Menilik Realitas dibalik Kamboja diatas Nisan: Fenomena atau Budaya?

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata kamboja? Yap, bunga yang indah tersebut
menjadi topik utama dalam cerpen ini. Saat membaca pertama kali kami sedikit terkecoh
pada judulnya, Cerpen ini bukanlah menceritakan bagaimana bentuk keindahan dari bunga
tersebut, tetapi bagaimana kita akan melihat fakta dalam masyarakat. Tentunya fakta
tersebut bukanlah hal yang biasa, apakah fakta itu fenomena? Ataukah justru menjadi
budaya?

Penulis menceritakan seorang gadis yang bernama Kamboja yang menangis di atas makam
ibunya saat matahari diatas kepalanya. Ia mencurahkan apa yang ada di dalam hatinya.
Hingga ia menceritakan semua perjuangan-perjuangan serta penderitaan ibunya semasa
mengandungnya. Mulai dari ibu Kamboja saat hamil kamboja diharuskan mengungsi karena
kampungnya didatangi kelompok pemberontak, hingga ia tumbuh tanpa seorang ayah.
Sembari memegang nisan ibunya dan meremas-remas gundukan tanah, gadis tersebut
menangis terisak karena tidak mampu menahan air matanya. Hal itu disebabkan oleh
kejadian cerita masa lalunya yang ia peroleh dari Nek Mah.
Hingga sekarang ia harus menghadapi pahitnya peristiwa di mana pemakaman ibunya akan
diratakan oleh pemerintah kabupaten. Sangat sakit ia harus menahan tangis yang begitu
dalam. Ia tidak tahu bagaimana cara agar ia mampu mempertahankan pemakaman ibunya
sendiri supaya tidak digusur oleh pemerintah kabupaten.
Hingga pada saat ia sedang di atas makam sang ibu, datang lelaki yang mendekat ke
arahnya. Ternyata merekalah yang akan menggusur lokasi itu. Dengan geramnya kamboja
berteriak dan mencurahkan apa yang dirasakannya kepada lelaki itu. Dan akhirnya lelaki itu
pergi meninggalkan lokasi pemakaman.

Dalam cerpen kamboja diatas nisan, Herman R.N. membawa kami menyingkap bagaimana
fenomena masyarakat. Dengan latar belakang beliau yang berasal dari Aceh, penulis
menyisipkan beberapa kebudayaan Aceh. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut

“kebetulan Nek Mah pernah diajarkan sebuah isim oleh orang tuanya. Isim itu*
disebut seulusoh dalam bahasa mereka.”*

Berdasarkan hal tersebut, menurut Novel “Seulusoh” karya Kemalawati, Seulusoh
merupakan mantra untuk mendorong gerak laju bayi mencari jalan keluar dari ibunya.
Nampaknya Herman R.N ingin menceritakan bagaimana kebudayaan masyarakat tersebut
dapat dikenal oleh seluruh orang. Kami menduga bahwa penulis seperti ingin mewariskan
budaya lewat karya sastra, seperti pada budaya seulasoh ini yang mana nampaknya budaya
ini sudah tenggelam dimakan oleh zaman.

Selanjutnya, penulis juga menceritakan bagaimana konflik pemberontak yang terjadi saat
itu. Jika kita menarik hal tersebut, sepertinya menggambarkan bagaimana pemberontakan
yang terjadi di Aceh. Seperti pada kutipan berikut

“…orang-orang kampung kita pun diklaim sebagai pemberontak.”
“makanya banyak yang memilih bergabung dengan kelompok pemberontak.”

Nampaknya Herman R.N membawa kami sebagai pembaca untuk mengimajinasikan pikiran
kita terhadap cerpen ini. Bagaimana kita berimajinasi terhadap kondisi konflik yang terjadi
antara pemberontak dan penguasa (pemerintah) saat itu.

Pada dasarnya cerpen ini menceritakan konflik yang sering terjadi di masyarakat, yaitu
konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik dalam cerpen ini, menggambarkan
konflik agraria. Dimana kamboja adalah representasi masyarakat yang tertindas atas
keinginan pemerintah. Fenomena atas konflik tersebut sering kita jumpai di berbagai lini
kehidupan. Penulis menggambarkan bagaimana sosok perempuan merupakan pahlawan
dalam hidupnya. Mereka yang memperjuangkan kehidupan untuk orang di sekitarnya, hal
tersebut tergambarkan pada sosok ibu Kamboja dan Kamboja. Perjuangan dua perempuan
tersebut memang memiliki dimensi yang berbeda, namun memiliki makna yang sama, yaitu
perjuangan, perjuangan atas kehidupannya. Hal tersebut tergambarkan dalam kutipan
berikut.

“Ibu, bagaimana lagi caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu,
penderitaan kaum perempuan? Lihat, ibu! Kau besarkan aku tanpa ayah, hingga kau
bekerja demi memberiku makan.”

Kutipan tersebut menggambarkan sosok single mom atau sosok ibu yang sekaligus seorang
bapak yang konotasinya adalah kepala keluarga. Realita tersebut masih relevan untuk saat
ini, bagaimana banyak seorang ibu yang harus menafkahi anak-anaknya bersekolah,
makan, dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kendati demikian, perjuangan pada
perempuan juga tergambarkan pada sosok Kamboja. Hal tersebut tergambar pada kutipan
cerpen berikut.

“aku berjanji akan berusaha mempertahankan ibu walau mungkin itu mustahil. Di
tempat ini, bukan hanya ibu yang dikuburkan. Masih banyak korban konflik lainnya.”
“Ya, saya sudah gila. Saya gila karena mempertahankan hak-hak orang mati. Saya
gila karena menginginkan ketenangan mereka yang telah mati.”

Mungkin sudah saatnya bagi kita dalam perjuangan serta perlawanan membersamai
perempuan. Perempuan memiliki andil dalam perjuangan, perempuan juga memiliki hak
yang khusus tentunya. Kamboja berusaha untuk memperjuangkan makam ibunya agar tidak
ikut diratakan atas pembangunan hotel. Mungkin pada saat ini banyak Kamboja yang hidup
dalam dunia nyata. Kamboja mungkin juga representasi Marsinah, sosok yang
memperjuangkan hak-hak buruh namun perjuangannya harus berakhir tragis.

Berikutnya, penulis juga menggambarkan bagaimana konflik nyata pada masyarakat bisa
diceritakan lewat karya. Karya sastra sendiri merupakan cerminan masyarakat, konflik yang
terjadi pada masyarakat, atau hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat dapat
tergambarkan lewat karya sastra. Salah satu yang acap kali menjadi tema dalam karya
sastra adalah konflik agraria. Konflik ini sederhana, biasanya yang mengambil peran adalah
pemerintah dengan korban adalah masyarakat. Hal tersebut tergambarkan pada kutipan
cerpen berikut.

“mereka membicarakan soal pembangunan hotel berbintang yang akan didirikan
disini. Untuk itu akan terjadi pembebasan tanah, salah satu lokasi yang mendapat
imbasnya pembebasan tanah adalah kompleks pemakaman umum korban konflik”

Jika kita mengulik lebih dalam banyak hal yang terjadi pada konflik agraria, tidak hanya soal
tanah yang direbut oleh penguasa (pemerintah) tetapi juga bagaimana konflik tersebut menimbulkan perpecahan antar sesama rakyat. Konflik tersebut Penguasa sering kali
bertindak sesuka hati tanpa melihat kondisi yang terjadi pada masyarakat. Konflik yang
terjadi bukan secara vertikal (pemerintah dengan rakyat) namun konflik secara horizontal
(rakyat dengan rakyat). Konflik agraria pun saat ini masih sering terjadi, seperti halnya
Wadas yang saat ini tanahnya menjadi objek pembangunan strategis pemerintah hingga
menyebabkan kondisi di Wadas sangat memprihatinkan. Selain itu, dari kutipan diatas juga
seperti representasi atas apa yang terjadi di Kendeng, Jawa Tengah.

Penulis juga menggambarkan bagaimana perempuan terhadap pendidikannya. Kita
mengenal bagaimana gagasan yang dicetuskan oleh R.A. Kartini, yaitu pendidikan bagi
perempuan merupakan kunci penting bagi emansipasi. Hal tersebut juga digambarkan oleh
dalam kutipan cerpen berikut.

“Aku sekolah ke kota demi Ibu. Ibu yang mengatakan bahwa perempuan juga harus
punya cita-cita, harus sekolah yang tinggi. Aku harus sekolah hingga ke Universitas.”

Perempuan juga wajib memperoleh atas pendidikannya. Mungkin ini juga bagian dari
kesetaraan atas standar pendidikan pada perempuan. Stigma bahwa perempuan hanya
sekedar mengurus dapur, nampaknya penulis ingin mengkritik masyarakat yang masih
berpikir konservatif atas perempuan yang berpendidikan. Sejalan dengan hal tersebut,
terdapat beberapa kritik budaya patriarki yang terjadi pada masyarakat, hal tersebut
tergambar dalam cerpen berikut.

perempuan diminta untuk di rumah, jika tak mau mengungsi ke hutan. Aku tahu itu,
ibu. Hanya saja mengapa kita tidak boleh ikut melawan, Ibu? Apa karena kita
perempuan”

Masih selaras dengan poin diatas, gagasan kartini yang berkeyakinan bahwa perempuan
harus punya kesetaraan dengan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari yang tentunya
menjadikan emansipasi bagi perempuan. Hal tersebut juga tergambarkan pada cerpen ini,
yang mana perempuan tentunya memiliki pikiran, rasa, jiwa yang sama atau setara dengan
laki-laki. Selain itu, penulis juga mungkin ingin menghapus stigma budaya patriarki pada
masyarakat. Bahwa sebuah sistem sosial, baik itu perempuan maupun laki-laki juga bisa
menempatkan pada posisi-posisi strategis, pemegang kekuasaan, dan memegang peran
penting dalam masyarakat.

Selain menyingkap konflik yang terjadi pada masyarakat, penulis sedikit juga mengkritik pola
hidup masyarakat. Pola hidup masyarakat yang digambarkan adalah masyarakat yang
masih berorientasi pada uang. Hal tersebut tergambarkan pada kutipan cerpen berikut.

“Pemerintah itu tidak punya otak, Ibu. Mereka hanya memikirkan uang, uang, dan uang”
“…keluarga korban lainnya sudah menerima uang pembebasan tanah ini. Mereka
telah menjual ayah ibunya yang dimakamkan disini. Mereka lebih memilih setumpuk
uang dari pemerintah tanpa menyadari orang tuanya disini akan dipijak-pijak, akan
Dilululantahkan dengan mesin penggiling.”

Secara harfiah istilah tersebut berarti orang-orang yang berorientasi pada uang. Pada
kenyatannya, setiap manusia pasti memerlukan uang untuk mencukupi segala
kebutuhannya. Akan tetapi, apakah hal itu lantas membuat kita berpikir bahwa segala
sesuatu dihitung dan diorientasikan pada uang? Semua orang memang membutuhkan uang
untuk hidup. Tapi, bagaimana kita menempatkan posisi uang dalam menentukan kehidupan
kita, untuk apa dan bagaimana car akita mendapatkan itulah yang menentukan pola pikir
kita, money oriented or not. Penulis ingin memberikan pesan bahwa orientasi kita terhadap
uang perlu diubah. Mulai dari lingkungan, pola pikir, pembentukan karakter sedari dini yang
tentunya akan sangat berpengaruh bagi seseorang yang berorientasi kepada uang.

Mungkin sering kita mengenal istilah the death of author, secara jelas pembaca dibebaskan
dalam berimajinasi dan berpikir dalam pikirannya terkait cerpen Kamboja diatas Nisan.
Untuk melihat bagaiman cerpen ini berpengaruh dalam masyarakat mungkin tidak akan
secara signifikan tergambarkan seberapa besar pengaruhnya, tetapi dengan cara seperti ini
merupakan cara untuk mendokumentasikan sebuah fenomena ke dalam karya sastra.
Dengan karya sastra dapat menjadi kritik bagi pemerintah, konflik agraria masih menjadi
salah satu konflik yang sering terjadi di Indonesia. Konflik ini merujuk pada konflik
berkepanjangan mengenai siapa yang berhap pada akses atas tanah, sumber daya alam,
serta wilayah suatu kelompok dengan penguasa ataupun pengelola tanah.
Hal tersebut tergambarkan dalam kutipan cerpen berikut.

“Siapapun kalian, menghormati hak-hak orang yang masih hidup itu memang susah,
apalagi rakyat kecil. Namun menghormati ketenangan orang yang sudah mati,
apakah juga tidak kalian miliki? Dimana nurani kalian?”

“sedangkan kalian, gila karena ingin hotel megah tanpa melihat penderitaan orang lain.”

Kutipan tersebut dapat menjadi kritik bagi pemerintah. Dengan kutipan menghormati
ketenangan orang yang sudah mati, apakah tidak kalian miliki? Dimana Nurani kalian?
merupakan sebuah kritik bagi pemerintah, bagaimana tanda pemerintah tidak punya hati saat
berkonflik dengan rakyat. Rakyat secara jelas terus ditindas dengan segala cara, pemerintah
terus melakukan praktik tersebut. Dengan cara mempermainkan dasar hukum untuk
pengadaan tanah telah diatur dalam Undang-Undang.