Panjidur Langen Krido Tomo, Satu-Satunya di Indonesia

Panjidur Langen Krido Tomo, Satu-Satunya di Indonesia
Oleh: Ida Puspita Ningrum

IMG_20221205_230922_waifu2x_photo_noise3_scale
Gambar dari Move Art Dance https://youtu.be/0ny1r8qFdP0

Kesenian Panjidor atau panjidur ini pertama kali diprakarsai oleh Sastrodiwiryo. Sastrodiwiryo merupakan inisiator dalam terciptanya kesenian panjidur, dan sudah terjadi secara turun temurun. Saat ini kesenian panjidur dipimpin oleh Bapak Ponijo. Kesenian ini berdiri pada 18 Agustus 1948 di Dusun Jambon, Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian panjidur ini juga hanya ada satu-satunya di Indonesia. Kesenian panjidur ini sempat berhenti pada tahun 1960 karena situasi politik di Indonesia. Kemudian setelah tahun 1975 kembali muncul dengan gaya dan semangat yang baru. Latihan kembali dilakukan oleh anak cucu dan tetap dipertahakan oleh pendukung kesenian.

Panjidur disebut juga sebagai seni tari perjuangan lagu Sholawat Nabi dengan iringan rebana seni tradisi Jawa yang bernafaskan agama Islam. Pementasan panjidur merupakan kesenian rakyat yang ditarikan oleh penari sejumlah 12 orang. Kesenian tradisional ini pada awalnya hanya kumpulan ragam gerak yang sederhana, tanpa ada ragam gerak yang rumit, diulang-ulang, dan juga pola lantai yang sedikit. Sudah bisa dipastikan, bahwa kesenian panjidur yang berwujud tarian tradisional ini awalnya berfungsi sebagai sarana untuk berdakwah karena iringan musik yang digunakan juga sederhana dengan lantunan syair atau singir (sastra Jawa berbentuk puisi tradisional sebagai turunan dari syair) yang berisi tentang kiasan nilai-nilai agama Islam, nilai moral, serta petunjuk dan ajakan untuk menjalani hidup kearah yang lebih baik.

Uniknya, penari tersebut menggunakan kostum seperti kompeni atau prajurit dengan pakaian celana hitam, kain, ikat pinggang, sarung tangan warna putih, kaos kaki warna putih, baju putih lengan panjang, lengkap dengan aksesoris pangkat, topi pet, dan kaca mata hitam. Kebutuhan properti, meliputi senapan yang terbuat dari kayu yang bisa dibawa dan diputar, serta dapat memberikan kesan tembakan seperti senapan asli. Diiringi dengan musik jedor (bedug), kempling, rebana, saron, kenong, gong, kendang, dan perkembangannya memakai drumset dan stambul drum. Ragam gerak para prajurit kemudian dikembangkan menjadi suatu pola tari yang mempunyai simbol dan makna, sehingga walaupun terlihat sederhana, ragam gerak tersebut memberikan aksen-aksen kesenian yang semakin dinamis. Tidak hanya pola tari, pola lantainya pun turut serta dikembangkan, tidak lagi hanya sejajar dan berbaris tetapi bisa menjadi diagonal, lingkaran, pecah, serta rakit.

Pada tahun 2017 kesenian panjidur Langen Krido Tomo mendapat penghargaan Warisan Budaya Tak Benda dan diundang untuk tampil di Jakarta. Kesenian ini telah mengalami pasang surut seiring dengan kemajuan zaman dan juga karena banyaknya kesenian baru yang mulai bermunculan. Kesenian panjidur mengalami perkembangan agar bisa bersaing dengan kesenian lain. Misalnya dari segi garapan tari, iringan musik, dan dari kostum. Selain bisa ditarikan oleh penari putra, kesenian panjidur ini juga ditarikan oleh penari putri sebanyak 4 orang.

Dahulu, kesenian panjidur ini berfungsi sebagai sarana dakwah, tetapi kemudian pada tahun 1980 fungsi tersebut berubah menjadi fungsi sosial dan seni pertunjukan rakyat karena perkembangan zaman yang tidak bisa dihindari. Hal ini berpengaruh kepada masyarakat yang lebih mendahulukan aspek-aspek estetika dan kebutuhan dinamika kesenian. Pementasan ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, seorang rois memberikan aba-aba kepada penari untuk melakukan penghormatan. Bagian kedua, bagian ini merupkan inti dari pertunjukan dimana terdapat salah satu penari yang mengalami intrance. Bagian ketiga, pada bagian akhir rois kembali memberikan aba-aba kepada penari untuk memberikan salam penutup. Kesenian panjidur ini biasa ditampilkan pada acara di hari-hari besar agama, hari besar nasional, acara adat, hiburan, dan lain-lain.