Pembukaan
Upaya dalam mengulik, menyelidiki dan mempelajari suatu karya sastra diperlukannya mencari ragam unsur intrinsik pada sebuah cerpen. Hal ini dikarenakan dengan mempelajari lalu mencari unsur intrinsik pada cerpen, pembaca dapat memahami pesan utama cerpen, memahami makna cerpen secara mendalam, dan juga maksud pengarang secara lebih jelas. Pada sebuah cerpen pastinya pengarang mempunyai maksud dan tujuan cerita tersebut dibuat. Dengan memahami unsur intrinsik dan mengetahui tujuan pengarang membuat cerpen, pembaca tidak hanya sekedar menikmati cerita, tetapi juga memperoleh wawasan tentang bagaimana cerita tersebut dibangun secara artistik dan bermakna.
Sama halnya pada cerpen “Jagoan Tangan Buntung karya Ade Mulyono untuk mempelajari dan mendalami makna cerpen tersebut harus mencari unsur intrinsik. Cerpen “Jagoan Tangan Buntung” bercerita tentang seorang pemuda 25 tahun bernama Ratim yang ingin merantau di Jakarta untuk bekerja walaupun sang Bapak tidak merestui karena menurut Bapaknya Jakarta itu kejam. Dengan modal ongkos dan tekad Ratim pergi ke Jakarta bekerja sebagai buruh, namun naas sang mandor korupsi lalu Ratim menjadi seorang gelandangan. Saat ia jadi gelandangan, Ratim sempat terluka tangannya dibacok karena terjadi tawuran antar preman. Kemudian ia ditolong oleh seseorang lalu Ratim ikut menjadi preman dan pada akhirnya Ratim bernasib mengenaskan yaitu mati ditembak oleh pemburu peluru.
Isi
Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun cerpen dari dalam. Unsur-unsur intrinsik ini berfungsi untuk membentuk struktur, makna, dan pesan dalam karya tersebut. Untuk mengulik isi cerpen “Jagoan Tangan Buntung” karya Ade Mulyono kita harus menelaah ragam unsur intrinsik yang ada pada cerpen tersebut. Terdapat lima ragam unsur intrinsik yang kita telaah yakni tema, pemplotan, penokohan, pelataran, dan penyudut pandangan.
- Tema
Tema dalam cerpen ini terbagi dalam dua kategori besar, yaitu dikotomis dan pengalaman jiwa. Dalam kategori dikotomis, cerita ini menunjukkan kontras antara kehidupan tradisional dan modern. Ratim yang hidup dengan bergantung pada pekerjaan jalanan seperti mengemis, menggambarkan kehidupan tradisional, sedangkan pertemuannya dengan preman dan adaptasinya di Jakarta mencerminkan realitas kehidupan kota besar yang keras dan penuh tantangan. Cerpen ini juga menggambarkan peralihan dari kehidupan sederhana menuju kompleksitas kehidupan kota.
Pengalaman jiwa yang dialami oleh Ratim dalam cerpen ini menggambarkan perjuangan batin yang kuat. Di tingkat fisik, Ratim harus menghadapi kenyataan pahit setelah kehilangan tangannya, yang menghambat banyak aspek kehidupannya. Di tingkat emosional, ia merasakan campuran perasaan seperti kecewa, marah, dan pasrah terhadap nasibnya. Keadaan ini memperlihatkan betapa kerasnya hidup yang harus dijalani oleh seorang anak jalanan yang terpinggirkan.
Di tingkat sosial, Ratim berinteraksi dengan banyak orang di jalanan, seperti pedagang dan preman, untuk bertahan hidup. Kehidupannya yang terpisah dari keluarga membuatnya lebih mengandalkan hubungan sosial dengan orang-orang yang ia temui. Pada tingkat egoik, Ratim menunjukkan keberanian dan tekad untuk terus hidup meskipun ia menghadapi berbagai kesulitan dan kehilangan. Ia tidak menyerah pada keadaan dan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup di tengah kesulitan.
Cerpen ini juga menyelipkan tema minor yang mengkritik ketidakpedulian masyarakat terhadap kehidupan anak-anak jalanan. Ratim, sebagai simbol anak jalanan, berjuang sendirian tanpa adanya dukungan dari masyarakat atau pemerintah. Ketidakpedulian sosial ini menjadi bagian penting dari cerita, yang menyoroti bagaimana kaum marginal sering terlupakan dan tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya. Cerpen ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya perhatian terhadap orang-orang yang berada dalam kesulitan hidup.
- Pemplotan
Pembeda dalam pemplotan tercantum pada cerpen “Jagoan Tangan Buntung” karya Ade Mulyono. Pembeda pemplotan berdasarkan urutan waktu pada cerpen tersebut menggunakan plot sorot-balik. Plot sorot-balik ini memiliki penjelasan mengenai kejadian yang ada di cerpen tidak bersifat kronologis dan dijelaskan melalui flashback. Pada awal cerita cerpen ini menceritakan tiba tiba tangan Ratim terluka lalu bisa sampai di Jakarta tidak dijelaskan secara kronologis namun dijelaskan melalui flashback yakni menyesali dan mengingat perkataan Bapaknya saat hendak merantau ke Jakarta.
Pemplotan berdasarkan kriteria jumlah yang ada pada cerpen ini menggunakan plot tunggal yakni hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dialaminya. Hal ini sama persis yang diceritakan pada cerpen bagaimana hanya Ratim saja yang diceritakan dari awal sampai akhir hidup Ratim. Dalam ceritanya hanya diisi konflik-konflik yang dialami Ratim seperti tangannya yang dibacok oleh preman lalu ditolong oleh seseorang hingga ia menjadi preman dan berakhir mati. Tidak ada kisah hidup teman yang menolong Ratim saat tangannya terluka hanya Ratim yang diceritakan saja.
Berdasarkan kriteria kepadatan, cerpen ini menggunakan plot padat yang disajikan secara cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat dan hubungan antar peristiwa yang terjalin secara erat. Pada cerpen ini pun peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul, hal ini terbukti pada cerita ketika Ratim sedang kesusahan di Jakarta lalu ia ditolong oleh seseorang. Dan waktu berlalu begitu cepat lima tahun tidak pulang kampung dan bekerja dengan orang yang ditolongnya. Dengan begitu cerita terkesan cepat karena tidak ada yang tahu bagaimana proses Ratim bekerja dan mendapatkan uang.
- Penokohan
Pembedaan tokoh dalam cerita fiksi biasanya dilihat dari sudut pandang tertentu. Berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal. Cara pengarang menggambarkan tokoh juga ada dua, yaitu teknik ekspositori dan dramatik. Teknik ekspositori yaitu pengarang langsung menjelaskan sifat atau watak tokoh secara jelas, sementara teknik dramatik yaitu pengarang membiarkan tokohnya menunjukkan kediriannya lewat tindakan, ucapan, atau aktivitasnya.
Dalam penokohan, pembedaan tokoh berdasarkan peran mencakup tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah Ratim, seorang pemuda 25 tahun dari desa yang merantau ke Jakarta untuk mengubah nasib, namun akhirnya mengalami nasib tragis. Tokoh tambahan meliputi Mandor, kelompok tawuran, dan gerombolan pemuda, yang menjadi pemicu konflik dalam cerita. Fungsi penampilan tokoh dalam cerita mencakup protagonis dan antagonis, Ratim adalah tokoh protagonis karena digambarkan sebagai sosok yang gigih dan pantang menyerah menghadapi kesulitan. Sebaliknya, Mandor dan dua kelompok tawuran berperan sebagai antagonis yang memperburuk nasib Ratim.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibagi menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Orang tua Ratim termasuk tokoh sederhana karena hanya berperan sebagai pemberi nasihat tanpa perkembangan karakter yang signifikan. Sebaliknya, Ratim adalah tokoh bulat karena karakternya mengalami perkembangan yang signifikan. Berbagai sisi kehidupannya, mulai dari kepribadian hingga perjuangannya merantau untuk mengubah nasib, hingga akhirnya terjebak dalam penderitaan, diungkap secara mendalam.
Teknik pelukisan tokoh secara ekspositori digunakan untuk menggambarkan karakter dan latar belakang Ratim secara langsung. Ratim digambarkan sebagai pemuda dari keluarga kurang mampu yang tidak memiliki akses pendidikan, sehingga ia tidak bisa membaca dan menulis. Hal ini menunjukkan kondisi sosialnya yang serba terbatas, namun memunculkan tekad kuat untuk merantau ke Jakarta demi mengubah nasib. Penampilannya yang mengenaskan, dengan tangan terluka parah dan penuh bekas luka, serta kehidupannya di lingkungan yang keras dan tidak adil, memperkuat gambaran penderitaan yang ia alami.
Teknik dramatik dalam cerpen ini mencakup berbagai pendekatan, seperti teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan pelukisan fisik. Teknik cakapan digunakan untuk menggambarkan latar belakang, sifat, dan perkembangan karakter Ratim. Melalui dialog dengan ayahnya, terlihat bahwa Ratim menggunakan dialek khas Tegal, menunjukkan asalnya dari desa di Jawa Tengah.
Teknik tingkah laku dalam cerpen ini digunakan untuk menggambarkan penderitaan yang dialami Ratim melalui tindakan fisiknya. Salah satu contohnya adalah ketika Ratim ditendang oleh segerombolan orang, reaksi tubuhnya yang terkejut mencerminkan rasa sakit. Sikap pasrah yang ditunjukkannya setelah itu menunjukkan bahwa Ratim merasa kesulitan dan putus asa menghadapi keadaan. Teknik pikiran dan perasaan digunakan untuk mengungkapkan emosi yang dialami Ratim melalui penggambaran pikiran dan batinnya. frustasi dan amarah terlihat ketika ia terlibat dalam konflik dengan kelompok tawuran, dan akhirnya keputusasaan serta penyesalan muncul ketika ia merasa tak mampu lagi melawan kerasnya hidup di kota.
Teknik arus kesadaran digunakan dalam cerpen “Jagoan Tangan Buntung” untuk menggambarkan proses berpikir dan perasaan tokoh secara mendalam. Teknik ini terlihat jelas melalui monolog batin Ratim yang mencerminkan rasa penyesalan terhadap keputusan merantau ke Jakarta. Teknik reaksi tokoh menggambarkan respons Ratim terhadap kejadian atau situasi yang menimpa dirinya. Dalam cerpen ini, reaksi fisik Ratim terlihat saat ia kesakitan memegangi tangan kirinya yang terluka, menunjukkan tubuhnya yang lemah. Reaksi emosional muncul ketika ia pergi meninggalkan rumah sakit sambil menahan marah setelah dihina petugas administrasi.
Teknik reaksi tokoh lain menggambarkan respons tokoh-tokoh lain terhadap Ratim, seperti pandangan, sikap, atau komentar mereka. Dalam cerpen “Jagoan Tangan Buntung,” reaksi orang-orang terhadap Ratim mencerminkan ketidakpedulian sosial. Banyak yang menghindar karena menganggapnya orang gila atau penjahat, terutama setelah melihat kondisi fisiknya yang mengenaskan. Namun, pedagang bakso dan penjaga warung Madura menunjukkan sedikit simpati dengan memberi air mineral dan roti. Sementara itu, segerombolan pemuda yang menendang Ratim menawarkan bantuan meski dengan cara kasar, menunjukkan bentuk kepedulian.
Teknik pelukisan latar digunakan untuk menggambarkan suasana yang mencerminkan kondisi tokoh. Dalam cerpen ini, terdapat perbedaan suasana antara desa dan kota besar. Kota Jakarta digambarkan panas, penuh kekerasan, dan penderitaan, sementara desa lebih tenang meskipun menghadapi kesulitan ekonomi dan pendidikan. Latar tempat, seperti emperan toko yang rusak, menunjukkan kerusuhan akibat tawuran yang menyebabkan lengan Ratim terluka parah. Gambaran ini memperjelas perbedaan kehidupan di kota dan desa, di mana kota besar keras dengan kekerasan dan penderitaan, sementara desa lebih aman meskipun masih sulit dalam hal ekonomi.
Teknik pelukisan fisik dalam cerpen ini digunakan untuk menggambarkan penderitaan fisik yang dialami Ratim. Salah satu adegan menunjukkan Ratim meringis kesakitan sambil memegangi lengannya yang hampir putus, menggambarkan luka parah akibat benda tajam. Ekspresi lain, seperti menggelengkan kepala, sedih, kecewa, dan marah, juga menunjukkan penderitaan emosional yang dialami Ratim.
- Pelataran
Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya dalam cerpen “Jagoan Tangan Buntung” adalah Jakarta. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya dalam cerpen tersebut seperti desa, jalan, kota, dan sebagainya.
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Hal ini kemudian menggunakan pengetahuan dan kesadaran pembaca terhadap waktu sejarah dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita dan waktu tersebut dimanfaatkan untuk meyakini pembaca seolah-olah cerita itu terjadi. Dalam cerpen itu terdapat kalimat “pemuda berusia 25 tahun itu menyeret tubuhnya yang penuh luka menyeberangi senja di bawah kolong langit Jakarta” disini dapat diketahui bahwa Ratim menyeret tubuh yang terluka pada waktu senja atau sore menjelang malam.
Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya. Kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, atau pandangan hidup. Pada cerpen itu terdapat dialog “Ya, tentu saja manusia tidak berijazah seperti kita. Apa yang mau kamu cari di Jakarta, sedang ijazah pun tidak ada. Bisa baca tulis pun tidak” dengan hal ini dapat diketahui bahwa dialog tersebut menggambarkan latar sosial masyarakat miskin yang tidak memiliki akses pendidikan yang memadai dan Ayah Ratim menyadari bahwa tanpa ijazah atau keahlian, akan sulit bagi Ratim untuk bertahan hidup di kota besar.
- Penyudutpandangan
Macam dari penyudutpandangan atau sudut pandang mencakup 6 yang terdiri dari diantaranya; Orang pertama tunggal, dalam hal ini pengarang seolah-olah sebagai pelaku utama yang umumnya digambarkan dengan kata ganti ‘aku’, ‘daku’, ‘saya’. Orang pertama jamak, pengarang tetap berperan sebagai narator dengan kata ganti ‘kami’. Orang kedua tunggal, sudut pandang kedua dikenali dengan kata ganti ‘kamu’, ‘kau’, ‘anda’ dll. Orang kedua jamak, pengarang kembali sebagai narator dengan gaya bahasa dengan kata ganti ‘kalian’. Orang ketiga tunggal, sudut pandang ini menggunakan kata ganti ‘dia’, disini peran pengarang sangat jelas sebagai narator yang bertindak diluar cerita, dan yang terakhir sudut pandang orang ketiga jamak, pengarang sebagai narator dikaitkan dengan gaya bahasa yang dibuat-buat seolah tau segalanya dengan kata ganti ‘mereka’.
Penyudutpandangan secara tak langsung merupakan pengklasifikasian dari pembaca terhadap karya pengarang untuk mengemukakan gagasannya dan cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh ke dalam posisi-posisi tertentu sesuai karakteristik atau alur yang ditempatkan bersama imajinasi dan ide yang dituangkan pengarang. Penyudutpandangan ini mempunyai enam pengklafisian yang sudah dituliskan pada paragraf sebelumnya. Cerpen “Jagoan Tangan Buntung’’ Karya Ade Mulyono, jika dikaitkan dengan 6 pengklasifikasian tersebut setidaknya memuat sudut pandang Orang Pertama Tunggal yang paling umum dan Orang Ketiga Jamak yang mengaitkan pengetahuan pengarang mengenai penokohan dan alur dari cerita hidup tokoh ‘Ratim’ sebagai orang luar dengan perspektif seolah-olah serba tahu.
Penutup
Pada bagian tema cerpen ini mengangkat tema perjuangan hidup yang keras di tengah kota besar, dengan subtema tentang ketidakpedulian masyarakat terhadap kaum marginal. Pemplotan alur cerita ini menggunakan plot sorot-balik, yang mengungkapkan kejadian-kejadian utama melalui flashback dan pemplotan juga menggunakan plot tunggal, hanya berfokus pada satu tokoh utama serta menggunakan plot kepadatan. Bagian penokohan, tokoh utama Ratim digambarkan sebagai pemuda yang gigih lalu untuk tokoh antagonis seperti mandor dan kelompok tawuran memperburuk nasibnya. Pelataran yang digunakan adalah latar tempat di Jakarta, latar waktu mencakup pagi, siang, sore, dan malam, serta latar sosial menggambarkan kesulitan hidup masyarakat miskin tanpa akses pendidikan. Penyudutpandangan pada cerpen ini menggunakan sudut pandang orang ketiga yang memungkinkan pembaca untuk melihat dan menilai kehidupan Ratim secara lebih objektif.
Kesimpulannya, cerpen “Jagoan Tangan Buntung” menyampaikan kritik sosial yang kuat melalui kisah perjuangan hidup seorang anak jalanan yang terpinggirkan, dengan unsur-unsur intrinsik yang memperdalam makna dan pesan cerita. Pembaca diundang untuk merenungkan betapa kerasnya hidup di kota besar, serta pentingnya perhatian terhadap kaum marginal. Dengan analisis ini makna dan pesan yang terkandung dapat dijadikan sebuah pelajaran hidup.
***Penulis: Almaira, Aura, Gita, Naila, dan Ripta ***