Menelisik etimologi Pawungon
Pawungon adalah salah satu tradisi masyarakat di Dusun Bancak Wetan, Krogowanan, Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jika kita membahas Pawungon, mungkin kita akan menyamakannya dengan pawongan. Akan tetapi, kedua hal tersebut berbeda meskipun hanya terhalang perbedaan satu huruf vokal saja. Jika kita mencari di KBBI, pawongan masuk ke dalam kamus tersebut yang artinya kesatuan hidup masyarakat suku Bali yang setingkat dengan desa dimana desa tersebut terdiri dari desa adat dan desa dinas. Bisa juga mengambil dari pengertian Tri Hita Karana milik masyarakat Bali yang artinya hubungan manusia dengan sesamanya.
Cukup mengenai pawongan, untuk istilah Pawungon sendiri tidak akan ditemukan di KBBI maupun kamus lain karena kosa kata ini masuk ke bahasa Jawa. Jika kita mencari di KBBI, kita dapat mengetikkan kata “wungon”. Wungon dalam KBBI artinya tidak tidur semalaman suntuk atau begadang. Pawungon sendiri merupakan kata berimbuhan atau tembung lingga (kata dasar) yang mendapat ater-ater atau imbuhan (pa-wungon).
Pawungon adalah salah satu tradisi berkumpul yang dilakukan masyarakat desa saat hajatan pernikahan. Uniknya, tradisi ini hanya dilakukan saat pernikahan saja. Tuturan lain menyebutkan bahwa Pawungon sama dengan tirakatan. Tirakatan disini bukanlah mengasingkan diri atau berpuasa tetapi dilakukan untuk mendoakan calon mempelai wanita maupun pria sesuai tuan rumahnya.
Sebenarnya, Pawungon sendiri dapat diibaratkan seperti resepsi pada siang hari. Bedanya, jika resepsi dilakukan setelah akad nikah atau pernikahan seperti biasa, maka Pawungon dilakukan di malam hari sebelum akad dilakukan. Hal ini sesuai dengan tujuannya yaitu mendoakan calom mempelai dan keluarga agar lancer dalam acara esok hari dan gemilang dalam membina rumah tangga. Selain itu, tradisi dari Lembah Merapi ini juga bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan tuan rumah sehingga bisa menyelenggarakan acara tersebut.
Pawungon ngapain aja, sih?
Kalian pasti bertanya-tanya, sebenarnya apa saja yang dilakukan selama semalaman di rumah empunya acara sehingga bisa menghabiskan semalaman itu tanpa tidur. Apakah dengan doa selama semalaman? Atau mengatakan puja-puji yang dikirim untuk Tuhan? Mungkinkah hanya duduk-duduk bercengkerama? Sebenarnya, semua itu bisa dilakukan. Bahkan perbandingan antara doa atau tirakat dengan sekadar bercengkerama malah lebih besar bagian bercengkerama.
Pawungon biasanya dilakukan oleh bapak-bapak atau para remaja laki-laki. Mereka berkumpul di tempat tuan rumah setelah ada acara “masang tratag”. Tratag adalah tenda besar yang didirikan untuk menampung tamu yang datang untuk resepsi atau hanya sekadar kondangan beberapa hari sebelum acara. Di bawah tratag tersebut, kursi-kursi plastik dan beberapa meja disusun. Penyusunan ini biasanya di depan panggung mempelai yang sudah didekorasi.
Para bapak dan remaja duduk berkumpul disana. Mereka menyampaikan doa mereka secara tersirat kepada yang punya hajat. Acara dibuka dengan salam dan sambutan dari tuan rumah, lalu pembawa acara akan memimpin doa bersama. Jika calon mempelai yang didatangi adalah laki-laki, maka dia bisa ikut dalam acara itu sekaligus menjadi tuan rumah. Apabila wanita, biasanya tidak ikut dalam acara tapi ikut menyiapkan hidangannya.
Selagi acara doa berlangsung, para ibu akan menyiapkan makanan dan minuman di belakang. Jika hidangan mbanyu mili (istilah bagi persediaan konsumsi yang melimpah) , maka akan ada gelombang hidangan. Pembagiannya yaitu, sesi satu makanan ringan dan minum, sesi dua makanan berat (nasi dan lauk) dan minum, dan sesi tiga apabila ada yang ingin menambah wedhang atau minum dan makanan ringan yang ada.
Setelah doa dan makan bersama, biasanya pada sesi 3 hidangan akan dilanjutkan dengan dialog atau tukar pendapat oleh para hadirin. Mereka akan melakukannya biasanya sampai jam 2-3 pagi. Uniknya disini, mereka tidak pernah terlihat kehabisan topik pembicaraan. Mulai dari masalah sawah, isu politik, sampai sepak bola tidak akan luput dibicarakan. Kekeluargaan yang kuat sangat terasa saat acara ini karena tidak ada debat tetapi hanya ada gegojekan atau guyonan yang saling dilempar.
Urgensi Pawungon
Tradisi malam resepsi ini memiliki banyak manfaat bagi solidaritas mekanik seperti masyarakat desa. Tidak hanya tuan rumah yang diberkahi dan mersa terbantu karena ada warga dan tetangga yang membantunya, tetapi juga para warga yang melakukan malam spesial ini karena hanya dilakukan saat hajat pernikahan saja.
Manfaat positif jelas dirasakan saat diadakannya acara ini. Kekeluargaan yang terjalin akan semakin erat. Interaksi yang terjalin saat percakapan akan menggali lebih dalam unsur-unsur lain seperti menghargai pendapat orang, belajar melihat sudut pandang orang lain, dan belajar membuka diri untuk menerima masukan orang lain. Hal ini bisa terjadi karena pada saat membahas suatu topik, maka akan muncul banyaknya perbedaan yang signifikan dalam pandangan orang.
Selain itu, Pawungon juga dapat menggerus rasa egois yang menjadi penyakit kepribadian. Rasa egois dapat membentuk kepribadian individualis dan menjadikan kita introvert sehingga menghambat perkembangan kita sendiri. Apabila terjadi dalam masyarakat, hal ini akan memengaruhi perkembangan masyarakat tersebut. Jika anggota masyarakat dibiarkan individualis, maka masyarakat akan sulit berkembang dan mudah terpecah belah.
Sebagai warga masyarakat, sudah sepantasnya bagi tiap warga untuk membaur dan gotong royong dengan warga lain untuk mempertahankan tradisi baik yang berdampak besar juga bagi persatuan Indonesia. Hal ini juga merupakan wujud implementasi dari nilai persatuan sila tiga Pancasila. Merujuk pada hal itu, masyarakat sebagai bagian dari negara juga turut berpartisipasi dalam usaha menjaga dan mempertahankan keutuhan Indonesia.