, dan setiap lima langkah terasa seperti tantangan baru. Namun, kami tetap melangkah, pelan tetapi pasti.
Hujan Deras
Menjelang sore, cuaca mulai berubah. Langit yang tadinya cerah tiba-tiba mendung, dan tak lama kemudian hujan turun cukup deras. Kami terpaksa berhenti di tengah jalur dan berteduh seadanya di bawah pohon besar.
Hujan membuat jalur semakin licin, dan suhu udara pun turun drastis. Di tengah rasa dingin dan kelelahan, langit barat tiba-tiba memperlihatkan semburat cahaya matahari terbenam. Sunset itu terlihat di antara kabut dan rintik hujan. Pemandangan itu hanya berlangsung sebentar, tetapi sangat membekas di ingatan saya. Momen tersebut seperti pesan dari alam, meskipun kita lelah dan terjebak hujan, keindahan tetap bisa muncul kapan saja.
Camp 3 Jam Tujuh Malam
Setelah hujan sedikit mereda, kami melanjutkan perjalanan menuju Camp 3. Jalur yang kami lewati semakin berat karena becek dan licin. Langkah kami makin lambat, dan suasana hening karena semua fokus pada pijakan masing-masing. Sekitar pukul tujuh malam, kami akhirnya tiba di Camp 3 dalam kondisi gelap, dingin, dan nyaris kehabisan tenaga.
Tanpa banyak bicara, kami langsung mendirikan tenda bersama-sama. Rencana awal kami untuk melanjutkan perjalanan ke puncak dini hari itu pun terpaksa dibatalkan. Tubuh kami sudah terlalu lelah, dan cuaca pun belum cukup bersahabat.
Anehnya, saya tidak merasa kecewa. Justru ada rasa tenang saat keputusan itu diambil. Seperti ada kesadaran baru bahwa mendaki gunung bukan hanya soal puncak, melainkan tentang bagaimana kita menikmati setiap langkah, menghadapi tantangan, dan tetap menjaga kebersamaan.
Pagi Hari
Pagi harinya, Camp 3 menyuguhkan kejutan yang tak kalah indah. Kabut perlahan menghilang, memperlihatkan hamparan savana yang luas dan siluet gunung-gunung lain di kejauhan. Sinar matahari pagi memantul pada embun-embun rumput, menciptakan kilau keemasan yang luar biasa indah. Kami semua terdiam menikmati suasana itu. Tidak ada puncak, tetapi ada rasa syukur yang tak bisa dijelaskan.
Sabar dan Menghargai Proses
Pendakian ini mengajarkan saya banyak hal. Tentang kesabaran, tentang menghargai proses, dan tentang arti pulang dengan hati yang penuh meskipun tanpa foto dari puncak. Saya juga belajar bahwa alam tidak bisa dipaksa dan tubuh memiliki batas yang harus dihormati. Justru dari situlah saya merasa semakin dekat dengan diri sendiri dan dengan orang-orang yang mendampingi saya dalam perjalanan ini.
Saya mungkin tidak membawa pulang foto dari puncak Merbabu. Namun, saya membawa pulang sesuatu yang lebih dalam yaitu rasa syukur, keheningan, dan pelajaran tentang kesabaran. Pendakian ini bukan soal kalah atau gagal, melainkan tentang mengenal batas dan menikmati proses. Dan itu, menurut saya, adalah puncak yang sebenarnya.