Selasa, 23 Maret 2023 adalah hari yang akan selalu kuingat. Hari itu adalah titik di mana aku harus menentukan arah hidupku, langkah-langkah mana yang akan kutuju ke depan. Sore itu, tepat pukul 16.00 WIB, aku duduk di ruang tamu, tengah sibuk membungkus barang pesanan dalam online. Namun, pikiranku tidak bisa terfokus. Perasaan campur aduk antara kecewaa dan sakit hati menjadi satu dalam dada ku. Saat itu, hasil SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) diumumkan, dan aku harus menelan pil pahit karena ditolak.
Yang membuat hatiku semakin hancur adalah reaksi orang tuaku. Saat kutunjukkan hasilnya, dengan senyum kecut dan suara yang seolah bercanda, mereka hanya berkata, “Alhamdulillah ra keterimo.” Sebagai anak, aku hanya bisa tersenyum getir, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Dadaku terasa sesak, tetapi aku tak ingin memperlihatkan kesedihan itu. Diam-diam aku menangis, sambil tanganku sibuk bekerja, meratapi kegagalanku.
Bulan demi bulan berlalu, dan aku memutuskan untuk bangkit. Aku berusaha mencari pekerjaan. Namun, mencari pekerjaan tidaklah semudah yang kubayangkan. Lamaran demi lamaran kukirimkan ke berbagai perusahaan, berharap ada yang menerimaku. Tetapi, balasan yang kuterima selalu sama “Coba lagi lain kali, semoga beruntung.” Kata-kata itu seperti duri yang menancap di hatiku, membuatku merasa lebih tak berdaya. Namun, aku mencoba untuk tidak menyerah.
20 Juli 2023, aku mengambil keputusan besar. Aku menerima ajakan kakak sepupuku untuk pindah ke Sleman, Yogyakarta. Aku berpikir, mungkin dengan berani keluar dari zona nyaman, akan menemukan jalan baru. Di kota baru ini, aku mencoba memulai hidup yang baru pula.
10 Agustus 2023, pukul 16.00 WIB, aku mendapat pekerjaan pertama sebagai seorang pelayan di sebuah kedai seblak yang cukup ramai. Kedai itu terletak di serambi jalan, dengan lampu kuning remang, dan alunan musik yang menemani para pengunjung yang datang. Aku begitu antusias. Hari pertama kerja, aku dikenalkan oleh atasanku kepada para pegawai lain, baik yang paruh waktu maupun penuh waktu. Namanya Pak Alif, lelaki berkumis dengan suara khas Sundanya yang meliuk-liuk, sangat ramah. Beliau, menjelaskan tugas-tugas dan aturan kerja di kedaitu dengan rinci.
Awalnya, aku mengira tugas sebagai pelayan hanya mengantar makanan dan mengambil mangkuk kotor dari meja pelanggan. Namun, lebih dari itu. Di kedai seblak ini ada enam anak paruh waktu termasuk aku dan masing-masing dari kami memiliki tanggung jawab yang berbeda. Ada yang bertugas mencuci mangkuk dan gelas kotor, ada yang mengantar makanan, ada yang menjadi barista, membuat minuman yang dipesan pelanggan. Semuanya saling bahu-membahu agar kedai tetap berjalan lancar.
Aku ditempatkan di bagian pelayanan. Setiap kali ada makanan yang akan diantar, aku menyambut pelanggan dengan senyuman, dan mempersilakan mereka untuk menikmatinya. Sesekali, aku membantu di bagian mencuci mangkuk ketika sedang sepi. Tangan-tanganku yang semula lembut, lambat laun menjadi kasar karena mencuci piring berulang kali. Kadang-kadang, aku harus berdiri berjam-jam saat kedai sedang ramai, menahan lelah dan pegal.
Di hari-hari berikutnya, aku semakin mengenal teman-teman kerjaku. Ada Sale, seorang mahasiswa semester satu dari UGM. Mbak Sisil, mahasiswa semester lima yang bekerja paruh waktu untuk membantu membiayai kuliahnya. Mbak Alya dan Mas Yudha, mahasiswa semester akhir yang penuh kesibukan. Mas Yudha selalu tersenyum, meski kadang aku tahu dia sedang lelah. Namun, mereka bekerja dengan semangat tanpa memperlihatkan rasa lelahnya. Ada juga Mas Fikri, seorang mahasiswa UPN yang bercita-cita memiliki usaha sendiri suatu hari nanti. Kami sering berbagi cerita, berbagi mimpi, sambil tertawa melepas penat setelah hari yang panjang.
Suasana kedai seblak cukup ramai seperti biasa. Aku datang lebih awal seperti biasanya. Saat sedang mengambil minuman untuk diriku sendiri, salah satu pegawai penuh waktu lewat di sampingku. Dia memang selalu bersikap agak seenaknya, tetapi aku berusaha mengabaikan sikapnya yang kadang suka merendahkan.
Dengan nada bercanda yang tidak lucu, dia tiba-tiba berkata, “Eh, tahu nggak? Bentuk muka kamu loh kayak Dila, tonggos-tonggosnya sama.” Dia berkata, sambil memperagakan bentuk gigi yang dia maksud. Kalimat itu membuatku terkejut; rasanya seperti ditampar di depan umum antara sakit dan malu. Aku tahu gigiku memang tidak sempurna tetapi, mendengar perkataan yang dilontarkan terutama dari seorang laki-laki membuatku merasa sakit hati.
Aku mencoba tersenyum palsu. “Santai, cuma bercanda kok” katanya sambil tertawa. Namun, tawa itu tidak membuatku merasa lebih baik. Semakin dia tertawa, makin dalam rasa sakit hatiku. Beberapa menit setelah insiden itu, aku berusaha menenangkan diri dan kembali bekerja. Namun, tantangan hari itu belum selesai. Salah satu pelanggan yang tampak tidak sabaran melambaikan tangannya untuk memanggilku.
“Mbak, meja nomor 23 kok belum ya? Ini sudah dari tadi pesan, sudah ada setengah jam lebih,” serunya dengan nada judes. Aku tahu seblaknya baru saja dimasak dan waktu tunggu memang agak lama karena kondisi kedai ramai. Dengan penuh kesabaran, aku menjelaskan bahwa pesanannya sedang diproses. Tidak hanya satu dua pelanggan yang mengeluh aku berusaha menenangkan mereka dengan janji bahwa pesanan mereka akan segera datang.
Suatu malam, hujan deras membasahi Sleman dan kedai seblak tempatku bekerja terasa sepi. Aku berdiri di balik jendela, memandangi tetesan air, sambil merenungi perjuanganku sejak awal tahun, terutama kegagalan di SNBP dan sulitnya mencari pekerjaan. Aku masih ingat betapa hancurnya saat itu. Dan saat ini, meski hanya seorang pelayan, aku bangga karena tidak menyerah.
Saat sedang melamun, Sale, dan Mas Yudha menghampiriku. Aku bercerita tentang kegagalanku, dan keinginan untuk kuliah. Mereka mendengarkan, lalu memberikan saran. “Jangan berhenti. Pendidikan itu penting. Tahun depan ikut UTBK lagi,” kata Sale, menyemangatiku. Mas Yudha menambahkan, “Persiapkan diri lebih baik, jangan takut gagal. ”Malam itu, di tengah hujan deras, aku merasa menemukan harapan baru. Aku akan mencoba lagi. Tahun depan, UTBK menjadi langkah baruku.
UTBK telah selesai namun, lagi-lagi aku gagal. Dengan prinsip jangan takut menyerah, aku mencoba mendaftar PTN lewat jalur mandiri. Alhamdulillah, jalur ini membawaku menuju dunia perkuliahan, aku diterima di Universitas Tidar. Hidupku mungkin belum sempurna. Masih ada banyak tantangan yang harus kuhadapi. Tetapi, aku sadar selama aku mau berusaha dan tidak menyerah, langkah kecil ini akan membawaku menuju tujuan yang lebih besar. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan apa yang benar-benar menjadi tujuanku di dunia ini. Dengan begitu, aku terus berjalan dari satu langkah kecil ke langkah lainnya, sembari berbisik pada diri sendiri, “Ini bukan akhir, ini baru permulaan"