Lelaki tua itu mengeluarkan sepeda berwarna biru dari dalam rumahnya. Ia kembali lagi ke dalam rumah untuk mengambil tas berisi buku catatan pinjaman uang. Ia berpamitan kepada istrinya dan mengucapkan terimakasih karena sudah dibuatkan sarapan yang enak. Kemudian ia mulai mengayuh sepedanya menyusuri gang di desanya. Pekerjaannya adalah menarik uang pinjaman yang diberikan desa kepada masyarakat yang membutuhkan. Pekerjaan ini sudah dimulai sejak tahun 2005, cukup membosankan baginya karena kesibukan yang tak pernah berhenti dari mulai ia bangun tidur hingga bersiap tidur lagi, apalagi upah yang tak sebanding dengan tenaga yang ia keluarkan. Namun, hal ini ia lakoni dengan ketulusan hati demi menghidupi dapur agar tetap ngebul.
Pekerjaannya sebagai pengurus program P2KP di desa Kalimanah Wetan, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga ini sebenarnya bukan jalan hidup yang Darsan pilih. Pada tahun 1964, saat itu ia berumur 20 tahun, ia sedang melanjutkan studi di Universitas Diponegoro jurusan Teknik Sipil. Hanya berlangsung 1 tahun ia kuliah, kemudian ia diajak temannya mengikuti pendaftaran TNI di Semarang. Sebenarnya cita-cita menjadi seorang abdi negara tak pernah ia bayangkan sejak ia duduk di bangku Sekolah Rakyat. Ajakan temannya itu membuka pikiran Darsan agar bisa menjalani hidup dengan menghasilkan uang dari keringatnya sendiri. Alhasil, ia diterima dan kemudian mengikuti pendidikan basis militer di Klaten Jawa Tengah.
Selama 1 tahun ia menempuh pendidikan itu hingga lulus kemudian ia salah satu prajurit yang terpilih oleh pelatihnya untuk melanjutkan pendidikan khusus. Pendidikan ini dilakoni untuk naik menjadi prajurit artillery. Selesai melakoni pendidikan, ia kemudian ditugaskan di Pangkalan Udara Militer Maospati Madiun, Jawa Timur. Pada tahun 1965 meletus sebuah gerakan yang disebut G30S/PKI. Darsan dialih tugaskan menjadi pengawal orang-orang yang dicurigai menjadi pengikut Partai Komunis Indonesia. Setiap malamnya rata-rata ia mengawal 2 truk yang menuju hutan belantara. Malam yang begitu sunyi dan hanya ada penerangan dari lampu truk yang ia kawal. Suara-suara tangisan orang dari dalam truk menyelimuti malam. Pakaian yang tak kebal dari hawa dingin masih melekat di tubuh orang-orang yang menurut Darsan tak bersalah. Darsan begitu iba melihat gerombolan itu. Ia membayangkan ketika ia berada di posisi orang-orang itu.
Mesin truk berhenti tepat di ujung jalan. Sudah ada pasukan keagamaan yang dididik militer menyambut mereka. Rombongan disuruh turun dengan posisi kedua tangan di belakang. Mereka semua berbaris, berdiri tegap tapi tidak tegap. Darsan berada paling belakang menjaga barisan tersebut, ia tak mengeluarkan sedikitpun kata. Yang ia tatap hanya bayangan orang-orang yang berdiri lalu tersungkur entah kemana. Api di sumbu obor dimatikan, mesin truk mulai dinyalakan meninggalkan sisa-sisa tangisan.
Pada tahun 1968 ia dipindahkan tugas ke Kalimantan. Disana tugasnya adalah membantu pasukan infantry untuk bergerak. Bertugas di Kalimantan selama 6 bulan kemudian ia pindah tugas lagi ke Madura. Di Madura ia bertugas menjaga pelabuhan. Singkat cerita ia bertemua seorang perempuan cantik. Saat itu dia sedang menjaga pelabuhan dan datang seorang perempuan dengan adiknya melihat kapal-kapal disana. Darsan memperingati agar mereka tidak terlalu dekat dengan air karena membahayakan keselamatannya. Kemudian pertemuan-pertemuan itu terjadi berulang. Pada suatu malam, Darsan bertemu dengan perempuan tersebut untuk menyatakan perasaannya. Tak disangka perempuan itu memiliki rasa yang sama dengan Darsan pada saat awal pertemuan mereka. Menjalin hubungan pacaran tak lama, Darsan menikahi perempuan tersebut dan mereka menjalin kehidupan rumah tangga yang harmonis. Anak pertama mereka lahir pada tahun 1970.
Bulan Juni 1970, presiden pertama Republik Indonesia meninggal dunia dan jasadnya dibawa ke Blitar Jawa Timur untuk dimakamkan. Darsan mendapat tugas untuk menjaga perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Begitu ramainya rombongan yang mengawal Soekarno ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sikap tegap sempurna ia berikan kepada presiden pertama yang membawa Indonesia merdeka.
Pada tahun 1971, Darsan yang sedang bertugas di pelabuhan mendapat panggilan dari komandan CPM (Polisi Militer) untuk menuju ke Batalion. Darsan mengikuti perintah tersebut. sesampainya di Batalion ia diberitahu bahwa pendidikan yang diikuti di Klaten pada tahun 1964 mengandung ajaran Marxisme dan Leninisme yang diberikan oleh pelatihnya. Darsan kebingungan karena yang dia ingat selama pendidikan tak pernah ia mendapat ajaran seperti itu. Yang ia patuhi sebagai militer maka harus patuh terhadap perintah guru dan komandan. Darsan dibawa ke Semarang bersama rekannya. Disana ia mendapati rekan yang dulu pernah mengikuti pendidikan bersama di Klaten. Tanpa masuk ruang pengadilan, Darsan langsung masuk ke sel tahanan. Beruntungnya dia di dalam penjara tak pernah mendapatkan siksaan.
Waktu berjalan selama 7 tahun, ia meninggalkan anak istri di rumah. Ia pernah mendapatkan surat dari istrinya di Madura, bahwa istrinya sangat kecewa. Semua isi suratnya hanya sumpah serapah dan ia tak bisa memaafkan Darsan. Semua surat pendidikan apapun yang berkaitan dengan TNI dibakar habis oleh istrinya. Rasa takut juga membayangi istri Darsan, apalagi anaknya yang masih kecil. Masa-masa suram di penjara sudah habis, kini Darsan sudah bebas dari jeruji besi yang menghalangi langkahnya. Ia pulang dengan bus yang hanya dibayar dengan surat bebas penahanan sementara dari penjara. Perjalanan panjang ia lewati dengan kepulan asap hitam yang seringkali terhirup oleh hidungnya. Sesampainya masuk di Purbalingga, ia turun tepat di depan pintu masuk kodim Kalimanah. Ia langsung memberikan laporan perjalanannya dari Semarang dengan menunjukan surat bebas dan surat ijin jalan. Laporan diterima dan Darsan meninggalkan tentara yang berjaga.
Ia kembali ke rumahnya, mendapati orang-orang sekitar yang heran akan kedatangan Darsan. Pada awalnya warga setempat tak mengira, Darsan yang dikenal sebagai orang yang cerdas dan jujur tergolong sebagai orang yang mengikuti PKI. Darsan hanya tertunduk lemas masuk ke dalam rumahnya menghampiri orang tuanya yang sudah renta. Haru tangis pecah dalam rumah dari kayu di ujung selatan Purbalingga. Derap langkah sepatu tegas, baju doreng, dan senjata kini sudah tak diharapkan lagi oleh Darsan. Siapa mengira nasibnya akan seperti ini?
Waktu berjalan bersama ingatan Darsan yang menyakitkan. Darsan terpilih menjadi ketua RT 02 RW 02 Desa Kalimanah Wetan. Pada awalnya ia tak menyanggupi karena merasa minder bahwa dia adalah orang yang dicap salah oleh negara. Ia menunjukkan KTPnya yang berlabel ET dibelakang. Namun, warga setempat tak menghiraukan itu karena mereka menganggap Darsan adalah orang yang jujur, cerdas dan bertanggung jawab. Maka dari itu, resmilah ketua RT sebagai pekerjaan Darsan. Darsan juga memiliki pekerjaan pokok sebagai penjahit. Keahlian menjahit sudah ia tekuni sejak ia masih di asrama TNI dulu. Kini dari sisa-sisa hidupnya ia abdikan ke desanya sebagai pengurus program P2KP dan memberikan jasa sebagai penjahit kepada orang-orang. sudah tak ada yang diharapkan lagi dari negara seperti uang pensiunan. Mau bagaimana lagi hidup ini jika terus bergantung pada negara yang tak jelas? Bukankah sia-sia perjuangannya mengabdi kepada negara? Siapa yang salah? Firman F. W.