Nyadran sebagai Tradisi Budaya

IMG_20211209_121621
Foto : Agus Santosa

Arti Nyadran

Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang berarti keyakinan. Tradisi ini sudah dikenal masyarakat Jawa dan hampir dilakukan di berbagai daerah.

Asal Kata Nyadran

Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang berarti ruwah syakban. Rangkaian budaya pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

Kesamaan Tradisi Nyadran

Nyadran memiliki kesamaan dengan tradisi craddha yang dilakukan pada masa kerajaan Majapahit (1284). Persamaannya yaitu pada kegiatan dengan leluhur yang sudah meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sebagai suatu bentuk penghormatan terhadap leluhur yang sudah meninggal.

Sejarah Nyadran

Masyarakat Jawa masih yakin bahwa leluhur yang sudah meninggal, sebenarnya masih ada dan mempengaruhi kehidupan yang dibawahnya. Pada abad ke-13 Islam datang, banyak tradisi Hindu-Buddha yang beralkuturasi dengan ajaran Islam.

Akulturasi diperkuat oleh Walisongo dalam dakwahnya mulai abad ke-15. Agar ritual Nyadran tidak dianggap musyrik, maka Walisongo memadankan dan mengisi dengan ajaran Islam yaitu dengan pembacaan Al-Qur’an, tahlil, dan doa. Karena pengaruh ajaran agama Islam dari sekedar berdoa, menjadi ritual penghormatan kepada bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban.

Pelaksanaan Nyadran

Nyadran dilaksanakan pada hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban.

Adapun kegiatan yang dilakukan. Pertama, menyelenggarakan kenduri dengan pembacaan ayat Al-Qur’an, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama. Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa adalah makanan tradisional.

Kedua, melakukan besik yaitu pembersihan makam leluhur yang sudah meninggal dari kotoran dan rerumputan.

Ketiga, upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di tempat makam. Dalam ziarah kubur, peziarah membawa bunga (bunga telasih). Bunga telasih sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang dipeziarahi.

Arti Simbolis Dalam Nyadran

Menurut Fandi Hutari (2009), aneka makanan, kemenyan, dan bunga yang tersaji dalam Nyadran memiliki arti simbolis, antara lain :

  1. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan dapat tercapai.
  2. Ingkung (ayam yang dimasak utuh), melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan.
  3. Pisang raja, melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia.
  4. Jajan pasar, melambangkan harapan berkah dari Tuhan.
  5. Ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan.
  6. Kemenyan, merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa.
  7. Bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus.

Aneka “bawaan” tersebut merupakan unsur sesaji sebagai landasan dalam berdoa. Setelah berdoa, makanan-makanan yang tersaji menjadi rebutan. Inilah arti kebersamaan dalam Nyadran.

Selain itu, Nyadran juga memiliki makna sosial. Masyarakat bekerja sama dalam melaksanakan Nyadran. Terdapat unsur gotong royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran menjadi tempat silaturahmi antar masyarakat.

Upacara Nyadran

Dengan mengadakan upacara Nyadran, maka akan terpenuhi kebutuhan spiritual orang Jawa, eling marang purwa duksina. Kehidupan rohani orang Jawa bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya lokal. Oleh karena itu, kehidupan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur budaya yang telah diwariskan.

Nyadran di Masa Kini

Nyadran masih tetap dipertahankan di daerah saya. Tepatnya Desa Gandul, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun. Di makam Mbah Precet atau biasa disebut Punden Sendang Mbah Precet yang merupakan leluhur pendiri Desa Gandul. Dilaksanakan pada bulan syawal, pada hari jum’at pon (pasaran Jawa) karena hari tersebut diyakini hari yang baik oleh masyarakat sejak dahulu.

Sesaji utamanya yaitu kembang telon, cucu, krupuk, kethang, mlinjo, kacang brol, panggang kampung, buceng, minyak srimpi, menyan madu, jadah kepelan, wajik, klasa, dan bantal anyar. Selain itu, syarat pelengkap seperti hasil bumi setempat : padi, palawija, sayur-sayuran, tembakau, buah-buahan, dan hasil bumi yang lainnya.

Hasil bumi yang sudah dibentuk menjadi sesaji atau buceng tersebut dikumpulkan dan diarak warga menuju punden leluhur dan kemudian didoakan sebelum nantinya diperebutkan oleh warga.

Wayangan Dalam Nyadran

Acara puncaknya yaitu wayangan di Punden Sendang Precet selama satu hari satu malam. Lakon wayang yang diceritakan yakni yang membawa dampak baik untuk kehidupan masyarakat desa. Contohnya: pertunjukan wayang Thengul, yang sering dilakonkan di Desa Gandul sejak zaman dahulu nenek moyang desa yaitu Mbah Precet. Zaman dahulu Mbah Precet sangat senang menonton wayang Thengul.

Sebagai bentuk rasa hormat kepada leluhur, digelar selamatan desa dan menanggap wayang Thengul. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat Desa Gandul hidup damai dan tenteram, diberikan kesuburan tanah, hasil panen yang baik, rezeki yang melimpah, serta kesehatan bagi masyarakat.

Lantas bagaimana sikap kita? Nyadran sudah menjadi tradisi, yang dilakukan berulang dan menjadi kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Tradisi ini harus tetap dilestarikan karena terdapat makna sakral, etika, estetika dan manfaat bagi sosial. Serta bentuk pencerminan keunikan dan identitas di setiap daerah. Sebagai generasi muda, sudah kewajiban kita untuk melestarikan budaya kita. Lebih lagi apabila kita menjadikan sebagai sarana promosi kekayaan budaya. Yuk lestarikan budaya bangsa!

Referensi :

Makalah Tradisi Nyadran. https://id.scribd.com/document/366482370/Makalah-Tradisi-Nyadran. Diunduh pada tanggal 25 November 2021 pukul 19.58 .

Kharisma, Rinta. 2018. “PENGARUH PERUBAHAN EKOLOGI TERHADAP KESENIAN WAYANG THENGUL NGAWI”. Skripsi. FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN. Surakarta : Institut Seni Indonesia Surakarta.