Tahun 2019 lalu dunia digemparkan dengan munculnya virus yang mengakibatkan gangguan pernapasan, yaitu virus corona di Wuhan, Cina. Kemudian virus ini menyebar hingga keseluruh dunia dan masuk ke Indonesia pada Maret 2020. Munculnya virus ini mengakibatkan kehidupan sehari-hari berubah drastis, sekolah-sekolah ditutup, aktivitas sosial dibatasi, dan banyak orang harus beradaptasi dengan cara baru untuk bekerja dan berinteraksi. Pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown yang mana semua aktivitas harus dilakukan dari rumah untuk mencegah penularan COVID-19. Tetapi kebijakan ini tidak sepenuhnya terlaksana, masih banyak orang yang harus bekerja dan beraktivitas di luar.
Walaupun kebijakan ini sudah diterapkan tetapi tingkat penularan COVID-19 tidak kunjung turun, dan pandemi ini terus berlanjut hingga tahun 2021. Di tahun 2021 banyak sekolah sekolah yang mulai menerapkan sistem sesi yang mana siswa yang masuk hanya sebagian saja dan bergantian, begitu juga dengan sekolahku. Sekolahku hanya memperbolehkan siswa kelas 9 saja yang masuk untuk persiapan ujian sekolah, karena sekolahku berbasis boarding school, syarat utama untuk bisa masuk saat pandemi adalah dengan melakukan tes PCR secara berkala. Hal ini menjadi salah satu pengalaman tak terlupakan di hidupku karena aku harus melakukan tes pcr setiap bulan untuk memastikan tidak terpapar COVID-19, dan seperti yang kita ketahui tes PCR dilakukan dengan memasukkan alat tes ke hidung bagian dalam dan mengakibatkan rasa sakit, bahkan di beberapa tes hidungku sampai mengalami mimisan karena terlalu dalam memasukkan alat tes. Hal ini berjalan selama 6 bulan, setelah ujian selesai sekolahku mengadakan perpisahan dengan syarat semua tamu undangan harus sudah di vaksin dan melakukan tes PCR serta perpisahan hanya bisa dilakukan di sekolah tanpa mengundang tamu dari luar sekolah. Walaupun perpisahan sekolahku tidak begitu meriah setidaknya ada perpisahan.
Sepulang dari acara perpisahan aku merasa pusing, suhu badan naik, dan susah bernafas, tetapi saat itu tidak kepikiran kalau terpapar COVID-19 karena biasanya aku kalau sedang lelah juga begitu, tetapi beberapa hari kemudian mulai tidak bisa merasakan rasa makanan, semua yang aku makan hambar bahkan sampai mencoba makan jahe, cabai, bawang merah, dan segala bumbu dapur rasanya tetap hambar. Akhirnya aku dibawa ke rumah sakit untuk tes PCR dan ya hasilnya aku positif covid. Dokter menyarankan untuk isolasi mandiri karena gejalanya tidak terlalu parah. Ini juga menjadi salah satu hal yang tidak terlupakan dari hidupku karena aku harus menjauh dari semua orang padahal tinggal satu rumah. Dari alat makan, alat mandi, dan tempat tidur harus terpisah agar tidak menular ke keluargaku. Menurutku ini hal yang menarik dan sedikit menakutkan, menarik karena baru kali ini aku makan jahe gak ada reaksi apapun, makan cabai 3 biji sekaligus juga tidak merasakan pedas, tetapi sedikit menakutkan karena melihat di sosial media banyak berita yang menuliskan kalau saat itu banyak orang yang meninggal akibat positif COVID-19 . Setelah 1 minggu aku dinyatakan positif COVID-19, semua keluargaku disarankan untuk tes PCR dan hasilnya mereka dinyatakan positif COVID-19. Akhirnya sekeluarga harus isolasi mandiri, yang artinya sekeluarga tidak bisa keluar rumah walau hanya sekedar beli bahan makanan di warung depan rumah. Untungnya punya tetangga yang baik, mereka membantu membelikan bahan makanan, kebutuhan rumah tangga, serta obat obatan dan uangnya di transfer.
Sekitar dua minggu setelah sekeluarga dinyatakan positif COVID-19, kami kembali melakukan tes PCR dan Alhamdulillah beberapa anggota keluarga termasuk aku sudah negatif. Namun, ibu dan nenekku masih positif. Seiring waktu, kondisi mereka semakin memburuk, apalagi ibu memiliki penyakit jantung. Selama mereka masih positif COVID-19, kami sekeluarga harus melakukan tes PCR setiap minggu untuk memastikan tidak ada yang terpapar lagi. Sudah lebih dari sebulan ibu dan nenekku positif COVID-19, dan Alhamdulillah kondisi nenekku mulai membaik, bahkan sudah bisa merasakan makanan. Namun, keadaan ibu semakin mengkhawatirkan. Pada hari Minggu, nafas ibu mulai tidak teratur, kami sekeluarga panik dan berusaha mencari tabung oksigen. Sayangnya, karena banyaknya pasien COVID-19, stok oksigen habis, sehingga ibu terpaksa dibawa ke rumah sakit. Di malam hari, kondisinya mulai membaik, nafasnya kembali teratur, dan ibu bisa merasakan makanan. Namun, pagi harinya sekitar pukul 7 tante menerima telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa ibu telah meninggal. Setelah menerima berita tersebut, tubuhku langsung kaku dan susah bergerak, semua terasa seperti mimpi. Tidak lama kemudian terdengar pengumuman dari masjid yang mengabarkan bahwa ibu sudah meninggal, perasaanku semakin campur aduk. Sejak saat itu aku selalu takut mendengarkan kabar kematian karena selalu terbayang kejadian saat ibu meninggal.