Mutiara hitam itu adalah timah, sejarah perkembangan timah di belitung sendiri sudah ada sejak lama yakni sejak tahun 1852. Semua berawal dari penemuan timah di belitung tahun 1823 oleh JP.De La Motte yang merupakan kapten berkebangsaan belgia dan menjabat asisten presiden di belitung. Timah itu sendiri banyak digunakan sebagai campuran beberapa komponen logam ringan seperti sisa produksi baja. indonesia memang kaya akan mineral berharga yang terbesar dibeberapa daerah, salah satunya adalah timah, indonesia sukses menjadi negara kedua penghasil timah terbesar di dunia berdasarkan U.S Geological Survey. Hal itu tidak lepas dari indonesia yang dilewati oleh jalur timah yang disebut dengan Southeast Asia Tin Belt.Provinsi yang memiliki kandungan timah terbesar ada di provinsi bangka belitung, sehingga banyak investor melakukan eksploitaasi alam terutama diwilayah belitung.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menyatakan industri pengolahan logam timah mendorong pertumbuhan ekonomi provinsi itu pada triwulan 2021 sebesar 1,36 persen, yang tumbuh melambat 0,97 persen dibandingkan triwulan tahun 2020. sejak ditetapkannya adaptasi kebiasaan baru mulai memperlihatkan sinyal positif adanya pemulihan ekonomi. Aktivitas ekonomi masyarakat berangsur-angsur mulai membaik. Kinerja industri pengolahan bijih timah membaik ini, karena harga timah dunia yang mengalami kenaikan sehingga mendorong kinerja lapangan usaha ini kembali bergeliat di negeri penghasil timah terbesar di Indonesia. Harga timah sekarang yang melonjak tinggi sekitaran 160 – 250 ribu. Masyarakat sekitar banting setir menjadi penambang timah, aktivitas penambangan laut di wilayah ini sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Namun, akitivas pertambangan ini menuai pro dan kontra. Banyak masyarakat menyangkan aktivas penambangan dapat mencemar ekosistem laut yang di mana kita ketahui bahwa pantai merupakan salah satu destinasi wisata yang banyak di kunjungi oleh wisatawan, selain itu tambang inkonvensional di darat menghancurkan hutan dan terjadi penurunan kesuburan tanah.
Keindahan pantai ini perlahan mulai menurun karena banyaknya TI (Tambang Inkonvensional) apung disekitar pesisir maupun laut. Kurangnya perhatian dari pemerintah membuat mereka bisa beroperasi sampai sekarang. Namun ada juga masyarakat yang mendukung aktivitas pertambangan tersebut. Karena dengan hasil dari mereka menambang timah mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk tiga tahun kedepan. Pada saat melakukan aktivitas penambangan timah harus menggunakan air untuk penyemprotan, kemudian air bercampur lumpur ini mengalir ke sungai-sungai, maka terjadilah pencemaran air sungai yang semula bersih dan jernih menjadi keruh bercampur lumpur. Aliran air sungai yang bermuara ke laut ini membawa sedimen lumpur ke laut mengganggu keseimbangan ekosistem di laut dan merusak keindahan pantai yang semula berpasir putih berubah menjadi kehitaman dan kotor. Salah satu kawasan penting yang sering rusak akibat penambangan timah adalah hutan mangrove atau hutan bakau.
Bangka Belitung bagai menerima buah simalakama. Sejak lama, kepulauan ini menjadi penghasil timah terbaik di dunia. Sepuluh negara, yaitu Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Jepang dan Singapura, menggantungkan pasokan timah dari sana. Mutiara hitam itu bertahun-tahun dinikmati dan membawa nama Bangka-Belitung di peta dunia. Namun dampak buruknya kini terasa. Lingkungan rusak tak terkendali, baik oleh tambang resmi maupun ilegal. Sebanyak tiga perempat dari wilayah Kepulauan Bangka-Belitung yang seluas 1,6 juta hektar, masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) skala besar dan inkonvensional. Sisanya direbut oleh industri kehutanan dan baru sebagian kecil untuk ruang hidup warganya. Tambang di darat menghancurkan hutan, sementara tambang di laut merusak ekosistem pesisir dan melenyapkan ikan. Timah di bangka Belitung bagaikan Mutiara hitam yang menerangi ekonomi dan merusak lingkungan`