Kala itu, sore hari di hari Kamis, tepatnya tahun 2021, tersebar pengumuman kelulusan siswa- siswi SMP di seluruh Indonesia secara online melalui via email. Tidak ada euforia seperti pengumuman kelulusan pada umumnya, tidak ada perasaan berdebar yang menggema di dalam hati karena kita tahu bahwasaanya pemerintah akan meluluskan semua siswa di seluruh Indonesia, tidak ada perayaan perpisahan, maupun foto bersama sekelas atau sekedar video kenang- kenangan dengan menyanyikan lagu khas perpisahan sekolah.
Pandemi Corona yang menjanjikan libur dua minggu itu hanya omong kosong belaka, kenyataannya, kita dipaksa untuk melakukan aktivitas di rumah selama dua tahun lebih, baik itu bekerja, sekolah, bisnis, dan segala macam aktivitas lainnya yang memicu masa banyak orang. Hal tersebut seperti halnya pisau bermata dua; apakah pandemi yang terjadi akan menjadi serangan untuk kita dengan kita pasrah terhadaap keadaan yang ada, atau memaksimalkan waktu kita di rumah dengan melakuakan hal- hal baru agar tetap bertahan di era gempuran virus Corona yang menerjang tak hanya di Indonesia namun di seluruh belahan dunia.
Namun, pada realitanya aku termasuk bagian dari opsi dua. Aktivitasku sebagai pelajar di masa pandemi Corona hanyalah mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru melalui Classroom, mengikuti pembelajaran via Zoom, menyimak link video YouTube yang dibagikan, atau tugas paling menyebalkan adalah menjadi YouTuber dadakan karena tak sedikit tugas yang diberikan adalah dalam bentuk projek video. Aktivitas yang dibatasi tersebut terkadang membutku merasa depresi dan merasa kurang berguna. Hingga akhirnya atas dorongan dari diri sendiri dan pemaksaan dari orang tua aku memutuskan untuk masuk ke sebuah pesantren di salah satu kota di Jawa Tengah.
Awalnya, aku sangat ragu akan keputusan yang aku pilih ini. Apakah aku mampu menjalani hari- hari di pesantren dengan segala kesibukannya tanpa kedua orang tua serta kakakku? Secara, aku adalah seorang anak bungsu yang masih suka menangis akan hal- hal kecil dan sangat ketergantungan dengan mereka. Akan tetapi, setelah aku melihat lagi betapa bahagianya mereka mendengar bahwa si bungsu ini akan masuk pesantren, dan sejumlah biaya yang mereka keluarkan untukku, sehingga aku semakin yakin akan keputusan ini. Aku percaya bahwa ini adalah sebuah hidayah dan takdir yang diberikan Tuhan kepada orang- orang pilihan, dan aku berharap aku adalah bagian dari orang- orang terpilih tersebut.
Setelah melewati regulasi dan persiapan yang cukup panjang, mulai dari pendaftaran secara online, dan tes yang dilakukan di rumah melalui Google Form yang dibagikan panitia, serta menyiapakan alat- alat perlengkapan seperti sarung, handuk, baju putih, buku, alat tulis dan perbekalan yang aku bawa untuk bertahan hidup disana selama tiga tahun. Tibalah saatnya aku berangkat menemui suatu tempat yang katanya adalah sebuah “penjara suci”. Sebelum memasuki mobil, aku menyempatkan melihat sudut demi sudut rumah, bahwasanya aku akan meninggalkan rumah nyaman ini tuk sementara waktu, aku menguatkan diriku dengan mengatakan “sementara waktu” karena setelah tiga tahun, aku akan pulang lagi ke rumah ini, toh dalam setahunnya aku mendapatkan jatah libur dua kali yaitu libur Desember dan Hari Raya Idul Fitri. Ketika di dalam mobil ibuku berpesan. “ Semangat nggih dik, disana. Diniatin kamu disana untuk tholabul ilmi ngaji dengan sekolah, bukan sekolah dengan ngaji untuk mengharapkan berkah dan ridha para guru sehingga kamu dapat ridhanya Gusti Allah juga nggih, ” pesannya kepadaku yang masih aku ingat hingga sekarang
Sesampainya disana, aku melakukan konfirmasi kedatangan kepada mbak- mbak pengurus yang bertugas. “ Zahra Khoirun Nisa santri asal Magelang, SMA IPS” jawabku ketika aku ditanya oleh mbak- mbak yang bertugas tersebut. Karena situasi sedang pandemi, rasa tangis yang aku tahan sejak awal pun tidak terbendungkan lagi, aku menangis sejadi- jadinya bahwa aku tidak mau berada di sebuah tempat yang katanya “penjara suci”. Namun, mau bagaimanapun aku membrontak dan menangis, hal tersebut tidak akan mengubah pilihan yang telah aku tentukan, aku harus bertanggung jawab akan putusan yang aku ambil.
Sebulan pertama adalah masa- masa adaptasi dan perkenalan dan ditambah dengan beberapa culture shock yang jelas aku terima. Tetapi, dengan adanya teman- teman yang sangat baik ,saling mendukung dan menguatkan, hal tersebut menjadi tidak terasa. Ketakutan- ketakutan yang selalu melintas difikiranku setelah aku mencoba menghadapinya, ternyata tidak seburuk ekspektasiku sebelumnya, sehingga hari- hariku di pesantren sangat menyenangkan walaupun dengan kesibukan mengaji, sekolah, dan kesibukan pribadi yang harus dijalankan seperti mencuci, menyetrika baju, makan seadanya, piket , kehilangan barang, dan segala huru- hara kepesantrenan, Namun, aku sangat menikmati menjelani aktivitasku tersebut.
Menurutku, anak- anak pesantren sangatlah keren dan hebat mereka mampu menyeimbangakan antara pendidikan agama dan pendidikan formal. Tidak hanya mengejar dunia, namun juga akhirat. Selain itu, di pesantren aku mendapatkan ilmu yang belum tentu aku dapatkan di dunia luar, yaitu mengenai ilmu kehidupan. Pesantren ibarat miniatur kehidupan, yang akan kita jalaninya setelah kita lulus dari pesantren nantinya. Hidup berasama- sama dalam satu atap dari berbagai macam daerah yang berbeda tentunya memiliki karakteristik sifat yang beragam, mengajarkanku bagaimana aku menghadapi orang- orang yang akan aku temui besok di masa depan. Ilmu dalam mengantri, berbagi, dan mandiri adalah bekal yang dibawa untuk menyelami kehidupan yang sebenarnya.
Banyak tokoh hebat dari dunia pesantren yang membuktikan bahwa mereka bisa bersaing di kancah global, salah satunya adalah beliau Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia keempat, yang memiliki latar belakang Pendidikan pesantren. Kiprah beliau menegaskan bahwa lulusan pesantren tidak hanya memiliki kedalaman spiritual menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu menembus batas-batas modernitas dan berkompetisi di dunia modern dan global. Keberhasilan beliau adalah bukti nyata bahwa pendidikan pesantren mampu melahirkan pemimpin-pemimpin visioner yang siap menghadapi tantangan dunia yang terus berkembang.