Istilah korespondensi bermula dari hukum bunyi yang dirumuskan oleh aliran Junggramatiker dengan tokohnya Jacob Grims. Menurut Grims, bunyi-bunyi memiliki pergeseran bunyi secara teratur antara bahasa satu dengan bahasa lain tanpa kecuali. Menurut Mahsun (1995:28-29), korespondensi dari sudut pandang dialektologi yaitu aspek linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, bahwa perubahan bunyi yang berupa korepondensi itu terjadi dengan persyaratan lingkungan linguistik tertentu. Oleh karena itu, data tentang kaidah yang berupa korespondensi tidak terbatas jumlahnya, sejumlah bentuk yang memperlihatkan lingkungan yang diisyaratkan oleh hadirnya kaidah itu. Dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi itu disebut korespondensi, jika daerah sebaran leksem-leksem yang menjadi realisasi kaidah perubahan bunyi itu terjadi pada daerah pengamatan yang sama.
Keraf (1996:49) mengganti istilah korespondensi bunyi dengan istilah korespondensi fonemis atau kesepadanan bunyi atas alasan bahwa hukum bunyi mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat. Keraf tidak menjelaskan apakah perangkat korespondensi bunyi berwujud fonetis atau fonemis. Namun, Keraf menggunakan data fonetis dalam penjelasannya. Hal itu dapat dilihat dari fakta bahwa Keraf tidak mereduksi data fonetis menjadi data fonemis sebelum melakukan rekonstruksi. Penggunaan perangkat korespondensi fonemis hanya sebatas penggunaan istilah dan tidak bermaksud bahwa data korespondensi bunyi haruslah data fonemis.
Keraf (1996:49) menjelaskan bahwa korespondensi fonemis adalah fonem-fonem yang terdapat pada posisi yang sama dalam pasangan kata yang mempunyai kesamaan atau kemiripan bentuk dan makna. Korespondensi fonemis merupakan perubahan bunyi yang muncul secara teratur dalam bahasa yang diperbandingkan. Korespondensi fonemis, selain digunakan untuk menentukan perubahan-perubahan fonemis yang teratur pada bahasa-bahasa kerabat yang diperbandingkan, juga digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan antarbahasa yang diperbandingkan.
Korespondensi fonemis dapat dilihat pada sepuluh bilangan utama dalam bahasa Indo-Eropa. Kelompok kata ini membentuk suatu perangkat yang memiliki kemiripan satu sama lain. Kesamaan antara kesepuluh bilangan utama bahasa Indo-Eropa itu bukanlah sesuatu yang bersifat kebetulan, tetapi mereka memperlihatkan suatu pantulan dari suatu perkembangan yang sama dan tidak memiliki makna tambahan atau konotasi tertentu.
Untuk menyusun atau menetapkan suatu perangkat korespondensi fonemis (bunyi) yang absah, terdapat prosedur yang harus diperhatikan untuk mendapat status yang kuat. Prosedur yang dimaksud adalah: rekurensi fonemis, ko-okurensi, dan analogi (Keraf, 1996:52).
1. Rekurensi Fonemis
Indikasi adanya perangkat korespondensi fonemis pada sepasang kata yang telah dicatat, yang harus dilakukan adalah menemukan pasangan-pasangan yang mengandung perangkat korespondensi bunyi. Rekurensi fonemis adalah menemukan perangkat bunyi itu yang muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah pasang kata yang lain. Setiap perangkat korespondensi fonemis harus diperkuat dengan sejumlah rekurensi pada pasangan kata yang lain.
2. Ko-okurensi
Ko-okurensi adalah gejala-gejala yang mirip bentuk dan maknanya, sehingga dapat mengaburkan baik kemiripan bentuk-maknanya maupun korespondensi fonemisnya dengan kata-kata lain dalam bahasa kerabat lainnya.
3. Analogi
Korespondensi fonemis biasanya mulai terjadi antarbahasa kerabat ketika muncul perubahan-perubahan. Hal ini merupakan suatu proses yang memang dapat dipahami. Namun, analogi dapat muncul dalam suatu situasi peralihan dalam hubungannya dengan bahasa-bahasa non-kerabat. Pola perubahan antara bahasa kerabat dari nonkerabat sehingga dapat diterima dalam bahasa sendiri. Penyesuaian bentuk-bentuk nonkerabat ke dalam bahasa mengikuti pola-pola korespondensi tertentu yang sebenarnya terjadi karena masalah analogi.
Disarikan dari buku “Linguistik Bandingan Historis” karya Gorys Keraf, halaman 49-57.
Referensi
Keraf, Gorys. (1996). Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT. Gramedia.
Mahsun. (1995). Dialektologi Diakronis: Pengantar. Yogyakarta: UGM Press.