Mistikum (Kepengarangan) Pram*

Mistikum (Kepengarangan) Pram*

Oleh: Arif Setyawan

image

Foto dokumen pribadi: salah satu koleksi lukisan milik PATABA Blora

“Otak manusia bekerja seperti jantung yang tak berhenti berdenyut, siang dan malam, sejak masa kecil sampai tua renta. Dalam jaringan yang besarnya kurang dari satu setengah kilogram itu, tercatat dan tersimpan berbilyun-bilyun ingatan, kebiasaan, kemampuan, keinginan, harapan, dan ketakutan. Di dalamnya tersimpan pola, suara, perhitungan, dan berbagai dorongan. Bahkan bisikan yang terdengar tiga puluh tahun yang lalu, atau kenangan kebahagiaan yang tak kunjung datang namun terus terbayang-bayang, tekanan jari yang pasti pada sebuah senar gitar, perkembangan 10.000 langkah catur, lengkungan yang persis dari sebuah bibir (Highet, 1987:41).”

Petikan esai Gilbert Highet dengan tajuk “Pikiran Manusia yang Tak Tertundukkan (1987),” ihwal pemaknaan tentang kerja otak itu tentu belumlah lapuk. Otak sebagai sarana vital manusia menuju berpikir.

Proses berpikir menuju belajar dan belajar terejawantahkan dalam perkembangan peradaban manusia terus-menerus. Peradaban tak berhenti selama manusia tidak berhenti berpikir dan belajar guna mengembangkan peradaban. Oleh karena itu, peradaban tak akan pernah menuju bentuk ideal dalam pikiran manusia. Semakin manusia berpikir tentang keidealan mengenai suatu peradaban, maka peradaban kian menjauh dari bentuk idealnya dan justru terus berkembang dalam pikiran manusia.

Berpikir & Berimajinasi
Seberapa jauh perbedaan antara berpikir dan berimajinasi? Berpikir menuntuk kerja otak. Begitu pula dengan berimajinasi. Berpikir ada dalam alam psikis manusia, tak ubahnya berimajinasi yang berlarian di alam bawah sadar.

Kemudian, hadir sebuah pertanyaan, ketika masih kanak-kanak, manusia berpikir atau berimajinasi? Proses perkembangan manusia diawali berpikir atau berimajinasi? Atau keduanya berbarengan?

Menjawab detail mengenai pertanyaan itu tentu bukan suatu yang gampang. Manusia pun dipaksa beromantisme dengan masa kanak-kanak guna menjawabnya. Romantisme yang tentu terhalang oleh benteng kedewasaan yang menjangkit tiap-tiap manusia dewasa.

Kerja Kreatif
Menyoal kerja kreatif –kepengarangan-- tentu timbul sebuah tanya, apakah kiranya yang berkelindan di dalamnya? Berpikirkah? Berimajinasikah? Atau justru keduanya?

Berpikir dan berimajinasi, tentu setiap manusia dapat melakukannya. Akan tetapi, tak semua manusia mampu melakukan kerja kreatif.

Dengan bekal 26 huruf dan dimensi pengalaman tentu setiap manusia mestinya mampu menuju kerja kreatif. Faktanya, hal itu tidak terjadi, tak semua manusia mampu melakukan kerja kreatif.

Apakah hanya manusia pilihan yang mampu melakukan kerja kretaif? Atau, kerja kreatif bersumber dari keinginan? Atau barangkali keterpaksaan?

Ketika zaman kerajaan, kita mengenal istilah pujanggapujangga keraton–. Merkalah manusia-manusia yang melakoni ritus kerja keratif. Dari mereka kita dapat bernostalgia tentang masyarakat dalam ruang budaya dan sosial pada zamannya.

Tak sebatas pada kerja kreatif memang, kehadiran pujangga keraton menduduki posisi vital. Ihwal tersebut gayuh dengan kedudukan karya sastra sebagai alat legitimasi penguasa, yang tak lain ialah para raja. Visualisasi sosok ideal sang raja dalam sebuah karya melalui ramuan kata berguna menjaga kepatuhan para kawula --rakyat jelata-- terhadap penguasa.

Hadirnya kepatuhan berimbas terhadap peminimalan terhadap potensi konflik. Walaupun tak dapat dipungkiri, dalam karya-karya itu kerap muncul “ngangahan” kesemuan sosio-kultural. “Ngangahan” itu muncul karena bangunan mitos di ruang sosio-kultural dalam sebuah karya.

Ritus Kepengarangan Pramoedya Ananta Toer
Jawa, baik sebagai area geografis maupun sosio-kultural, tentu menjadi lakon tersendiri untuk Pram. Lahir di Jawa dari keturunan bapak dan ibu yang seorang Jawa, masa kanak-kanan hingga remaja ia habiskan di Jawa, tepatnya di kota kecil bernama Blora.

Pergulatan Pram dengan Jawa, baik secara ragawi maupun rohani, menjadikan ia tak mudah melepaskan ke-Jawannya. Meskipun, dalam perjalanannya, persinggungan dengan Jawa mengantarkannya pada sikap antipati terhadap Jawa, khususnya feodalisme. Pram menolak keras feodalisme, apa pun bentuknya. Ihwal itun tentu dapat kita simak dari karya-karya awal kerja kreatifnya.

Hingga pada suatu fase kehidupan. Pram mengalami krisis jiwa yang sangat dahsyat. Sekaligus memaksanya untuk bernostalgia dengan ke-Jawaannya.

Hal ini terungkap dalam memoar kecil yang ia tulis dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang dengan tajuk “Perburuan dan Keluarga Gerilya.”

“Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga hanya boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi. Kembali jadi javanis? Buku Jawa tulisan Pak Poeh itu sejak tahun 1940 telah mengisarkan otakku dari metafisika, dan lebih banyak sebagai kuda yang harus dikendalikan. Masa baru 8 tahun sudah terjerembab dalam atavisme? Apa itu tidak memalukan? Tapi jalan hidup yang telah ditentukan dan ditempuh itu buntu. Dengan patiraga itu si kawula semua kepada-Mu; ambilah semua, bunuhlah kawula ini sekarang juga kalau memang sudah tidak berguna bagi kehidupan. Ya, memang sengaja aku hendak bunuh diri dengan patiraga (Eneste, 2009:2).”

Nukilan itu berkisah mengenai Pram dalam melakoni patiraga ketika menemui krisis jiwa. Harapan Pram untuk mati ternyata belum terpenuhi.

Suguhan jiwa seorang kawula kepad Guisti ternyata tak menuju pada alam baka, melainkan perlawanan terhadap kenyatan. Penghambaan Pram sebagai kawula itu ditebus dengan kemerdekaan terhadap diri sendiri. Ledakan kerja kreatif terjadi pada Pram, dan lahirlah anak rohani berupa tulisan-tulisan yang menempuh jalan masing-masing.

Itulah Pram, kerja kreatif tak sebatas pada otak dalam bingkai berpikir dan berimajinasi. Lebih dari itu, kerja keratif Pram merupakan sebuah mistikum penghambaan kawula kepada Gusti-nya.

*) Artikel ini merupakan terbitan ulang dari artikel dengan tajuk sama yang termuat dalam buku PRAM DALAM TUNGKU (2016).

4 Likes