Mengulik Cerpen "Tiga Kuburan Lain" Karya T. Agus Khaidir


Gambar: Ilustrasi Cerpen Tiga Kuburan Lain
Sumber: www.kompas.id/ BAMBANG PRAMUDIYANTO

Cerita pendek (Cerpen) adalah jenis karya sastra yang ditulis secara singkat. Biasanya, merepresentasikan kehidupan masyarakat seperti peristiwa, masalah, atau dinamika sosial yang terjadi di sekitar, dan berfokus pada inti cerita. Cerita yang disuguhkan hanya berpusat pada satu konflik masalah yang dihadapi oleh tokoh, mulai dari pengenalan karakter hingga penyelesaian masalah tersebut, sehingga cerpen dapat disebut sebagai fiksi prosa.

Cerpen berjudul “Tiga Kuburan Lain,” karya T. Agus Khaidir dipublikasikan oleh kompas.id pada Minggu, 6 Oktober 2024. Mengisahkan tentang konflik sosial di sebuah kampung yang berpusat pada tiga kuburan berbeda di kompleks pekuburan umum. Cerpen ini termasuk ke dalam genre realisme karena menggambarkan kejadian-kejadian sosial dalam kehidupan sehari-hari dimana isu yang dibahas adalah rencana pemindahan tiga kuburan lain. Marjili Samsuri mempersoalkan keberadaan tiga kuburan tersebut yang dianggap tidak elok bersama dengan dorongan Kepala Lingkungan dan orang-orang tua juga yang dituakan menyambangi bupati. Sehingga ada tahapan-tahapan adat yang mesti dilakukan dan utuh persiapan matang dan sudah barang tentu biaya besar.

Tema yang diangkat pada cerpen berjudul “Tiga Kuburan Lain” karya T. Agus Khaidir yaitu tema Tradisional karena menyajikan gambaran yang kompleks tentang dinamika sosial budaya dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Pada cerpen tersebut juga menyajikan gambaran tentang pengalaman jiwa pada berbagai tingkatan, seperti tingkat fisik yaitu kekerasan yang dialami oleh keluarga Ama Lien, tingkat organik yang mengacu pada hubungan manusia dengan lingkungannya seperti pemanfaatan tanah wakaf untuk alun-alun dan pekuburan, tingkat sosial yang mencerminkan harmoni sosial dengan menjaga hubungan antar komunitas masyarakat, tingkat egoik yang berkaitan dengan kesadaran diri, identitas pribadi, dan konflik batin. Selanjutnya pada tingkat divine yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritualitas. Cerpen ini juga mengangkat tema mayor yang mendalam dan relevan, serta tema minor seperti pengalaman individu dan pergeseran generasi.

Adapun dari sisi pemplotan yang dikutip dalam kalimat, “Sebulan lalu, Minggu siang sebelum asar, Tok Awang, Wak Haji Sahabuddin, Abdul Majid, dan Anwar Sadat datang bertamu,” cuplikan cerpen tersebut menunjukkan plot sorot balik (flashback) yang menceritakan kejadian yang telah terjadi. Selain plot sorot balik, cerpen ini menggunakan alur tunggal, yaitu perdebatan terkait pemindahan tiga makam dan dapat dilihat pada cuplikan kalimat, “Ini memang percakapan tentang kuburan dan persisnya tiga kuburan yang terletak di kompleks pekuburan yang tanahnya merupakan wakaf keluarga Tok Jalal.” Sementara itu, dalam cuplikan kalimat, “Tok Jalal tak lagi riang, Marjili belum sebulan kembali dari perantauan panjang… berapa lama lagi kita harus menunggu?” yang menggambarkan alur padat, dimana jalan ceritanya langsung dan tidak bertele-tele, sehingga secara keseluruhan isi cerpen mudah dipahami.

Cerpen ini memiliki penokohan sebagai berikut, tokoh utama yaitu Tok Jalal yang merupakan pusat cerita, konflik utama tentang pembongkaran tiga kuburan berputar di sekelilingnya, kemudian ada tokoh tambahan seperti Munawar Tawakal, keluarga Ama Lien, Tok awang dan tokoh kampung (Haji Sahabuddin, Abdul Majid, dll). Selanjutnya, tokoh protagonis yaitu Tok Jalal karena beliau masih mempertahankan nilai tradisi dari leluhurnya, tokoh antagonis yaitu Marjili karena beliau yang menjadi pemicu adanya konflik dan penggugat tradisi, tokoh sederhana yaitu Tok Awang dan para Ketua Kampung karena mereka lah yang mendukung nilai tradisi dari leluhurnya dan mereka lah yang berfungsi sebagai pelengkap konflik, tokoh bulat yaitu Munawar. Selain itu, tokoh statis yaitu Marjili karena ketika beliau konsisten dalam memperjuangkan pembongkaran tiga kuburan, tokoh berkembang yaitu Tok Jalal, tokoh tipikal yaitu Tok Jalal karena beliau menjadi simbol pemimpin masyarakat tradisional yang menjaga warisan budaya dan harmoni komunitas yang menjadikan beliau sebagai tokoh tipikal, dan tokoh netral yaitu Bupati karena didalam ceritanya Bupati berperan sebagai penengah juga atas konflik “Tiga Kuburan Lain”.

Ada beberapa teknik dalam penokohan, yaitu teknik ekspositori. Memuat, sikap dari Tok Jalal memiliki karakter lucu dan mempunyai jiwa kepemimpinan. Selanjutnya, tingkah laku dapat dilihat dari gaya bicara seperti tokoh Marjili yang bicaranya pelan tapi menusuk, sedangkan ciri fisik didapatkan pada tokoh Marjili yang memiliki tatapan mata yang tajam. Selain itu, terdapat teknik cakapan yang dikutip pada "Aku sudah bicara pada keluarga Ompung Luat dan Ompung Saut…,” dari kutipan tersebut, Tok Jalal merupakan pemimpin yang mengerti dengan keadaan lingkungan masyarakatnya, teknik tingkah laku diketahui ketika Munawar mengantarkan teh dan kudapan.

Berikutnya, teknik pikiran dan perasaan seperti Marjili yang ingin membongkar ketiga kuburan lama itu, lalu teknik arus kesadaran dikutip pada “Setelah peristiwa itu, Tok Jalal merasa bersalah” ia tidak bisa menjadi kepala lingkungan yang baik, teknik reaksi tokoh dikutip pada "Ah! Mendesak? Apa yang mendesak…,” Tok Jalal membantah apa yang dikatakan Marjili. Teknik pelukisan latar dikutip pada “Sebulan lalu, Minggu siang sebelum asar, menembus dinding kamarnya” ini terjadi pada sebulan yang lalu minggu siang di rumah Munawar. Terakhir teknik pelukisan fisik didapat dari Marjili wajahnya tegas dan tatapan matanya tajam.

Sedangkan latar tempat yang dikutip, “Sebulan lalu, Minggu siang sebelum Asar, Tok Awang, Wak Haji Sahabuddin, Abdul Majid, dan Anwar Sadat datang bertamu,” hal ini menjelaskan bahwa percakapan berada di Rumah Munawar, karena orang-orang yang dituakan datang bertamu. Selanjutnya, merujuk pada kutipan percakapan tersebut, latar waktu pada sebulan yang lalu, lebih tepatnya hari Minggu saat siang sebelum asar, sebenarnya lama waktu yang digunakan dalam cerita membutuhkan waktu cerita relatif panjang, hanya karena disiasati pengarang maka tampak menjadi singkat. Selain itu, latar sosial dapat ditentukan dari status sosial seperti kutipan berikut “Menurut orang-orang yang pernah mengenalnya lebih baik ada perbedaan besar antara Marjili sebelum dan sesudah merantau…,” dapat disimpulkan bahwa Marjili memiliki perbedaan tingkah laku dan cara pandang dengan warga setelah dia merantau.

Dari segi penyudut pandangan yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang persona (orang) ketiga, yaitu ‘dia’. Dalam penggalan cerpen tersebut, terlihat bahwa Tok Jalal tak lagi riang. Biasanya, selepas isya, dia akan duduk berbincang bergurau-gurau di beranda masjid. Penulis juga menggunakan sudut pandang persona ketiga ‘dia’ yang bersifat maha tahu, di mana penulis tahu berbagai hal, seperti peristiwa, sikap, pikiran, dan emosi yang dirasakan oleh tokoh. Dalam cerpen ini, penulis menampilkan tokoh-tokoh dengan menyebut nama atau menggunakan kata ganti seperti ‘ia’, ‘dia’, dan ‘mereka’.

Cerpen “Tiga Kuburan Lain” karya T. Agus Khaidir memenuhi unsur-unsur intrinsik fiksi seperti yang dijelaskan oleh Burhan Nurgiyantoro dalam “Teori Pengkajian Fiksi”. Karya ini mengangkat tema tradisional yang mencakup berbagai tingkatan pengalaman jiwa, dengan tema mayor dan minor yang saling melengkapi. Alur ceritanya menggunakan kombinasi plot sorot balik, tunggal, dan padat, sehingga menciptakan kesan yang mendalam. Penokohan dalam cerpen ini beragam, mulai dari tokoh utama hingga antagonis, dengan teknik penokohan ekspositori dan dramatik. Dengan latar tempat, waktu, dan sosial yang tepat serta sudut pandang orang ketiga serba tahu, cerpen ini memungkinkan pembaca memahami cerita secara menyeluruh.

Referensi
Nurgiyantoro, Burhan. 2007 (Cetakan V). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Khaidir, T Agus. 2024.Tiga Kuburan Lain dalam Tiga Kuburan Lain - Kompas.id diakses pada Kamis, 14 November 2024.

**Penulis: Lisna, Resti, Saefudin, Syifa, Sutrima, dan Endah **

1 Like