Menyelami Sejarah dan Keindahan Masjid Gedhe Mataram, Warisan Kerajaan Islam

Tempat wisata religi merupakan destinasi wisata yang memiliki nilai spiritual dan keagamaan, sering kali dikunjungi untuk tujuan ibadah, refleksi, atau penghormatan terhadap tradisi keagamaan tertentu. Selain menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat - tempat ini juga menawarkan kekayaan budaya, sejarah, serta arsitektur yang menarik.


Sumber : dokumen pribadi

Salah satu tempat wisata religi di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Masjid Gedhe Mataram, tepatnya di Padukuhan Sayangan, Kalurahan Jagalan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul. Masjid Gedhe Mataram ini bisa di tempuh sekitar 20 menit dari pusat Kota Yogyakarta. Tempat wisata ini merupakan salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Islam yang arsitektur bangunannya memiliki karakter Hindu dan Islam Jawa. Namun, dengan begitu untuk memasuki tempat wisata ini tidak dipungut biaya, dan dapat diakses setiap hari mulai pukul 08.00 - 18.00 WIB.

Masjid Gedhe dibangun pada abad XVI oleh Ki Ageng Pemanahan atau Sunan Kalijaga, salah seorang wali dari Walisongo (Pudjiono, 2003). Menurut ( Wahyudi, A., 2017), peran Sunan Kalijaga dalam hal pembangunan, adalah peletak dasar konsep atau arsitektur kota Islam, teknologi bangunan masjid, perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam dan pola hidup secara Islam. Menurut Wahyudi (2017), simbolisasi Sunan Kalijaga terjadi secara transendental, melalui mimpi bermakna dalam ritual pertapaan oleh Ki Ageng Pemanahan.

Adapun Tata ruang masjid terdiri dari ruang luar dan tata ruang dalam. Tata ruang luar terdiri dari pagar pembatas. Pagar pembatas adalah dinding yang mirip dengan dinding bangunan Candi-Hindu (Uwarna, 1987). Dinding pagar keliling memiliki 3 buah Gapura sebagai pintu masuk. Gapura - gapura ini berbentuk Paduraksa , lalu untuk masuk ke halaman Masjid harus berbelok ke kanan karena ada dinding Seketeng .

Adapun di halaman Masjid Gedhe Mataram ini terdapat Monumen Tugu hijau setinggi 3m, yang mana tugu ini merupakan pertanda bahwa Pakubuwono X yang merupakan raja kasunanan Surakarta turut memperluas Masjid Gedhe Mataram ini. Bangunan masjid ini dibangun dengan gaya khas Keraton Jawa yang memperkaya suasana tradisional. Tata ruang dalam di Masjid Gedhe ini terdiri dari bangunan utama, bangunan serambi dan emper.

Dalam bangunan utama terdapat 4 Soko Guru, selain itu juga terdapat mimbar yang terbuat dari bahan kayu jati yang penuh dengan dekorasi ukiran. Mimbar ini merupakan salah satu ciri arsitektur Islam. Ketika para tukang pembangunan Masjid Gedhe Mataram membawa kayu dari Bojonegoro ke Kota Gedhe Yogyakarta, para pekerja candi di daerah Prambanan ikut serta ke kota Gedhe. Masyarakat Islam memiliki sifat terbuka terhadap budaya lain (Catharina, 2013). Maka keinginan para pekerja candi dapat diterima.

Dalam bangunan serambi sering digunakan untuk kegiatan kemaslahatan (acara ijab dan perkawinan) warga sekitar dan warga luar Kota Gedhe. Fungsi ini sesuai dengan tujuan Islam mendirikan masjid, selain untuk kegiatan sholat juga untuk kegiatan kemasyarakatan atau sidang masyarakat. Pada bangunan serambi terdapat Bedug, yang maan pemukulan bedug ini merupakan pertanda bahwa waktu sholat telah tiba.

Bangunan emper adalah bangunan lanjutan dari serambi, namun lantai emper berada pada level yang lebih rendah dari bangunan serambi. Selain itu Emper juga dikelilingi Jagang . Jagang dulunya berfungsi sebagai unsur air untuk bersuci, yang mana ini merupakan ciri bangunan pada masjid Jawa.

Oleh karena itu, akulturasi budaya yang ada di Masjid Gedhe Mataram ini terjadi pada bangunan, komponen ruang , serta perilaku. Akulturasi budaya yang ada sama sekali tidak meleburkan beberapa budaya yang ada, tetapi saling melengkapi dan hidup berdampingan. Bentuk akulturasi pada masjid ini merupakan kekayaan budaya dan arsitektur Nusantara.