Paradigma Warga dan Hikmah Idul Adha

Perbedaan pelaksanaan Idul Adha di sejumlah daerah menyimpan paradigma tersendiri bagi sebagian masyarakat. Pernyataan seputar dasar perbedaan waktu dan hakikat sah dalam beribadah menjadi perbincangan di sela-sela antusiasme warga menyambut Hari Besar.

Suasana sukacita lebaran Idul Adha 1443 H masih melekat di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Lantunan takbir yang menggema hingga shaf-shaf yang tertata rapi di masjid hingga lapangan menandakan istimewanya Idul Adha bagi seluruh umat Muslim di dunia.

Pemotongan hewan kurban di sana sini menandakan antusiasme warga menyambut kedatangan Hari Besar yang kembali menyeruak setelah dunia dilanda pandemi dengan segala keterbatasan. Begitu juga dengan momen setelah Idul Adha yang sarat akan kuliner-kuliner khasnya, seperti sate, opor, gulai dan masih banyak lagi.

Namun, di sela-sela meriahnya perayaan Hari Besar, sejumlah paradigma muncul terkait perbedaan waktu Idul Adha, terutama menyangkut pelaksanaan Sholat Ied. Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama berdasarkan hasil sidang isbat, menyatakan bahwa Idul Adha jatuh pada Minggu, 10 Juli 2020. Sedangkan, pemerintah Arab Saudi menetapkan Idul Adha jatuh pada hari Sabtu, 9 Juli 2022. Ada juga sebagian masyarakat yang melaksanakan sholat Idul Adha pada hari Senin, 11 Juli 2022 didasarkan atas penanggalan Jawa.

Sebagian masyarakat sempat mempertanyakan apa yang melandasi perbedaan waktu tersebut, termasuk waktu untuk melaksanaan ibadah sunnah sebelumnya, misalnya puasa sunnah Arafah, dan bagaimana hakikat sahnya dalam beribadah.

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Wakiyem (50 tahun), warga Dusun Banaran, Desa Pelem, Pringkuku. “Awalnya bingung juga, kapan sholat Idul Adhanya. Di desa tetangga sholatnya hari Sabtu tapi di desa kita sholatnya hari Minggu. Tapi ya sudah, nurut wong nduwur saja.” ujarnya.

Adapun, untuk pelaksanaan puasa sunnah Arafah, Wakiyem juga hanya menyesuaikan dengan masyarakat di daerahnya. “ Kalau puasa Arafahnya, ya manut yang lain, kalau saya puasanya Hari Jumat. Tapi ada juga yang puasanya hari Sabtu, kalau ditanya sah tidaknya ya semoga sah yang penting niatnya kan karena Allah.” tambahnya.

Menengai paradigma yang beredar di masyarakat tersebut, pada dasarnya, perbedaan waktu yang terjadi tidak perlu dijadikan permasalahan. Hal ini karena perbedaan Hari Raya Idul Adha sudah kerap kali terjadi bukan hanya tahun ini saja.

Perlu diketaui, perbedaan waktu yang ada umumnya diakibatkan oleh perbedaan metode yang digunakan yaitu hisab dan rukyah. Adapun semuanya dapat dianggap sah asalkan dengan niat karena Allah.

Perbedaan waktu yang ada hendaknya tidak mengurangi makna mendalam dari Hari Raya Idul Adha sendiri. Ada banyak hikmah yang dapat kita peroleh, antara lain tentang makna keikhlasan, ketabahan, keimanan dan ketaatan pada Allah SWT, serta syiar Islam.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Namun, dengan keikhlasan dan ketakwaanya, beliau tetap melaksanakan perintah Allah tersebut. Adapun, Ismail dengan ikhlas dan tabah pula menyanggupi untuk disembelih oleh ayahnya sendiri. Hingga akhirnya Allah menggantinya dengan seekor kambing/domba.

Hikmah lain yang perlu ditanamkan dalam diri kita adalah sikap peduli pada sesama manusia, memperkukuh simpati dan empati pada manusia. Melalui Hari Raya Kurban ini, kita dilatih untuk berbagi kepada mereka yang membutuhkan sehingga kita semua bisa merasakan nikmatnya makan daging halal, dimana mungkin sebagian dari mereka ada yang tidak mampu membelinya.

Hal ini sejalan dengan ajaran Agama Islam yang memerintahkan setiap umat manusia untuk selalu berbagi kepada sesama, apalagi dengan orang-orang yang membutuhkan.

1 Like