Migrasi bahasa dan teori yang mendukung

Persebaran Bahasa
Persebaran bahasa melibatkan manusia dan bahasa itu sendiri sebagai pokok bahasan. Migrasi bahasa terjadi karena perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain. Berpindahnya penduduk tersebut tentu mengikutsertakan berpindahnya unsur-unsur kebudayaan dan bahasa yang ada pada diri mereka. Para penutur bahasa yang berpindah tempat tersebut akan menetap pada suatu daerah baru dan lambat laun akan memunculkan bahasa baru. Data-data kebahasaan yang membantu bagaimana “membedah” migrasi bahasa tersebut tidak terlepas dari kaitannya dengan ilmu-ilmu lain. Sebut saja ilmu antropologi dan arkeologi. Menurut Keraf (1996) Teori migrasi bahasa dapat dibatasi sebagai usaha pengumpulan asumsi, batasan-batasan, dan hipotesa-hipotesa yang membicarakan gerak dan arah migrasi bangsa-bangsa pada jaman pra-sejarah. Arah dan gerak migrasi tersebut dapat terjadi karena dua hal berikut, yaitu :
1.Sejumlah penutur suatu bahasa bergerak keluar wilayah asli, dan menduduki suatu daerah baru. Migrasi yang demikian disebut dengan migrasi positif.
2.Sejumlah penutur bahasa lain berpindah ke wilayah suatu bahasa sedemikian rupa sehingga memisahkan bahasa tadi menjadi dua daerah atau lebih. Migrasi yang demikian disebut dengan migrasi negatif. (Keraf, 1996: 174)
Wilayah yang terdapat diantara daerah-daerah bahasa yang setara itu disebut interval yang terdiri dari laut, selat, atau daerah yang didami oleh penutur non-kerabat. Daerah interval ini dapat juga disebut dengan daerah atau unit-unit penyebaran bahasa yang dilalui oleh bangsa yang bermigrasi. (Harmoko, 2015: 3)
Teori migrasi bahasa menurut Keraf (1996: 173) didasarkan pada dua dalil, yaitu sebagai berikut :
1.Wilayah asal bahasa-bahasa kerabat merupakan suatu daerah yang bersinambung.
2.Jumlah migrasi yang mungkin direkonstruksi akan berbanding terbalik dengan jumlah gerak perpindahan dari tiap bahasa.

Teori Kulturkreis
Persebaran bahasa juga dapat dilihat dari teori migrasi dari ilmu non-linguistik yang dirumuskan oleh Ahli-ahli dari Eropa Tengah, yaitu teori Kulturkreislehre. Tokoh-tokoh dalam teori ini adalah F. Graebner, Ankermann, Foy, Wilhelm Schmidt, dan Kopper. Kulturkreisme berkembang pada tempat dan waktu yang berbeda dan keseluruhan budaya terbentuk dari difusi komplek budaya. Dalam teori ini dikatakan bahwa terdapat Kulturkreis yang diartikan sebagai lingkaran kebudayaan atau bidang kebudayaan. Lingkaran kebudayaan ini terbentuk karena adanya kesamaan tertentu dalam unsur kebudayaan (trait). Terdapat dua unsur utama dalam teori ini, yaitu kriterion kualitatif dan kriterion kuantitatif.
1.Konsep dalam kriterion kualitatif adalah membandingkan dua kebudayaan yang ada pada dua daerah berdasarkan ciri masing-masing kebudayaan. Perbandingan ini berusaha membedakan ciri-ciri khusus dari setiap pokok kebudayaan. Kesamaan kualitatif yang diperoleh antara dua kebudayaan menunjukkan ada hubungan historis antara semua unsur kebudayaan tersebut. Seorang peneliti harus melihat tempat-tempat yang sekiranya memiliki unsur-unsur kebudayaan yang sama. Anggapan mengenai unsur-unsur yang sama tersebut dapat dicapai dengan pembandingan beberapa ciri-ciri atau kualitas dari unsur-unsur kebudayaan yang sama tersebut.
2.Konsep dalam kriterion kuantitaif adalah diperoleh dengan menjumlahkan semua kriterion kualitatif yang sama dari sejumlah trail yang dibandingkan. Bila unsur kesamaan itu secara kuantitatif banyak jumlahnya, maka terdapat hubungan historis yang kuat antara kedua bangsa tersebut. Dalam kriterion kualitatif, hanya ditemukan beberapa kesamaan. Sedangkan dalam krotertion kuantitatif, akan ditemukan banyak persamaan. Peneliti harus melihat apakah di suatu wilayah A terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama dengan yang terdapat di wilayah B atau C. Pembandingan terjadi berdasarkan jumlah banyak unsur kebudayaan yang sama di suatu wilayah tertentu. Tokoh-tokoh aliran ini berusaha untuk menarik garis yang menghubungkan tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan tersebut. Garis-garis tersebut dalam kenyataannya akan membentuk lingkaran yang disebut Kreis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terjadi migrasi dari Asia Tenggara ke daerah-daerah yang terbentang dari Afrika sampai Amerika Selatan.
Linguistik historis komparatif diadakan perbandingan bunyi bahasa untuk mengetahui kesamaan bidang fonologi dan morfologi, dalam metode Kulturkreislehre dicari kesamaan dalam bidang kualitatif. Sebab itu prosedur Kulturkreislehre secara metodologis paralel dengan metode genetis dalam linguistik.
Seiring berjalannya waktu, teori Kulturkreislehre dikaji lebih lanjut dan diterapkan dalam bidang bahasa. Adalah Wilhelm Schmidt, salah seorang tokoh aliran teori Kulturkreislehre yang menerapkan teori Kulturkreislehre ke dalam bahasa Australia. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui munculnya lingkaran-lingkaran kebudayaan yang muncul karena kesamaan unsur-unsur bahasa, yang disebut dengan Spachenkreis. Bahasa memberikan suatu dasar yang lebih meyakinkan jika dibandingkan dengan unsur-unsur kebudayaan lain yang non-linguistis. Bentuk bahasa yang tidak terbatas jumlahnya tetap terdapat suatu kumpulan unsur inti berupa perbendaharaan kata dan unsur gramatikal yang sangat kuat bertahan terhadap unsur-unsur luar. Bahasa sebagai kebudayaan linguistis sangat sulit dipengaruhi oleh keadaan alam sekitar yang dapat menimbulkan konvergensi. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Kulturkreislehre untuk kebudayaan linguistis lebih dapat diterima daripada kebudayaan non-linguistis.

Referensi

Harmoko, D. D. (2015). Analisa Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Komunikasi antar Negara Anggota Asean. SNIT 2015 , 1 (1), 1-6.

Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama